Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemarau dan kesulitan mencari air tinggal kenangan bagi Supriadi. Sejak tiga tahun lalu, warga Desa Jabean, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, ini tak perlu repot-repot berjalan kaki hingga dua kilometer untuk mendapat satu jeriken air. Kini, bila ingin mandi atau untuk keperluan memasak, ia dan keluarganya tinggal memutar keran, lalu currr..., air bersih pun ngocor. "Mengalir 24 jam, nonstop," kata pria 41 tahun ini saat ditemui Tempo di rumahnya, Ahad dua pekan lalu.
Air yang mengalir di rumah Supriadi berasal dari sumur bor di Desa Jelbudan, Kecamatan Dasuk, yang dikelola swadaya oleh warga setempat bernama Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (Hippam). Sumur ini dibuat pada 1968 atas bantuan badan dunia untuk anak, Unicef. Kini pelanggan Hippam mencapai 350 keluarga, tersebar di tiga desa di dua kecamatan. Supriadi salah satu pelanggan terjauh Hippam. Jarak dari rumahnya ke sumber air Jelbudan sekitar 6 kilometer. "Sekarang, kalau kemarau, apalagi musim hujan, ketersediaan air aman," ujarnya.
Muhammad, pelanggan Hippam dari Desa Beringin, Kecamatan Dasuk, merasakan manfaat serupa. Ia tak perlu repot-repot membuat sumur sendiri. Selain harus merogok kocek lebih besar jika membuat sumur sendiri, air baru muncul di kedalaman 40 meter.
Pelayanan dari teknisi Hippam juga dinilai sangat baik. Tiga hari dalam sepekan, kata Muhammad, pengurus rajin mengecek instalasi. Jika ada keluhan, cepat ditangani. Harga langganan tidak membebani kantong, Rp 4.000 per kubik. Dengan pemakaian rata-rata 3-5 kubik air per bulan, Muhammad cukup membayar Rp 12-20 ribu sebulan. "Airnya jernih dan tidak berbau," katanya ihwal kualitas air Hippam.
Terpenuhinya kebutuhan air bersih ratusan warga di Desa Jelbudan dan Beringin, Kecamatan Dasuk, serta Desa Jabean, Kecamatan Manding, tidak lepas dari peranan Ketua Hippam Kecamatan Dasuk Rafiudin. Atas jerih payahnya mengelola sumur bor tua di desanya dan menyuplai air bersih di kawasan tandus itu, ia meraih Bung Tomo Award 2013 di Bidang Sosial pada pertengahan November lalu. "Saya tidak menyangka, cuma mengelola air dapat penghargaan," kata Rafiudin di rumahnya, Ahad dua pekan lalu.
Bung Tomo Award merupakan penghargaan yang diberikan kepada pribadi yang memiliki jiwa kepahlawanan dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar serta mampu memberi semangat juang dan pengorbanan yang tinggi. Kinerja orang yang dipilih juga harus mampu menginsipirasi dan memberi manfaat luas bagi masyarakat.
Penghargaan itu diberikan untuk mengenang perjuangan Sutomo dalam membangkitkan semangat melawan kembalinya penjajah Belanda, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya—tanggal yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Ketua Umum Bung Tomo Award adalah Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo. Tahun ini 30 kandidat masuk, dan Rafiudin menjadi salah satu pemenangnya.
Usaha Rafiudin mengelola perusahaan air minum swasta jelas menuntut ketekunan dan kesabaran. Perbaikan layanan juga tak bisa dikesampingkan. Masuk akal jika usahanya berbuah manis. Pelanggan yang semula hanya 10 keluarga terus meningkat. "Sekarang sudah mencapai 350 pelanggan. Banyak permintaan yang belum bisa dilayani," kata Rafiudin.
Saat ini kapasitas produksi sumur Hippam sedalam 125 meter itu 6 liter per detik. Setiap bulan per pelanggan rata-rata memakai 5-10 kubik air. Khusus untuk tempat ibadah, air disalurkan gratis dengan jatah 5 kubik per bulan. Dalam sebulan, pendapatan Hippam Rp 6-7 juta. Dari jumlah itu, Rafiudin mengalokasikan untuk biaya listrik Rp 4 juta sebulan, biaya teknisi Rp 350 ribu, dan pengurus Rp 200 ribu per orang per bulan. Agar transparan, seluruh pendapatan Hippam disimpan oleh sekretaris.
Lantaran permintaan sambungan baru terus meningkat hingga ke desa lain, Rafiudin berencana membuat sumur bor baru di Desa Jebean, Kecamatan Manding. Sudah ada warga yang bersedia menghibahkan tanahnya untuk dijadikan lokasi pengeboran dan telah diteliti banyak kandungan airnya. Untuk mewujudkan keinginan itu, ketika menerima Bung Tomo Award, Rafiudin meminta bantuan Gubernur Jawa Timur Soekarwo. "Butuh banyak biaya," katanya sambil tertawa.
Rafiuddin, yang mengelola Hippam sejak 1986, sebenarnya bukan orang asli Jelbudan. Pada 1970, dia menetap di desa yang berjarak 30 kilometer ke arah utara Kota Sumenep itu setelah menikahi gadis Jelbudan. Lelaki kelahiran 17 Agustus 1945 ini sehari-hari bertani, memelihara sapi, serta berdagang jambu mete, mangga, dan nangka. "Jika tidak bertani, saya mengelola sebuah TPA dan mengurus masjid," katanya.
Ia mulai mengelola Hippam setelah diminta sang guru, KH Abdul Manan Jazuli, pengasuh Pondok Pesantren Al-Islah, Desa Nyapar, Kecamatan Dasuk. Berkat sang gurulah, Unicef membantu mengebor sumur pada 1968.
"Awalnya sumber air ini diperuntukkan bagi puskesmas dan pengelolaannya dilakukan Kecamatan Dasuk," katanya. Di kemudian hari, petugas dari kecamatan terbukti tak cakap mengelola sumur besar itu.
Mulanya Rafiudin tak lama mengelola sumur itu lantaran belum memahami pembukuan. Pengelolaan sumur juga sempat dua kali berpindah tangan, tapi gagal juga. Puncaknya, operasional sumur bor Hippam terhenti total pada 1997, setelah warga membakar mesin diesel bantuan Unicef. Mereka marah kepada pengelola sumur yang tak kunjung menyambungkan pipa ke rumah mereka.
Dua tahun kemudian Rafiudin kembali mengelola Hippam setelah diminta oleh KH Farid, anggota DPRD Sumenep, putra almarhum KH Abdul Manan Jazuli. Kali ini ia mencoba profesional agar keberlangsungan usahanya permanen.
Rafiudin memulai dengan modal bantuan dari pemerintah daerah Sumenep sekitar Rp 40 juta. Ia membeli mesin genset listrik berkapasitas 12 ribu watt, membenahi gedung untuk menampung air, dan membeli pipa.
Untuk menghindari gugat-menggugat di kemudian hari, ia membuat surat hibah dari pemilik tanah yang ditempati sumur bor. Sebagai imbalannya, keluarga pemilik tanah hibah digratiskan membayar air dan beberapa anggota keluarganya diangkat menjadi pengurus. "Tanah itu dihibahkan untuk Hippam," kata Rafiudin.
Pada awal berbenah, ia mengaku kerap mendapat fitnah. Misalnya, ia dituduh memakai keuntungan berlangganan air untuk kepentingan pribadi serta menilap bantuan. Merasa tak melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan, Rafiudin jalan terus. Tak jarang, untuk meningkatkan kapasitas air dan menambah sambungan baru, dia harus merogoh kocek pribadi. "Sewaktu menambah alat supaya air lebih deras, saya habis Rp 8 juta," katanya.
Keberhasilan Rafiudin membuat banyak warga kaya di Desa Jelbudan ingin ikut merasakan gurihnya bisnis air bersih. Namun satu per satu dari mereka mundur lantaran gagal mengebor. "Kalaupun berhasil, airnya tidak deras," kata Jupri, Sekretaris Hippam.
Camat Dasuk Sujarno menyambut baik keberadaan Hippam. Apalagi, karena Hippam swasta murni, pemerintah tak perlu campur tangan. Meski begitu, pemerintah tak lepas tangan sama sekali. Jika ada pengajuan bantuan, misalnya ada kerusakan mesin genset, pemerintah siap turun tangan. Sebaliknya, jika tak ada pengajuan bantuan, ya, tak perlu memberikan bantuan. "Kalau mereka minta bantuan, baru kami bantu," katanya.
Tahun depan, menurut Sujarno, Perusahaan Daerah Air Minum Sumenep berencana membuka sambungan di Dasuk. Ia menjamin kehadiran PDAM tidak akan mematikan Hippam. Sebab, PDAM akan beroperasi di desa-desa yang belum terlayani Hippam, antara lain Nyapar, Beringin, dan Mantajuh. "Desa Beringin dan Mantajuh selalu kesulitan air saat kemarau," katanya.
Istiqomatul Hayati, Musthofa Bisri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo