ALUNAN suara gamelan di Diamond Room President Hotel Jakarta, Kamis malam pekan lalu, mengiringi kehadiran ratusan tamu yang sebagian berpakaian tradisional Jawa. Sedangkan nasi tumpeng ayakan -- sebagai sajen mohon restu dari arwah nenek moyang sudah menunggu. Inilah perayaan untuk memenuhi pengukuhan Djoko Mursito Humardani sebagai ketua umum dan anggota pengurus lain duduk dalam DPP Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) yang baru. Namun, acara yang sudah jauh hari direncanakan, malam itu, mendadak dibatalkan. "Polisi tidak memberi izin," kata R. Moerdiono, mewakili panitia. Agar tamu yang diundang tak kecewa, acara lalu diubah menjadi peringatan ulang tahun Djoko Mursito ke-44. Keputusan ini diambil setelah enam anggota formatur bersama Djoko dan Soedjarwo (tokoh HPK dan eks menteri kehutanan) berembuk, beberapa jam sebelum acara dimulai. "Kita tak boleh mengikuti emosi, biarkan orang lain yang terbakar nafsu," kata R. Moerdiono, yang juga Wakil Ketua Formatur Munas. Kemudian terdengar sambutan Drs. Nilokentjono, S.H., anggota formatur. Katanya, antara lain, "Acara ini penuh kejutan. Kami memang mengundang Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu untuk acara pengukuhan Saudara Djoko Mursito. Tapi untuk menghibur tamu, maka malam ini kita ganti dengan acara ulang tahun dengan gaya dagelan Mataram." Sedangkan Djoko hanya tersenyum saja ketika diminta pendapatnya. Gelagat rencana pengukuhan tadi tak berjalan lancar sebetulnya sudah terlihat. Dua hari sebelumnya, dua surat melayang ke tim formatur yang mengadakan konperensi pers tentang pengukuhan DPP HPK. Dua surat tadi, masing-masing dari Tulus Kusumo Budoyo, Ketua Sidang Munas dan Zahid Hussein, penanggung jawab Munas, kurang lebih isinya sama: menentang pengangkatan Djoko Mursito. "Sebagai ketua sidang, saya belum menerima hasil kesepakatan tim formatur," kata Tulus. Reaksi Zahid Hussein lain lagi. "Mereka itu siapa? Yang dipilih itu siapa, dan yang akan dipimpin itu siapa?" kata Ketua HPK periode lalu itu, yang juga Kepala Biro Bantuan Presiden di Bina Graha. Semua kejadian ini bagai klimaks dari kemelut yang menyertai Munas HPK pada 18-21 Desember silam. Sampai Munas berakhir, ketika itu formatur belum bisa menghasilkan susunan DPP HPK yang baru. Karena buntu, masa kerja formatur diperpanjang tiga kali. Lantas muncul cerita tentang disposisi Presiden yang dibawa Soenarso, pejabat Sekretariat Negara. Menurut seorang formatur pendukung Djoko, disposisi itu menyiratkan usulan susunan DPP HPK dari tim formatur yang menetapkan Djoko sebagai ketua umum dapat diterima. Berbekal disposisi itulah kemudian Permadi, Direktur Pembinaan Penghayat Kepercayaan Departemen P dan K, Ida Bagus Budhiawan, sekretaris formatur, R. Moerdiono, dan Djoko, merancang susunan DPP HPK (TEMPO, 16 Juni 199O). Namun, dua dari tujuh formatur, yaitu Suratno dan Suwadi, menolak menandatangani SK susunan DPP HPK yang dirancang keempat orang tadi. Alasannya, Suratno dan Suwadi ingin melihat langsung disposisi itu. Belakangan, muncul bantahan Ary Mardjono, Asisten Mensesneg Urusan Hubungan dengan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara. Ia mengatakan, Soenarso tidak hadir dan tidak tahu-menahu tentang disposisi itu. Dalam bantahannya, Ary Mardjono menyebutkan, "Presiden tidak mencampuri penyusunan keoen urusan HPK karena wewenang penyusunan tersebut mutlak oleh formatur." Tapi R. Moerdiono heran, "Lo, saya lihat sendiri disposisi itu." Sedangkan Nilokentjono bertekad menyelesaikan kepengurusan ini sebelum 1 Muharam, atau 23 Juli depan. Dipilih 1 Muharam karena disebut salah satu hari besar bagi pengikut HPK. Agaknya, Munas HPK masih menempuh perjalanan panjang sebelum mengucapkan kata: Rahayu! Rustam F. Mandayun dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini