Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Main golf di kebun sayur

230 kk petani di desa cimacan, pacet, cianjur kehilangan lahan. tanah garapan milik desa itu disewakan pada pt bandung asri mulia oleh aparat desa untuk padang golf dan akomodasi pariwisata.

29 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA petani terperangah membaca papan pengumuman yang bernada mengancam itu: "Yang tidak mengambil uang pangjeujeuh dan tanamannya tidak dipanen berarti menghambat pembangunan dan menentang pemerintah". Uang pangjeujeuh alias ganti rugi ala kadarnya itu hanya Rp 30 untuk setiap meter persegi tanah yang bertahun-tahun mereka garap. Ada delapan pengumuman seperti itu dipacangkan di lahan pertanian seluas 34 ha di Desa Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Masih termasuk kawasan pariwisata Puncak yang hijau. Lahan pertanian itu berbatasan dengan Taman Nasional Cibodas yang sering digunakan berkemah oleh Pramuka dan anak sekolah. Karena pengumuman mengancam itu dinilai tak selayaknya, Senin lalu, Gubernur Jawa Barat, Yogie S.M., memerintahkan untuk mencabutnya. Dan kini, tanah titisara atau tanah milik desa itu menjadi pusat perhatian orang. Lahan pertanian yang turun-temurun menjadi sumber nafkah para petani itu kini disewakan kepada pihak swasta yang akan menyulapnya menjadi padang golf dan akomodasi pariwisata. Akibatnya, tak kurang dari 230 kk petani kehilangan sumber nafkah utama. Alasannya karena lahan tersebut dinilai kurang subur. Penghasilan petani pun tak memadai. Apalagi uang sewa tanah titisara yang masuk ke kas desa pun tak mencukupi. Sejak 1985, uang sewa itu Rp 2.000 untuk setiap patok per tahun. Luas seluruhnya 34 ha atau 850 patok (satu patok sekitar 400 m2). Seharusnya sewa yang dipungut desa Rp 1,7 juta setahun. Tapi jumlah itu tak pernah terpenuhi. "Padahal, saya hanya menargetkan Rp 1.4 juta. Itu pun tidak tercapai," kata Tatang Yudi, yang baru dua bulan menjabat Kepala Desa Cimacan Akibatnya, antara lain, gaji para pamong desa Cimacan sering terlambat. Maka, kepala desa pun menerima tawaran PT Bandung Asri Mulia (BAM) untuk menggadaikan tanah itu selama 30 tahun. Pihak Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat juga menilai lahan itu kurang subur. "Selama ini tanah itu hampir tidak memberi hasil apa-apa kepada desa. Untuk memungut uang sewa tanah sebesar Rp 400.000 per tahun saja sulitnya bukan main," ujar H.S.A. Jussac, juru bicara Pemda Provinsi Jawa Barat itu. Setelah bermusyawarah dengan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Kepala Desa minta izin atasannya. Kemudian, tahun lalu, keluarlah SK Gubernur Jawa Barat Nomor 593 yang memutuskan penyewaan lahan itu senilai Rp 90 juta selama 30 tahun. Uang sewa dari PT BAM itu didepositokan, dan bunganya dipetik untuk membayar gaji para pamong desa. "Sekarang para pamong desa tak lagi terlambat menerima gaji," kata Tatang Yudi. Gaji pamong desa itu antara Rp 25.000 dan Rp 60.000 per bulan. "Uang sewa tanah itu tak sematamata hanya untuk menanggulangi keterlambatan gaji pamong desa, tapi juga untuk membangun desa," ujar Jussac yang juga suka berolahraga golf itu. Harapannya, para petani tetap kebagian nafkah dari proyek pembangunan padang golf dan akomodasi wisata itu. Namun, agaknya, tak gampang mengubah pola kerja - dari petani menjadi pekerja bangunan, atau caddy alias pemungut bola golf. Memang tanah itu milik desa, dan pihak desa berhak menyewakannya kepada siapa pun. Namun, tak kurang dari Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Soni Harsono, berpendapat bahwa kepentingan petani hendaknya jangan dikorbankan. "Menurut saya, tanah itu lebih baik dimanfaatkan untuk kepentingan petani," katanya kepada TEMPO. Lagi pula, kurangnya pemasukan kas desa dari dari para petani, ternyata, bukan semata-mata kesalahan mereka. "Selama ini abdi membayar sewa sesuai dengan ketetapan. Jadi, kalau pemasukan ke kas desa kurang, itu bukan salah abdi. Kan pihak desa sendiri yang menetapkan," kata Asep (bukan nama sebenarnya), seorang petani penggarap, kepada TEMPO sambil memperlihatkan kuitansi pembayaran sewa terakhir. Asep, yang menggarap tanah seluas 2.000 m2, setiap tahun membayar Rp 2.000 per patok. Ia dan kawan-kawannya mengaku tak pernah menunggak. Kalaupun tanah pertanian itu dinilai kering dan kurang subur - karena itu disewakan kepada pihak swasta untuk dijadikan padang golf - sebenarnya juga kurang tepat. Di sana, misalnya, mengalir selokan selebar satu meter, yang membuat tanah di sekitarnya selalu basah. Itulah sebabnya para petani bisa bertanam macam-macam sayur-mayur. Ada bawang putih, bawang merah, bawang daun, kol kembang, cabai merah. Bagi petani yang mengolah tanah seluas 2.000 m misalnya, paling tidak sehari mereka bisa memanen empat ton sayur-mayur. Dilihat dari penghasilan desa, uang sewa dari kantong petani itu memang tidak ada artinya. Sebaliknya, hasil penjualan sayur-mayur yang setiap pagi dipikul ke pasar, tentunya, bisa menghidupi keluarga petani kecil itu. Seorang petani yang menggarap ladang seluas 800 m2, misalnya, setiap panen bisa mengantungi sekitar Rp 400.000. Kini, sekitar 230 kk petani yang selama ini menggarap lahan itu tak lagi bisa memikul sayur ke pasar. Ada yang menangis menyaksikan 6.000 pohon tomatnya -- yang tinggal sebulan lagi dipanen diobrak-abrik. Padahal, di antara mereka ada yang sudah mengeluarkan biaya Rp 750.000 untuk merawat tanah selama empat kali masa panen.Budiman S. Hartoyo, Hasan Syukur dan Riza Sofyat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum