Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gerilya di Menit Terakhir

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya setuju perkara pidana dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dibawa ke pengadilan. Ada manuver agar Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah mengundurkan diri.

30 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUJUH pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi itu tiba di Wisma Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, dengan sedikit bergegas. Selain tiga pelaksana tugas dan dua pemimpin KPK aktif, dua wakil ketua nonaktif komisi itu—Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah—juga diminta hadir. Hari itu, Senin sore pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendadak meminta waktu bertemu dengan mereka bertujuh di Istana.

”Presiden ingin mendengar apa masukan KPK,” kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto pekan lalu. Selain Djoko, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar ikut mendampingi Yudhoyono.

Enam jam setelah pertemuan itu, Senin pukul delapan malam, Presiden dijadwalkan berpidato soal sikapnya atas rekomendasi Tim Delapan. Seperti ramai diberitakan media, tim itu meminta kasus dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan polisi kepada Bibit dan Chandra dihentikan saja. Mereka menilai bukti dan saksi dalam berkas perkara itu lemah.

Di hadapan para pemimpin Komisi, Presiden mengungkapkan rencananya melaksanakan rekomendasi Tim Delapan. ”Saya tidak ingin ini terus berlarut larut,” katanya. Penegasan Presiden itu disambut senyum lebar. ”Kami sangat mendukung,” kata Pelaksana Tugas Ketua KPK Tumpak Hatorang­an Panggabean.

Chandra dan Bibit yang paling lega. Kepada Yudhoyono, Chandra menegas­kan tidak menyimpan sedikit pun dendam kepada siapa pun atas munculnya kasus rekayasa ini. ”Saya maafkan semua orang,” kata Chandra seperti dikutip Patrialis Akbar.

Di akhir rapat, sembari mengantar tetamunya ke pintu, Yudhoyono berbi­sik kepada Chandra, ”Yang tabah, ya.” Sambil menunjuk Chandra, dia ber­­ujar kepada pemimpin Komisi yang lain, ”Pak Chandra ini sabar sekali.” Patria­lis Akbar membenarkan suasana pertemuan yang cair itu. ”Memang bagus sekali (atmosfernya),” kata Patrialis.

l l l

KABAR itu muncul di telepon seluler Chandra Hamzah dalam perjalanannya menuju Bandung, Minggu dua pekan lalu—sehari sebelum pidato Presiden Yudhoyono soal rekomendasi Tim Delapan. ”Segera kembali ke Jakarta, urgent,” demikian bunyi selarik pesan dari koleganya di Komisi Pemberantasan Korupsi seperti diceritakan sumber Tempo. Meski sudah berada di ujung jalan tol Cipularang, Chandra segera memutar kendaraannya kembali ke Ibu Kota.

Setiba di kantor KPK, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dia disambut pemimpin Komisi yang lain. Akhir pekan itu, hampir semua pemimpin lembaga independen pemberantas korupsi itu standby di kantor. Mereka memantau detik detik menjelang pengambilan keputusan akhir Presiden Su­silo Bambang Yudhoyono atas rekomendasi Tim Delapan.

Chandra langsung menemui Tum­pak­ Hatorangan Panggabean Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang menggantikan Antasari Azhar. Pada periode sebelumnya, dia juga salah satu pemimpin Komisi. Kawan dekat Chandra bercerita, karibnya itu sejak awal sudah menduga akan diminta mundur. ”Dia memang ada feeling begitu,” kata sumber itu pekan lalu.

Sumber Tempo menuturkan, Minggu sore itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar memang sempat datang ke KPK, menemui kelima pemimpin Komisi. Dalam pertemuan itu, Patrialis dikabarkan meminta Bibit dan Chandra mengundurkan diri agar hubungan KPK polisi kejaksaan lebih baik. Politikus Partai Amanat Nasional ini meminta tawarannya direspons sore itu juga. Untuk itulah Chandra cepat cepat dipanggil ke kantor KPK.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud Md. mengaku juga sempat dimintai pendapat soal perlu tidaknya pemerintah meminta Bibit­ dan Chandra mundur dari Komisi Pem­berantasan Korupsi. ”Kalau dinilai itu perlu untuk membangun relasi yang harmonis antarlembaga penegak hukum, ya bisa saja,” kata Mahfud, meng­ulangi sarannya. ”Namun tidak ada yang bisa memak­sa mereka mundur. Itu harus sukarela.”

l l l

SUASANA tegang di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Umumnya pe­mimpin sementara komisi itu menyatakan tak ingin mempengaruhi Bibit dan Chandra dalam mengambil keputusan. ”Tapi, jika stamina kalian kuat, silakan jalan terus,” kata salah seorang di antara mereka. Maksudnya: tolak permintaan mundur itu.

Bibit tampak tak bersemangat. ”Ter­se­rahlah,” katanya seperti ditirukan sumber Tempo. Adapun Chandra me­nya­takan akan berkonsultasi dengan keluarga.

Belum lagi diskusi berakhir, resepsionis di lobi KPK memberikan kabar bahwa Patrialis Akbar sudah datang. Jam menunjukkan pukul lima sore.

Bibit dan Chandra beranjak ke ruang M. Jasin, komisioner KPK lainnya. Sedangkan Tumpak dan kawan kawan menemui Patrialis. Bibit, yang semula lunglai, mulai bersemangat. Ia menyatakan tak ingin mundur. Kepada Patrialis dinyatakan bahwa Chandra Bibit minta waktu. Patrialis menunggu kabar hingga Minggu pukul 24.00.

Ketika dimintai konfirmasi, Bibit tak tegas membantah cerita ini. ”Saya tak bisa menjawab,” katanya Jumat pekan lalu. Tapi ia membenarkan posisinya yang tak akan mundur. ”Kalau saya mundur, bagaimana tanggung jawab saya kepada pers dan facebooker yang sudah mendukung?”

Pertemuan pimpinan KPK dilanjut­kan. Merasa ada tekanan hebat dari Patrialis, mereka memasang call tinggi. Sekitar pukul delapan malam, kesimpulan dapat dicapai. Bibit Chandra­ mengajukan tiga hal: (i) meminta pemerintah menjalankan rekomendasi Tim Delapan, (ii) menolak mundur karena merasa tidak bersalah, (iii) jika nanti kembali ke KPK, keduanya akan lebih ”bijaksana”.

Apa maksud poin ketiga ini? Tak jelas. Ketika ditanya, Chandra ­enggan bi­cara. ”Saya enggak berkomentar dulu, deh,” katanya. Beberapa sumber di KPK menyatakan pernyataan itu di­sam­paikan sebagai ”penyejuk” agar tidak muncul kesan Bibit Chandra menan­tang. Ketiga pesan itu disampaikan via pesan pendek kepada Patrialis Akbar.

Mendapat jawaban itu, Patrialis tak menyerah. Senin siang, beberapa jam sebelum Presiden membacakan sikap atas kasus Bibit Chandra, Patrialis da­tang lagi ke KPK. Kali ini ia ditemui pimpinan Komisi plus kedua terdakwa.

Patrialis mengulangi lagi perminta­an agar keduanya mengundurkan diri. Ia juga menyampaikan keluhan beberapa tersangka korupsi yang tertekan akibat dibidik KPK.

Mendengar penjelasan itu, ­Chandra naik pitam. ”Pengorbanan apa lagi yang diminta dari saya?” katanya. ”Saya sudah ditahan, difitnah, nama saya dica­tut!” Hadirin terdiam. Ruangan mendadak sunyi. Pertemuan 30 menit itu berakhir. Patrialis pulang dengan tangan hampa.

Ketika dimintai konfirmasi tentang cerita ini, Patrialis membantah. ”Tak ada permintaan mundur. Saya datang untuk membicarakan semua opsi pe­nyelesaian,” katanya (lihat ”Saya Harus Bantu Presiden”).

Djoko Suyanto, Menteri Koordinator­ yang membawahkan tugas Menteri Hukum, menegaskan tidak ada kebijak­an pemerintah yang meminta kedua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi itu mengundurkan diri. ”Yang ada adalah inisiatif Menteri Hukum untuk memperbaiki relasi antarlembaga penegak hukum agar kembali harmonis,” katanya.

Presiden, kata Djoko, tak pernah mem­berikan perintah agar Patrialis ”membarter” kebijakan penghentian per­­­­kara dengan pengunduran diri. ”Pre­siden tidak mungkin ikut campur urus­an rumah tangga lembaga lain,” katanya.

l l l

PERGESERAN sikap Presiden yang menerima penyelesaian kasus Bibit Chandra di luar pengadilan sudah mulai terbaca pada Sabtu dua pekan lalu. Saat itu, dia menerima masukan dari sejumlah pakar hukum dan mantan hakim yang melakukan simulasi sidang atas perkara itu, di kediamannya, di Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Intinya, kepada mereka ditanyakan apa yang akan mereka lakukan jika menangani perkara ini. Menteri Hukum Patrialis Akbar membenarkan soal gelar perkara ini. ”Saya memang melibatkan mereka untuk menyampaikan masukan,” katanya.

Hasil simulasi sidang sama dengan rekomendasi Tim Delapan: aliran dana ”pemerasan” yang terputus dari si pemberi, Anggodo Widjojo, kepada Bibit dan Chandra. Itulah missing link yang melemahkan pembuktian sangkaan polisi dalam perkara ini. ”Tim Delapan juga sudah menyampaikan bahwa jaksa penyidik ragu,” kata Patrialis.

Sikap Presiden makin bulat setelah dia menerima hasil jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia. Penelitian itu dilakukan LSI atas permintaan Yudhoyono.

Dalam jajak pendapat itu ditanyakan apakah publik percaya Bibit Chandra menerima suap dan menyalahguna­kan wewenang. Untuk pertanyaan pertama, mayoritas responden tak percaya. Namun, untuk pertanyaan kedua, opini mereka terbelah. Survei LSI juga menyebutkan responden terbagi dua soal apakah kasus ini sebaiknya dibawa ke pengadilan atau tidak.

Entah kenapa, LSI terkesan menutupi perannya dalam penentuan nasib Chandra Bibit tersebut. Dikontak akhir pekan lalu, Direktur Riset LSI Kus­krido Ambardi menolak berkomentar. ”Maaf, saya sedang workshop. Soal itu Anda hubungi Saiful Mujani saja,” katanya. Direktur Eksekutif LSI Saiful Mujani tak bisa dikontak untuk dimintai konfirmasi. Penjelasan justru datang dari seorang peneliti yang menolak namanya dipublikasikan. ”Saya cuma bisa memastikan bahwa kami memang membuat survei itu. Tapi kebijakan orga­nisasi melarang kami mengumumkannya.”

Selain mendapat masukan dari LSI, Presiden mendengarkan pendapat Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa dan Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud Md. Ketua Mahkamah Konstitusi memberikan saran, jika kasus Bibit Chandra hendak diselesaikan di luar pengadilan, Presiden tetap tidak bisa masuk ke urusan teknis operasional penghentian perkara. ”Presiden cukup memberikan peng­arahan, Sebab, proseduralnya adalah wilayah polisi dan jaksa,” katanya. Ketua Mahkamah Agung meng­iyakan. ”Bapak jangan mencabut sendiri perkara ini, tapi cukup memberikan arahan,” kata Harifin.

Setelah mendengar berbagai masuk­an, Presiden merumuskan naskah pidato. Setiap kali satu draf selesai, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa dan Staf Khusus Bidang Hukum Denny Indraya­na diminta memberikan komentar. ”Naskah pidato terus di review berdasarkan dinamika dari waktu ke waktu,” kata Daniel. Dalam satu hari, revisi bisa terjadi 3 4 kali. Daniel menyatakan Presiden sangat hati hati dalam merumuskan kata dan kalimat.

Mungkin karena kelewat hati hati, pidato Presiden itu terkesan mengambang dan membuat Chandra, Bibit, dan tim pengacara terperangah. ”Tak sesuai dengan pernyataan Presiden dalam pertemuan Senin siang,” kata salah seorang di antara mereka. Di layar Metro TV tak lama setelah Presiden mengakhiri pidato, Chandra dan dua penasihat hukumnya sempat terlihat bingung.

Dalam keadaan kritis, inisiatif diambil beberapa rekan Chandra Bibit. ”Pernyataan Presiden harus ditafsirkan sebagai dukungan agar kasus ini tak dilanjutkan ke pengadilan,” kata sumber Tempo di KPK. Ada kekhawa­tiran polisi dan jaksa membaca pidato ini dengan tafsir berbeda: melanjutkan kasus ke meja hijau.

Pasukan lantas digerakkan. Di antaranya dengan mempengaruhi pendapat umum melalui media. Dalam beberapa wawancara, pengacara Bibit Chandra dan mantan anggota Tim Delapan menyatakan pidato Presiden itu jelas mendukung kedua terdakwa.

Polisi dan jaksa tampaknya tak punya banyak pilihan. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effen­dy menyatakan kejaksaan akan meng­hentikan perkara ini. Menurut juru bicara Presiden, Julian Adrian Pasha, segera setelah jaksa menyatakan kasus ini disetop, Presiden akan mengeluarkan keputusan yang bisa membuat Bibit Chandra kembali ke kantor.

Arif Zulkifli, Wahyu Dhyatmika, Ninin Damayanti, Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus