Dirjen Sospol Harisoegiman menginginkan Forum Demokrasi diganti namanya. Tapi kalau tak diganti, juga tak apa-apa, kata Mensesneg Moerdiono. INI namanya Safari Ramadan ala Gus Dur. Hanya selang beberapa hari setelah mengumumkan terbentuknya Forum Demokrasi, ia harus melakukan kunjungan safari ke sejumlah pejabat tinggi. Tujuannya apa lagi, kalau bukan menjelaskan tentang pembentukan kelompok yang diprakarsainya itu. "Saya menyadari, Pemerintah akan melihat Forum Demokrasi sebagai oposan. Makanya, saya bersedia menjelaskannya satu per satu," kata Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur itu. Senin dan Selasa lalu, berturut-turut ia menemui Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Mayor Jenderal Sudibyo, dan Direktur Jenderal Sosial dan Politik Departemen Dalam Negeri Harisoegiman. Memang, setelah diumumkan pembentukan Forum Demokrasi dua pekan lalu di Jakarta, nama Gus Dur melambung. Apalagi ada sejumlah nama beken ikut mendukung pembentukan forum itu. Ada cendekiawan muslim, ada pastor, ada pakar hukum, ada wartawan, ada ilmuwan, ada aktivis politik penanda tangan Petisi 50, dan bahkan ada juga pegawai negerinya. Tak heran kalau telepon di kantor Ketua Tanfidziyah PB NU itu, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, hari-hari belakangan ini hampir tak pernah berhenti berdering. Tamunya pun banyak yang antre. "Mereka itu banyak yang menanyakan soal Forum Demokrasi," kata Gus Dur sambil menggaruk-garuk kepalanya. Wartawan yang memburunya pun terus berdatangan. Kantor berita Kyodo dari Jepang, misalnya, mewawancarainya hampir dua jam, Selasa silam. Beberapa hari sebelumnya, Gus Dur, yang juga menjabat Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Forum Demokrasi, sempat "digarap" oleh Reuters, kantor berita Inggris. Belum lagi wartawan dalam negeri. Di dalam negeri, memang sudah diduga banyak orang, forum itu mengundang kontroversi. Menteri Moerdiono, misalnya, tak mendukung tapi tak juga melarang terbentuknya Forum Demokrasi. Cuma ia dititipi pesan: "Kalau ingin terus dengan forum ini harus dibatasi agar fungsinya tidak lebih dari forum komunikasi. Kalau lebih dari itu, ini telah menjadi politik praktis," kata Moerdiono, seperti yang disampaikan Gus Dur. Juga soal nama Forum Demokrasi. Dalam pertemuan itu, dibahas kemungkinan untuk mengubahnya dengan menyisipkan kata "komunikasi" sehingga namanya menjadi Forum Komunikasi Demokrasi. "Kalau mau diganti namanya, ya syukur. Tidak juga tak apa-apa. Dengan nama Forum Demokrasi saya tak melihat itikad buruk dari Gus Dur. Karena itu, forum yang bersifat komunikatif biasa. Dan saya percaya itu," kata Moerdiono. Lain halnya Dirjen Sospol Harisoegiman. Menurut dia, tampaknya sudah tak bisa ditawar lagi bahwa nama Forum Demokrasi itu akan diganti, dan dicarikan nama baru yang lebih pas. Ini untuk menghindari berbagai interpretasi dan kesalahpahaman. Maklum, kata "demokrasi" tampaknya memang mengundang konotasi tertentu. Akibatnya, ujar Harisoegiman lagi, nantinya ada yang melakukan penilaian terhadap demokrasi di negeri ini. "Lalu tolok ukurnya apa, kok mau menilai demokrasi," katanya. Itu pula sebabnya ia juga mencari tahu tentang kejelasan status Forum Demokrasi yang mengklaim bukan sebagai organisasi massa (ormas). Karena selama ini sudah ada empat ormas yang terdaftar di kantornya yang juga menggunakan kata "forum". Yaitu, Forum Studi dan Komunikasi 66 (Fosko 66), Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Kesejahteraan Anak (FKPPA), Forum Komunikasi untuk Swadaya Kependudukan (FISKA), dan Forum Komunikasi PutraPutri dan Purnawirawan ABRI (FKPPI). Namun, tak semua pihak tampaknya setuju dengan upaya Harisoegiman yang berniat mengganti nama Forum Demokrasi. Seperti kata Ketua MPR/DPR Kharis Suhud, apa pun namanya, yang penting adalah itikadnya dan pelaksanaan program-programnya. Jadi, "Kita tak perlu cepat-cepat menuduh. Kalau ternyata memang menguntungkan bagi demokrasi, mengapa tak diambil? Saya rasa nama Forum Demokrasi, ya, biasa-biasa saja. Maka, tak heran kalau ada juga yang berpendapat bahwa soal nama yang berbau "demokrasi" itu sebenarnya tak melulu hanya ada pada Forum Demokrasi. Misalnya saja Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tentu itu tak dimaksudkan agar nama partai itu mengundang konotasi bahwa parpol lainnya tak demokratis. Soal penggantian nama itu sebenarnya hanyalah satu dari lima persyaratan yang disodorkan Harisoegiman buat Gus Dur. Empat lainnya adalah: Forum tak akan dilembagakan, tetapi diarahkan kepada bentuk sarasehan, simposium, atau seminar yang sifatnya terbuka. Forum juga tak mengarah kepada lembaga demokrasi di luar lembaga demokrasi yang baku. Forum tak akan melakukan kegiatan politik praktis. Dan hasil berbagai pertemuan akan disalurkan kepada lembaga demokrasi yang ada. Tak heran kalau Gus Dur adem ayem saja ketika ditanya apakah ia menerima persyaratan yang diajukan itu. "Saya harus mendiskusikan dulu dengan teman-teman. Kalau diterima begitu saja, nanti mereka bisa ngamuk," katanya. Begitu juga kata T. Mulya Lubis, salah seorang anggota Kelompok Kerja Forum Demokrasi, kalau memang ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh Forum Demokrasi, "ya, seharusnya melalui proses yang juga demokratis. Walaupun itu misalnya hanya sekadar soal nama." Artinya, anggota Forum Demokrasi yang terlibat harus diajak untuk mengambil keputusan ini. Terlepas dari serentetan persyaratan yang diajukan oleh Harisoegiman itu, tampaknya ada yang tetap berharap banyak atas kiprah Forum Demokrasi. Seperti kata pengamat politik Arbi Sanit, munculnya Forum Demokrasi itu tampaknya akan menggiring terjadinya proses tawar-menawar dalam hal pemahaman demokrasi antara pemerintah dan anggota forum. "Ini fenomena baru yang menarik karena sejak era Angkatan 45, pemahaman demokrasi dilakukan secara paksa sebagai pengenalan nilai-nilai yang sebetulnya baru buat masyarakat Indonesia," katanya. Arbi melihat anggota Forum lebih diwarnai oleh angkatan yang lebih muda sehingga, dalam melihat cara pengenalan nilai demokrasi, akan lebih memandang keragaman yang ada pada masyarakat kita. "Kalau sosialisasi politik yang resmi, ya, P-4. Kalau tak resmi, ya, seperti yang di Forum Demokrasi inilah," ujar peneliti dari Pusat Penelitian Pranata Pembangunan UI itu. Dosen FISIP UI itu juga menilai bahwa Forum Demokrasi mempunyai nilai strategis -- mengingat anggota forum dari berbagai latar belakang -- dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat, sekalipun memang belum cukup kuat untuk melakukan perubahan politik secara struktural. Sebab, katanya, "Forum Demokrasi masih berada pada level kesadaran kelas menengah. Belum sampai pada level perjuangan. Jadi, nggak ada pengaruh apa-apa terhadap dominasi militer dan teknokrat." Alhasil, perjalanan safari Cak Dur tampaknya belum selesai menjelang Lebaran ini. Ia masih mau menjumpai Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani. "Saya sudah minta waktu sama Pak Benny. Tapi sampai sekarang belum dikasih." Ahmed K. Soerawidjaja, Wahyu Muryadi, Ivan Harris, dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini