Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hanya Berebut Tempat Kedua

Pencalonan Eros Djarot sebagai kandidat ketua umum diganjal dengan berbagai cara. Tapi benarkah yang diperebutkan itu jabatan orang pertama?

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUDAYA politik jegal-menjegal yang sering diperagakan pada zaman Orde Baru belum sepenuhnya lenyap. Dan sayang seribu sayang, trik-trik menghambat calon ketua umum malah terjadi di partai pemenang pemilu, PDI Perjuangan. Kesan ini muncul setelah Eros Djarot, seniman yang juga aktivis partai, yang mencalonkan diri sebagai ketua umum dalam kongres PDI-P di Semarang pada 26-31 Maret, diganjal dengan segala cara. Eros mengantongi 18 suara dalam konferensi cabang khusus Jakarta Selatan, di bawah Audi Tambunan. Seharusnya, ia sudah mengantongi karcis masuk ke Kongres Semarang karena aturan partai mengatakan bahwa empat peraih suara terbesar di konferensi tingkat cabang berhak menjadi utusan dewan pimpinan cabang setempat di kongres. Tapi aturan untuk Eros, pemimpin politik Detak, rupanya berbeda. Hasil konferensi cabang khusus Jakarta Selatan tadi malah didiskulifikasi oleh pengurus cabang. Nama Eros dicoret, diganti orang lain. Alasannya, kartu anggota penggubah lagu Badai Pasti Berlalu itu sudah berlalu masa berlakunya alias kedaluwarsa. Dan itu dianggap cacat besar untuk Eros. Belakangan diduga pencoretan itu akibat Eros berani maju sebagai ketua umum di Semarang nanti. Eros pun mengadu dan menemui para petinggi PDI Perjuangan, termasuk Megawati, 9 Maret lalu. Setelah pertemuan, Eros menggelar jumpa pers yang menjelaskan, "Status saya sebagai anggota di PDI-P tidak bermasalah. Saya bisa berangkat ke Semarang, dan mencalonkan diri menjadi ketua bukanlah tindakan kriminal." Penjelasan Eros dibenarkan Haryanto Taslam, Wakil Sekjen PDI-P. Taslam menegaskan, berdasarkan kesepakatan Pengurus Pusat PDI-P, Eros Djarot bisa berangkat ke kongres. Ternyata, di daerah pun Eros mendapat "sambutan". Ketika hendak menghadiri dialog terbuka dengan tajuk "Membangun Partai yang Demokratis" di Jombang, Jawa Timur, 15 Maret silam, ia dihadang puluhan massa yang mengklaim pendukung berat Megawati. Seminar yang sedianya diadakan di sebuah rumah makan itu pun batal karena ada ancaman akan dibakar. Sebagai ganti, diskusi diadakan di sebuah tempat milik panitia dan hanya dihadiri oleh beberapa orang. "Kejadian ini mengingatkan saya pada saat mendampingi Mbak Mega ketika dicekal rezim Soeharto," ujar Eros dalam diskusi itu. Pertanyaannya, siapa yang ingin menjegal Eros. Jika melihat peta PDI-P, ke mana telunjuk mengarah bisa ditebak. Pihak yang selama ini getol mempermasalahkan Eros Djarot adalah kelompok Roy B.B. Janis. Ketua DPD Jakarta itu memang yang cukup keras mempersoalkan kartu tanda anggota Eros. Di barisan ini ada Santayani Kiemas, adik Taufik Keimas, juga Mangara Siahaan, Wakil Sekjen, dan Jacob Nuwawea, Wakil Ketua PDI-P Jakarta. "Bos" kelompok ini disebut-sebut adalah Taufik Kiemas, yang tak lain adalah suami Megawati sendiri. Menurut pengamat politik Arbi Sanit, kubu Taufik Kiemas ini dikenal berambisi ingin mendapat kekuasaan dengan "segala cara". Niat Dimyati Hartono, salah satu Ketua PDI-P, untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum—dia meminta agar Megawati tidak mencalonkan diri lagi di Semarang—kabarnya juga dijegal kelompok tersebut. Seorang sumber TEMPO di PDI-P yang namanya minta tak dikutip menyebut, "Kelompok ini memanfaatkan pengaruh Megawati untuk kepentingan pribadi mereka." Kubu Kiemas tentu saja menangkis semua tudingan tak sedap itu. Menurut Roy Janis, yang dipersoalkan adalah kartu anggota yang tidak sesuai dengan domisili Eros Djarot di Jakarta Pusat, bukan pencalonannya. "Ini persoalan yang serius dan tidak bisa dianggap enteng bagi partai sebesar ini," kata Roy suatu saat kepada pers. Lagi pula, pencoretan itu sudah atas persetujuan 26 dari 30 peserta konferensi khusus Jakarta Selatan. Suara senada juga datang dari Mangara Siahaan. Mantan bintang film itu tidak percaya Taufik Kiemas adalah otak penjegalan Eros dan pesaing Mega lainnya. "Keputusan di DPP tidak ada sangkut-pautnya dengan nama besar Taufik sekalipun ia suami ketua umum," tuturnya tegas. Jadi, menurut Mangara, adalah salah besar mengaitkan dirinya, Roy Janis, dan Santayani Kiemas dalam upaya penjegalan Eros. "Pakai senjata apa Taufik berbuat begitu? Ia bukan orang DPP," ujarnya dengan berapi-api. Tapi mengapa Eros perlu dijegal? Apakah sutradara film itu begitu berbahaya untuk bersaing dengan Megawati di Semarang nanti? Rasanya memang tidak, walaupun Eros ada juga pendukungnya, misalnya Wakil Bendahara PDI-P Meilono Soewondo, atau pengusaha Arifin Panigoro, Laksamana Sukardi, dan Haryanto Taslam. Mereka yang di belakang Eros itu selama ini dikenal sebagai "Kelompok Jenggala". Selain itu, ada sebagian cabang di Jawa Timur dan Jakarta yang juga menginginkan Eros duduk di dalam formasi pengurus pusat. Toh, rasanya mustahil menjegal Mega di Semarang. Hampir semua cabang PDI-P Jawa Timur dan Jawa Tengah sudah sepakat mendudukkan kembali Megawati di kursi ketua umum. "Hampir pasti Mega terpilih," ujar Mardiyo, Bendahara PDI-P Jawa Tengah, kepada Adi Prasetya dari TEMPO. Selain itu, DPD Jambi, Kalimantan Timur, Nusatenggara Barat, dan Sumatra Barat juga bertekad mengusung kembali Megawati. Megawati pun sudah menyalakan lampu hijau untuk pencalonannya. Di hadapan ribuan massa partai banteng bibir putih, pada perhelatan ulang tahun PDI-P, 27 Januari lalu, Megawati berkata, "Insya Allah, sekiranya Kongres PDI-P menghendaki Megawati Sukarnoputri, saya siap menerima tugas itu," ujarnya. Kesediaan itu diulanginya kemudian saat ia menerima DPP PDI-P di Istana Merdeka. Lantas untuk apa Eros terus nekat maju menandingi Mega? Jawabannya bisa sangat demokratis: agar budaya calon tunggal tak terjadi di partai pemenang pemilu itu. Tapi bisa juga Eros justru "bermain" di orbit Mega: ia membidik jabatan ketua harian. Santer terdengar, kongres mendatang akan mene-tapkan jabatan baru, yakni ketua harian. Alasan sang pengusul, yaitu Meliono Soewondo, ketua harian akan menangani tugas partai sehari-hari mengingat kesibukan Megawati yang kini menjadi wakil presiden. Jelas, usul ini sudah menghitung pasti: Mega akan tanpa saingan berarti di Semarang, jadi yang layak "diperebutkan" adalah jabatan strategis kedua di partai. Nah, jika jabatan ketua harian bisa digolkan, kemungkinan besar Eros bisa menjadi calon kuatnya. Tiket untuk jabatan ketua harian sudah dikantongi Eros: restu dari putra Sukarno lainnya seperti Guntur dan Guruh. Bahkan Megawati sendiri, seperti pengakuan Eros, termasuk yang mendukung pencalonan Eros ini. Maklum, selama ini Eros memang dikenal punya hubungan sangat dekat dengan Megawati, misalnya sebagai penulis pidato Megawati. Soal restu Mega itu dibenarkan Meliono Soewondo. Namun, "Bukan untuk menjadi ketua umum, tetapi calon ketua umum," katanya. Maka, jika benar, pencalonan Eros—juga Dimyati Hartono—sesungguhnya sangat membantu citra Mega: ia seketika mengelakkan kesan bahwa Mega menghadang calon selain dirinya sebagai ketua umum. Jika kelak Eros kalah tapi bisa masuk jajaran pengurus pusat, bertambahlah administrator bagus di kubu partai besar itu. Soalnya tinggal bagaimana Eros nanti bisa "kompromi" dengan kubu Kiemas, Roy Janis, dan lainnya. Skenario begini ditolak Taufik Kiemas. "Saya menyerahkan semua pada keputusan kongres. Biar saja semua calon berkompetisi, suasana semakin demokratis," ujarnya. Sedangkan soal ketua harian, ia dengan tegas mengatakan, "Apa saya tipe orang yang berambisi seperti yang dituduhkan itu?" ujarnya lagi. Kongres PDI-P rasanya akan berjalan seru. Di sana akan ada politisi-politisi kawakan dari masa lalu, tentu dengan "jurus-jurus" masa lalu. Di sana juga ada orang-orang yang ingin partai massa ini benar-benar bersalin wajah. Orang-orang itu ingin, "PDI-P tidak lagi menjadi partai yang mengandalkan otot dan massa, tetapi menggunakan pertimbangan politik yang sehat," kata sumber TEMPO. Rasanya, partai sebesar PDI-P sudah tak pantas lagi hanya bersandar kepada karisma keluarga Bung Karno. Tapi beranikah mereka memulainya di Semarang? Jawabnya sangat mungkin adalah tidak. Johan Budi S.P., Handriani Pudjiarti, Agus S. Riyanto, Zed Abidien

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus