DAERAH boleh punya banyak rencana, tapi Pusat yang menentukan. Walhasil, pemerintah daerah kini amat bergantung pada pusat. ''Ketergantungan itu telah memperlihatkan dampak negatif,'' tutur I Made Suwandi di depan tim penguji tesis doktornya di Universitas Birmingham Inggris, akhir Desember lalu. I Made Suwandi, 39 tahun, staf pengajar di Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor, Jawa Barat itu pun lulus sebagai doktor. Dengan tesis tentang dampak ketergantungan daerah ke pusat, kini ia menjadi satu dari sedikit ahli yang mendalami ihwal hubungan daerah-pusat dalam tata pemerintahan Indonesia. Ketergantungan itu mudah dilihat dari segi anggaran. Rata- rata pendapatan asli daerah cuma 30% dari total anggarannya. Di situ subsidi pusat pegang peranan. Tapi akibatnya, menurut Made, pemerintah daerah tak punya keleluasaan menentukan prioritas belanjanya. ''Ini fenomena yang paling menonjol,'' tutur Made. Masalah ini merembet pula dalam soal personalia. Perekrutan pegawai daerah lebih ditentukan oleh pusat, baik dalam jumlah maupun kualifikasinya. Tak mengherankan bila pegawai baru yang datang ke daerah kadang tak sesuai dengan kebutuhan setempat. Akibatnya, katanya, ada keluhan kelebihan pegawai, tapi kekurangan tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuham daerah. Siatuasi itu, menurut Made, membuat kemampuan pemda -- dalam hal keuangan, personalia, dan manajerial -- kurang berkembang. Daerah lebih mendahulukan program pusat. Dalam hal keuangan, daerah kurang mandiri. ''Apabila suatu saat pusat kekurangan dana, pembangunan di daerah bisa macet,'' kata Made. Sebab, pemerintah daerah telanjur tak cakap mencari uang. Dengan posisi yang lemah itu, para pejabat daerah bisa santai, tak perlu ngotot mengejar target. Subsidi berapa pun bakal disambut dengan senang hati. Sebab, kata Made, tugas yang diembannya tak tegas batas-batasnya dan standar yang mesti dicapai pun tak jelas. ''Masyarakat juga tak cerewet, karena tak peduli dengan program pemdanya,'' tutur Made. Hubungan pusat-daerah yang berat sebelah itu, kata Made, tak lepas dari UU Nomor 5/1974, tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, yang memang menempatkan pusat jauh di atas daerah. Menurut undang-undang itu, daerah punya tiga fungsi: desentralisasi, dekonsentrasi, dan koadministrasi. Desentralisasi memuat pesan bahwa daerah itu mempunyai hak otonomi. Tapi dekonsentrasi berarti pemda menjadi alat pusat dan fungsi koadministrasi menempatkan pemda sebagai pembantu pusat dalam pelaksanaan programnya. Dan kenyataannya, fungsi kedua dan ketiga lebih menonjol. ''Ini memang baik untuk menjaga stabilitas,'' ujar Made. Tapi, katanya, kemampuan daerah sulit berkembang. Untuk menyusun tesisnya, Made mengobservasi enam daerah tingkat II yang mewakili pemda kaya dan miskin di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Ia memilih Prof. Kenneth Devey, ahli keuangan daerah, dari Universitas Birmingham, yang pernah menjadi penasihat pemerintah Indonesia, sebagai promotor. Untuk sampai pada kesimpulan adanya ketergantungan itu, Made mewawancarai semua pejabat dan rakyat. Menteri Dalam Negri Rudini bukannya tak melihat fenomena hubungan berat sebelah itu. Maka, pertengahan tahun lalu, ia melontarkan gagasan untuk mengembalikan fungsi otonomi daerah tingkat II. Namun gagasan itu sulit menggelinding karena tak didukung oleh konsep yang lebih jelas. Siapa tahu perpaduan ide Rudini dan Made itu bisa membuka jalan baru. PTH dan Mudrajat Kuncoro (Birmingham)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini