HUBUNGAN RI-Australia mungkin dapat diumpamakan seperti menumpang jet coaster. Naiknya lambat, namun jatuhnya cepat, penuh kelokan dan kejutan. Dan pekan ini, tampaknya perjalanan pelan-pelan mulai menbaik lagi. Awalnya dimulai dengan kehadiran Menteri Luar Negeri Gareth Evans di Bandara Soekarno-Hatta, Sabtu pekan lalu. Ia membawa serta 17 wartawan Australia yang selama ini dikenal sering menggemboskan hubungan kedua negara itu. Dan tajamnya pena mereka memang segera dirasakan oleh Menlu Alatas, yang menjemput tamunya di ruang VIP. Berondongan pertanyaan diterima Alatas, terutama tentang peristiwa kematian David Blekinsop yang tragis itu. Syukurlah. Menlu yang pernah lama bertugas di New York ini dapat menjawabnya dengan baik. Ia berhasil meyakinkan mereka bahwa masalah ini masih dalam penyelidikan dan akan diselesaikan dengan tuntas. Kematian pelayar Australia yang tertembak di lepas pantai Biak ini memang dibicarakan dalam pertemuan formal kedua menteri itu. Namun, ini bukanlah satusatunya topik pembicaraan. Berbagai masalah kedua negara dirundingkan dalam pertemuan yang berlangsung di Bali, mulai Senin lalu. Lebih dari 100 peserta dari kedua negara hadir dalam pertemuan Australia Indo nesia Business Cooperation itu. Dari pihak Indonesia tampil empat menteri: Menteri Hankam Jenderal L.B. Moerdani, Menko Ekuin Radius Prawiro, Menteri Perdagangan Arifin Siregar, dan Menteri Parpostel Soesilo Soedarman. Keempat menteri ini memang memiliki masalah yang perlu didiskusikan dengan pemerintah Australia. Menparpostel, misalnya, tentu asyik membicarakan kelanjutan tawaran pinjaman lunak Australia sebesar 500 juta dolar untuk pembangunan sarana telekomunikasi nasional. Sedangkan Jenderal Moerdani tampaknya mendiskusikan berbagai masalah keamanan dengan negara tetangga di selatan ini. Antara lain plhak Australia mempertanyakan mengapa pihak TNI-AL menutup Selat Lombok selama tiga hari pertengahan September lalu, padahal selat itu termasuk jalur internasional. "Itu untuk melindungi keamanan regional kami," kata Jenderal Moerdani. Kabarnya, selama tiga hari itu Selat Lombok sedang dipakai sebagai kawasan latihan Angkatan Laut RI. Dalam bidang keamanan ini pihak Australia juga mengajukan usul. "Kami mengusulkan operasi angkatan laut bersama untuk menyelesaikan masalah penangkapan ikan ilegal oleh nelayan Indonesia," kata Evans. Selain itu, masalah celah Timor, yang merupakan perbatasan RI-Australia, juga dibicarakan. "Kami mengharap dapat menandatangani pernyataan mengenai masalah pengelolaan di celah Timor itu," kata menlu berusia 44 tahun ini. Kerja sama yang saling menguntungkan jelas merupakan tujuan pertemuan ini. Di sektor perdagangan, menurut Jenderal Moerdani, terjadi penurunan sebagai akibat memburuknya hubungan kedua negara belakangan ini. Ekspor Indonesia, yang mencapai 674 juta dolar pada 1982, anjlok tinggal 310 juta tahun lalu, alias tak sampai 2% dari total ekspor RI. Tapi impor dari Australia justru menaik dari 365 juta dolar (1982) menjadi 463 juta dolar (1987). Maka, diharapkan investasi Australia di Indonesia juga dapat ikut naik. Sebab, kendati bertetangga, Australia hanya mengambil 38 proyek dari 925 proyek yang disetujui BKPM sejak 1967. Tugas mengambil hati pengusaha Australia ini jatuh di pundak Sanyoto Sastrowardoyo, Ketua BKPM yang hadir di Bali. Dan Sanyoto rupanya optimistis. "Tahun ini saja sudah tercatat 8 proyek Australia bernilai 49 juta dolar," katanya. Kecerahan serupa kelihatannya juga mulai membias dari hubungan kedua negara. Media Australia mengiringi kunjungan menlunya ini dengan cukup ceria. Pekan-pekan ini acara TV Jack Pizzey, yang cukup populer di Australia, menayangkan film Slow Boat from Surabaya, yang bernada memuji pembangunan Orde Baru. "Boleh dikatakan mulai tampak unsur-unsur persahabatan yang menyenangkan bagi kedua masyarakat," kata Dr. Herbert Feith, pakar politik dari Universitas Monash. Prof. J. Mackie dari Australian National University lebih berhati-hati. "Terlalu pagi untuk menilai kunjungan Evans ke Indonesia," katanya. Namun, ia yakin, Evans yang dinilainya lebih berhati-hati dan penuh perhitungan akan lebih sukses membina hubungan dengan Indonesia ketimbang Bill Hayden, pendahulunya. Evans sendiri beranggapan, hubungan RI dan Australia seperti keadaan manusia yang kadang-kadang sakit dan perlu "dokter diplomatik". Hal senada diutarakanJenderal Moerdani, yang menganggap wajar jika terjadi hambatan dalam hubungan kedua negara yang mempunyai seJarah, tradisl dan budaya yang berbeda itu. "Hambatan itu bisa dilalui hanya dengan kesabaran dan toleransi, atas perbedaan dan ketidaksesuaian itu," kata jenderal yang beranggapan hubungan baik kedua negara adalah kebutuhan bersama itu. Kesabaran pemerintah masing-masing memang sering diuji keadaan. Mulanya perbedaan pendapat tentang Timor Timur, yang menjadi duri di awal 1980-an. Lalu tulisan wartawan David Jenkins di The Sydney Morning Herald edisi 10 April 1986 menerbitkan kemarahan pemerintah Indonesia. Tulisan itu dinilai menghina Kepala Negara RI. Akibatnya, wartawan Australia tak dapat meliput kunjungan Presiden Reagan ke Bali, dan 180 pelancong Australia sempat ditolak mendarat di Bali. Lantas "dokter diplomatik" pun beroperasi dan hubungan membaik lagi. Sejak Februari lalu seorang wartawan Australia, James Dallmeyer, diperkenankan membuka kantor di Jakarta. Hubungan yang menghangat itu anjlok lagi. Kali ini pemerintah Australia yang gusar karena peristiwa tertembaknya Blekinsop oleh polisi Indonesia Agustus lalu. Namun, kegusaran itu ternyata karena salah paham saja akibat ketidaktahuan petugas Indonesia bahwa Blekinsop mempunyai dwikewarganegaraan. Beruntunglah, pertemuan kerja sama bisnis RI-Australia ke-17 di Bali dapat berlangsung sesuai dengan jadwal. Udara segar Bali tampaknya memang bisa mendinginkan suasana, termasuk hati yang sedang dilanda emosi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini