Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung Daryono Hadi Tjahjono menilai tim riset Universitas Airlangga (Unair) kurang solid dalam menyiapkan penelitian uji klinis kombinasi obat Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mulai dari uji in vitro kemudian protokol uji klinisnya berantakan,” ujarnya saat dihubungi Rabu 19 Agustus 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Daryono, tim Unair sebaiknya mengulang kembali riset obat tersebut. “Kalau seperti ini pengaturan metodologi terlihat berantakan sebaiknya riset diulang,” katanya.
Ia mengatakan ahli dari BPOM harus mendampingi riset ulang itu sehingga perkembangan ujinya terpantau dan dikoreksi bila ada tahapan yang dilewati.
Uji klinis yang tidak memenuhi kaidah protokol penelitian dan tidak dilakukan secara ilmiah kata dia, sulit untuk mendapatkan kesimpulan. Hasilnya pun dinilai meragukan.
”Kalau terjadi kesalahan sangat berbahaya, Badan POM yang punya otoritas untuk diperbaiki atau diulang risetnya,” kata dia.
Daryono mengatakan selama ini belum ada laporan riset yang dipublikasikan oleh Unair soal kombinasi obat itu mulai dari rencana, metode, hingga uji coba kepada pasien Covid-19.
Laporan berkala, misalnya, bisa disampaikan ke publik karena publikasi ilmiah memakan waktu lama. “Lewat preprint bisa ditulis saja prosedur, metode ilmiah yang digunakan seperti naskah untuk jurnal ilmiah,” katanya.
Selain untuk mengundang komentar dan masukan para ahli, publikasi seperti itu, kata dia, sebagai cara keterbukaan kepada publik. Tidak saja bagi masyarakat ilmiah tapi juga awam.
Kepala BPOM Penny Lukito mengungkap temuan dari hasil riset uji klinis kombinasi obat Covid-19 oleh tim Unair. Temuan kritis misalnya terkait pengacakan subyek penelitian pasien Covid-19 yang belum mewakili keberagaman sesuai protokol penelitian seperti demografi dan derajat keparahan.
Kombinasi obat juga diberikan kepada orang tanpa gejala (OTG), padahal sesuai protokol, OTG tidak perlu diberikan obat. Target pasiennya, kata Penny, seharusnya mengarah pada yang berpenyakit ringan, sedang, dan berat. “Status yang kami nilai adalah masih belum valid jika dikaitkan dengan hasil inspeksi kami,” kata Penny dalam konferensi pers, Rabu, 19 Agustus 2020.
Catatan: Judul berita ini telah diubah pada Kamis, 19 Agustus 2020 pukul 09.22 WIB. Sebab Bapak Daryono sudah tidak menjadi Dekan Farmasi ITB.