Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gembar-gembor Prabowo-Gibran Buat Kabinet Zaken, Bukan Hal Baru dalam Sejarah Indonesia

Kabinet Zaken yang digembar-gemborkan Prabowo-Gibran bukanlah yang pertama di negeri ini, pada zaman Sukarno beberapa kabinet zaken pernah dibentuk.

16 September 2024 | 13.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jajaran Menteri Kabinet Djuanda berfoto bersama Presiden Sukarno. Wikipedia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, mengungkapkan bahwa Prabowo Subianto saat ini sedang mempertimbangkan sejumlah nama untuk masuk dalam kabinetnya. Pengumuman mengenai susunan kabinet tersebut direncanakan setelah Prabowo dilantik sebagai Presiden pada Oktober mendatang. Muzani menjelaskan bahwa Prabowo berencana membentuk kabinet zaken.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabinet Zaken ini, menurutnya terdiri dari para ahli di setiap bidang. Meski begitu, ia menegaskan bahwa para ahli ini juga bisa berasal dari partai politik agar tetap relevan dengan jabatan yang akan mereka pegang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi, mendukung pernyataan tersebut. Menurutnya, para ahli yang masuk dalam kabinet bisa berasal dari kalangan partai politik, asalkan memiliki kemampuan dan pengalaman yang mumpuni di bidang masing-masing.

Apa itu Zaken Kabinet?

Zaken kabinet adalah jenis kabinet yang susunan menterinya berasal dari kalangan ahli di bidangnya, bukan semata-mata representasi partai politik tertentu. Meski begitu, para ahli tersebut tetap bisa berasal dari partai politik, selama mereka memiliki kompetensi yang memadai. Fungsi utama kabinet zaken adalah menghindari terjadinya tumpang tindih fungsi kabinet, memaksimalkan kinerja para menteri, serta meminimalkan risiko korupsi.

Dalam sejarah Indonesia, zaken kabinet pertama kali muncul pada periode 1957 hingga 1959, saat negara mengalami ketidakstabilan. Menurut situs resmi Kemdikbud, zaken kabinet tersebut adalah Kabinet Djuanda, yang dilantik pada 9 April 1957 dan berakhir pada 5 Juli 1959. Kabinet ini juga dikenal sebagai kabinet extra-parlementer, yang dibentuk tanpa mempertimbangkan jumlah kursi di parlemen.

Kabinet Djuanda ini diberi nama Kabinet Karya (zaken kabinet) sebab tidak berasal dari partai politik serta memiliki dua anggota militer di dalamnya. Kabinet Djuanda berlangsung antara April 1957 hingga Juli 1959. Program kerja kabinet ini antara lain membentuk  suatu Dewan Nasional, normalisasi keadaan negara Republik Indonesia, melanjutkan  pembatalan perjanjian  Konferensi Meja Bundar, memperjuangkan Irian Barat dan mempercepat pembangunan (Kartasasmita 1995: 42).

Kemunculan zaken kabinet pada masa itu tidak terlepas dari pengaruh Manipol USDEK dan menandai peralihan menuju era Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno. Pada 21 Februari 1957, Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden, di mana ia menyatakan bahwa Demokrasi Liberal tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Sebagai gantinya, ia mengusulkan sistem Demokrasi Terpimpin, yang berlandaskan pada sila keempat Pancasila.

Bagian dari Konsepsi Presiden ini mencakup pembentukan Kabinet Djuanda, yang dirancang oleh Soekarno sendiri. Kabinet ini terbukti cukup efektif dalam menjalankan tugasnya, salah satunya melalui Deklarasi Djuanda yang mempertegas wilayah perairan Indonesia. 

Meskipun Kabinet Djuanda terkenal sebagai zaken kabinet, sebenarnya konsep ini sudah diterapkan sebelumnya dalam Kabinet Natsir, yang menjabat dari 6 September 1950 hingga 21 Maret 1951, ketika para menteri yang duduk di kabinet tersebut juga terdiri dari para ahli non-politisi.

Pembentukan zaken kabinet tidak berarti menyingkirkan peran partai politik dari pemerintahan. Partai politik tetap memegang peran penting dalam sistem demokrasi modern, dan diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan negara. 

Namun, zaken kabinet diyakini lebih fokus pada kepentingan rakyat ketimbang kepentingan partai. Kabinet berbasis politik sering kali menghadapi risiko konflik kepentingan, di mana menteri tidak hanya bertugas sebagai pelayan publik tetapi juga harus memenuhi kepentingan partainya.

MICHELLE GABRIELA I ANANDA RIDHO SULISTYA | HENDRIK YAPUTRA | ANDI ADAM FATURAHMAN | ANTARA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus