BAU kotoran manusia merendam barak-barak penampungan kaum pengungsi Vietnam dan Kamboja di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Lalat hijau berseliweran di mana-mana. Hampir tak ada tempat berlindung dari panas dan hujan. Yang kelihatan hanya tenda-tenda besar dari plastik untuk menampung sekitar 100 orang. Sebagian cukup beruntung karena kebagian barak-barak tua rusak yang semula akan dirobohkan. Bangunan itu dilengkapi dengan dipan kayu besar. Di sanalah, pusat segala kegiatan. Pulau seluas 150 kilometer persegi itu dikunjungi oleh 22 wartawan dalam dan luar negeri, Jumat minggu lalu. Daratan yang pernah dijadikan perkebunan nanas oleh PT Mantrust tersebut mulai dijejali pengungsi sejak 27 Januari 199O. Galang disiapkan Pemerintah Indonesia untuk menampung 5.000 - 6.000 pengungsi, yang kini mbludak sampai 16.559 orang. Jumlah ini pun nampaknya masih akan meningkat terus karena ada simpanan pengungsi di pulau-pulau sekitarnya. Belum lagi perahu-perahu pengangkut pengungsi yang terus saja mengalir masuk. Keadaan tersebut jelas memprihatinkan P3VD (Penanggulangan dan Pengelolaan Pengungsi Vietnam Daerah) dan UNHCR -- badan PBB yang bertugas mengurus pengungsi, di pulau itu. "Dari sudut kesehatan, kondisi yang ada sudah kritis. Tidak cukupnya penampungan, buruknya sanitasi, kurangnya air bersih dan listrik bisa berakibat buruk untuk kehidupan mereka," kata asisten perencana P3VD, Letkol. Doekseno. Pulau Galang disiapkan menjadi tempat penampungan para pengungsi untuk disalurkan ke negara tujuan sejak 1979. Sebabnya, lewat forum konperensi internasional tentang pengungsi Indocina di Jenewa 197S, Indonesia bersama Malaysia, Muangthai, dan Hong Kong menyediakan diri. Awalnya, dengan dukungan dana UNHCR, Galang dengan segala fasilitasnya sanggup menampung arus gelombang manusia perahu dari Vietnam. Jumlah ini perlahan mulai menyurut karena dari 140.738 pengungsi yang masuk ke Galang sejak tahun 1979, sudah 124.049 orang bisa dimukimkan di negara ketiga. Lainnya, 8 orang direpatriasi dan 122 orang meninggal. Hingga 1987, tercatat tinggal 1.600 pengungsi yang menghuni barak-barak. Menyusutnya jumlah pengungsi membuat dana UNHCR yang mengalir ke sana, tersedak. Sebagian barak yang berdinding papan dan beratap seng lapuk termakan waktu. Pemerintah Indonesia memang hanya menyediakan tenaga sukarela untuk mengurus kaum yang membuang diri dari negerinya itu. Tapi UNHCR pun segera tanggap ketika arus pengungsi mulai menderu kembali. Pada 1989, UNHCR mengedrop dana Rp 1,2 milyar. Pemerintah Australia juga sigap membantu kaum pengungsi itu. April lalu, lewat UNHCR, mereka menyuntikkan dana 1,5 juta dolar Australia, yang hanya bisa digunakan untuk membangun sanitasi 2.500 pengungsi. Australialah negara impian para pengungsi. Long Rithida, misalnya. Gadis Kamboja berwajah manis itu yakin akan bisa sampai di Negara Kanguru, yang dibayangkannya penuh madu dan susu. Siswi kelas 2 SMA itu bersama 4 saudaranya didaratkan di Galang 26 Februari, oleh dua buah kapal motor yang bermuatan 182 orang. Ia merasa tidak kerasan hidup di bawah rezim yang telah membunuh ayahnya -- seorang mayor angkatan darat dari pemerintah nonkomunis. Kisah perjalanannya ke tanah harapan itu tidak indah. Kapal motor mereka sempat diusir patroli Kerajaan Malaysia. Walaupun termasuk negara yang menyanggupi diri sebagai first asylum countries alias penampung para pengungsi berdasarkan Konperensi Jenewa 1975, negeri jiran itu tampaknya kesal dan mulai bersikap tegas. "Lima puluh sampai tujuh puluh persen manusia perahu itu sudah mampir di Malaysia. Tapi mereka kemudian diusir dari sana," tutur Doekseno. Kekesalan Malaysia itu dapat dimengerti. Selain tak layak disebut pengungsi karena bahaya perang sudah lewat, mereka pergi karena alasan ekonomi saja. Seorang anak laki-laki mengaku pada Reuters telah membayar 300 dolar Amerika pada calo yang mengatur pemberangkatannya. Ada juga seorang mantan kolonel AD, Hui The Dung, lari karena di negerinya timbul masalah kemanusiaan yang parah. Sikap Malaysia itu tentu saja merepotkan Indonesia. Para pengungsi ternyata sengaja menghancurkan perahunya agar tidak diusir dari perairan Nusantara. Banjir pengungsi Kamboja itu belakangan ini bikin ruwet. Karena tidak cukup akomodasi, mereka membangun gubuk-gubuk ala kadarnya, menanti uluran negara yang mau berbaik hati menerima mereka. Walaupun sudah berada di tempat penampungan, rasa permusuhan masih berkobar deras. Lokasi penampungan harus terpisah jauh, kalau tidak mau terjadi keributan. Masalah pengungsi ini pelik penyelesaiannya. Lalu 17 Maret 1989 ditetapkan sebagai cut-off date. Manusia perahu yang datang sesudah tanggal itu harus melalui proses skrining sebelum diberangkatkan ke negara tujuan. Tiap bulan terdaftar 1.000 sampai 1.5000 orang untuk diskrining. Bagi yang tak lulus alias screen out -- karena tidak memenuhi persyaratan pengungsi -- ada kemungkinan direpatriasi. Sejak cut-off date itu, sudah 200 aplikasi repatriasi masuk pada petugas repatriasi UNHCR. Yang mendapat resettlement adalah 125 orang ke Prancis dan Australia. Untuk pengungsi asal Kamboja, lebih rumit lagi kasusnya. Karena tidak ada aturan yang mengatur mereka dalam Comprehensive Plan of Actions, maka sampai saat ini mereka tetap disebut orang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Apa pun sebutan mereka, para pengungsinya sendiri tampak menikmati tempat penampungan sementara itu. Di tengah barak-barak buruk rupa, berdiri deretan kios, warung, coffee shop, warung sandwich, sampai tukang jahit dan salon. Gadis-gadis berkulit putih dan bermata sipit berjalan-jalan memakai payung untuk penahan sinar matahari. Walau sudah ada peraturan tidak boleh menikah selama di Galang, angka kelahiran bayi bulan-bulan terakhir meningkat: 20-25 tiap bulannya. Diah Purnomowati dan Ardian T. Gesuri (P. Galang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini