INILAH peristiwa yang sering diperingati umat Islam pada tiap tahun: Israk-Mikraj. Nabi Muhammad SAW mengadakan perjalanan di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, dan terus naik ke Sidratul Muntaha (Sidrat al- Muntaha). Peristiwa ini penting, karena sejak itu salat lima waktu ditetapkan. Jumat malam pekan lalu, Yayasan Wakaf Paramadina dalam pengajian bulanannya ke-70, di Hotel Kartika Plaza, Jakarta, membahas Israk dan Mikraj dari sudut sejarah. Dihadiri sekitar 250 peserta, tampil Dr. Atho Mudzhar membawa makalahnya. Pengajar di Fakultas Pascasarjana IAIN Jakarta itu mencoba mencari jawaban letak Masjidil Aqsa yang disebut dalam Surat al-Isra (ayat 1), ''Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hambanya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang diberkahi sekelilingnya ...'' Menurut Nurcholish Madjid, pengelola Paramadina, banyak ahli tafsir berbeda pendapat dalam memahami ayat tersebut. Atho Mudzhar membahas dua penafsiran yang berbeda tentang kata ''Masjidil Aqsa'' dalam surat tadi. Penafsir pertama mengatakan, Masjidil Aqsa pada ayat itu adalah Masjidil Aqsa di Yerusalem, Palestina. Penafsiran ini berkembang hingga kini. Berarti, perjalanan Rasulullah sampai ke Sidratul Muntaha dua tahap: dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjidil Aqsa (Yerusalem), dan dari Masjidil Aqsa naik ke Sidratul Muntaha, tempat di atas langit ketujuh. Jadi, menurut penafsiran ini, Israk dan Mikraj memiliki arti yang berbeda. Namun, menurut penafsiran kedua: Israk dan Mikraj adalah dua kata yang memberi arti sama. Yakni, perjalanan Nabi pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Sidratul Muntaha. Dalam perjalanan ini, beliau tidak singgah di Yerusalem. Sebab, Masjidil Aqsa di Surat al-Isra (ayat 1) itu mesjid yang jauh dari alam dunia, di Sidratul Muntaha. Jika demikian, Masjidil Aqsa yang dimaksudkan dalam ayat al- Isra itu bukanlah Masjidil Aqsa di Yerusalem. Penafsiran ini, menurut Atho, ternyata tidak berkembang. Namun, bila penafsiran kedua ini benar, Masjidil Aqsa yang di Yerusalem itu akan berkurang pentingnya bagi umat Islam, kecuali yang tinggal adalah pernah menjadi kiblat umat Islam. Atho menemukan kelemahan pada penafsiran pertama. Misalnya, kata Mikraj, yang berarti tangga atau naik. Dengan demikian Mikraj tidak bisa diartikan turun. Dan kalau Israk dan Mikraj itu merupakan dua perjalanan yang berbeda, tanya Atho, lalu apa namanya perjalanan Nabi ketika turun dari Sidratul Muntaha? Kelemahan lain, yakni bila dikaitkan dengan Surat al-Rum, ayat 1: ''Alif lam mim. Kerajaan Romawi Timur (Byzantium) telah dikalahkan di negeri-negeri dekat. Setelah itu Byzantium akan menang kembali dalam beberapa tahun saja.'' Ayat yang turun sekitar enam tahun sebelum Israk ini, kata Atho, menceritakan kemenangan Kerajaan Persia merebut Syria dari Romawi. Dalam ayat ini, Syria disebut ''negeri dekat'' (adnal ardi). Ketika itu Palestina secara geopolitik masuk wilayah Negeri Syam atau Syria. Maka, otomatis Palestina (Yerusalem) termasuk ''negeri dekat'', bukan negeri yang jauh (al-ard- aqsa) seperti disebut di Surat al-Isra ayat 1 tadi. Jadi, mengapa Masjidil Aqsa dalam Surat al-Isra itu harus ditafsirkan sebagai mesjid di Yerusalem (Quds) yang sekarang? Atho melihat bahwa dalam Surat al-Isra ayat 1 itu adalah Masjidil Aqsa yang di sekelilingnya diberkati (al-ladhi barakna hawalahu). Bila arti Masjidil Aqsa itu diberikan ke mesjid di Yerusalem, ternyata sejarah membuktikan bahwa di sekitar negeri itu tidak pernah tenteram dan diberkati. Di negeri itu, menurut Atho, sering terjadi penindasan, kekacauan, dan peralihan kekuasaan. Misalnya, setelah dari tangan Bani Umayah, Yerusalem jatuh kepada Bani Abbasiyah, lalu dikuasai Daulat Tulunid, dan pada tahun 974 Masehi direbut Daulat Fathimiyah di Mesir. Pada tahun 1516, Yerusalem jatuh ke tangan Daulat Usmaniyah (Turki), kemudian jatuh ke tangan Inggris, dan terakhir dikuasai Israel. Begitu pula setiap perpindahan kekuasaan, menurut Atho, Yerusalem selalu dibanjiri darah dan penderitaan. ''Inikah negeri yang dalam Quran disebut kota yang di sekelilingnya diberkati itu?'' tanya Atho. Ini juga dipertanyakan oleh Nurcholish Madjid. Sebab, ia melihat Yerusalem selalu kacau dan tidak aman hingga kini. Karena itu, menurut pendapat Atho, kata Masjidil Aqsa dalam Surat al-Isra ayat 1 itu berarti Masjid Baitul Makmur di Sidratul Muntaha. ''Maka, sifat keberkatan yang diberikan Allah Swt dalam kata-kata al-ladhi barakna hawalahu akan lebih lestari,'' kata Atho. Kemudian ia melihat kekuatan penafsiran kedua. Yaitu, terletak pada kebulatan dalam mengartikan kata Mikraj dan Israk. Maksudnya, kata Mikraj sama artinya dengan Israk: perjalanan pada malam hari. Ke mana saja tujuan suatu perjalanan, ke atas atau ke bawah, asal dilakukan pada malam hari, namanya tetap Israk. Sedangkan kata Mikraj tidak disebut dalam Quran. Kata itu hanya ada dalam banyak hadis, dan sifatnya juga simpang siur. Sampai di sini, Atho Mudzhar menutup penafasiran tentang arti kata ''Masjidil Aqsa'' pada Surat al-Isra ayat satu itu. Tentang mana yang lebih cocok dan tepat, bagi Atho, ''Hanya satu yang jelas, penafsiran manapun yang diambil, tentu tidak mengurangi nilai iman kita kepada Allah SWT.'' Julizar Kasiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini