Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Huru-hara kali ini tanpa letusan bedil

Pemogokan masih terjadi di sana-sini. tapi medan dan sejumlah kota lainnya yang dilanda kerusuhan berbau rasial sudah mulai pulih. toko dan pabrik mulai buka. korban manusia boleh dibilang cukup kecil. ABRI cuma menggunakan granat asap.

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH April yang kelabu bagi Provinsi Sumatera Utara. Sepanjang dua pekan ini, ribuan buruh seakan terbebas dari belenggu majikan. Mereka beraksi di jalan-jalan Medan dan kota di sekitarnya, mulai dari kota kecil semacam Tanjungmorawa, Binjai, hingga Pematangsiantar, kota kedua terbesar setelah Medan di provinsi itu. Mereka menggelar poster, berteriak memaki majikan, menuntut kenaikan upah, dan pelbagai tuntutan lainnya. Sampai di sini, belum apa-apa. Pemogokan atau demo kaum buruh di berbagai kota belakangan ini bukan cerita baru. Tapi di Medan, perkembangannya menjadi lain: selain pabrik, mobil, dan toko -- yang ini tentu tak berhubungan langsung dengan kaum buruh yang mogok -- atau mobil milik warga keturunan Cina menjadi sasaran amuk. Ini jelas bau rasialis. Maka, sejak huru-hara meletus 14 April yang lalu, korban pun berjatuhan, kerugian materiil tak sedikit, umumnya menimpa kaum keturunan. Menurut sumber TEMPO, sampai Jumat pekan lalu, kerugian yang bisa dicatat aparat keamanan: 33 gedung kantor atau pabrik rusak, dan 43 mobil ringsek karena digulingkan atau dirusak. Yang juga menjadi korban amukan ialah 4 sepeda motor, 9 komputer, 4 pesawat TV, dan 2 antena parabola. Itu yang dilaporkan. Tapi sumber tersebut menduga, korban yang sebenarnya jauh lebih besar. Pada 15 April yang lalu, seorang warga keturunan, Yuly Kristanto alias Kwok Joe Lip, tewas dihajar massa, saat ia mengendarai mobil menuju pabriknya yang terletak di Kawasan Industri Medan (KIM). Selain Yuly, dua lelaki keturunan lainnya sempat pula dikeroyok massa. Tapi keduanya berhasil menyelamatkan diri, cuma mengalami luka-luka. Korban lainnya, dua anggota aparat keamanan cedera dilempari batu oleh massa. Ada lagi kerugian yang tak kalah besarnya. Lihat saja Kawasan Industri Medan. Sepanjang empat hari pekan lalu, 52 perusahaan di sana berhenti total. Kerugian yang diakibatkan berhentinya pabrik-pabrik yang mempekerjakan sekitar 12.000 buruh itu mencapai Rp 400 juta per hari. "Selama empat hari tak beroperasi, sudah hilang perolehan senilai Rp 1,6 miliar," kata Pangdam Bukit Barisan Mayjen A. Pranowo. Bila dihitung di seluruh Kota Medan, ada 1.000 pabrik yang mempekerjakan 300.000 buruh. Bisa dibayangkan berapa besar pula kerugian yang sudah menimpa. Selain itu, huru-hara ini berdampak terancamnya investasi sejumlah pengusaha asing dari Eropa, Jepang, Taiwan, dan beberapa negara ASEAN. Seorang pengusaha Malaysia yang kebetulan berada di lokasi KIM ketika unjuk rasa berlangsung akhirnya mengundurkan diri sebagai investor. "Waduh, kalau begini situasinya, bagaimana kami akan berusaha?" kata pengusaha itu kepada salah seorang pemimpin KIM. Padahal, pengusaha beken ini sudah menandatangani nota kesepakatan untuk membangun pabrik pengolahan kayu di KIM. Malah delapan pengusaha Taiwan, termasuk kelompok Evergreen, yang sudah menandatangani nota kesepakatan bersama pihak Otorita Batam untuk membangun pelabuhan peti kemas, perusahaan industri, dan areal pariwisata di Batam, turut menjadi waswas. Soalnya, kata Soeryohadi Djatmiko, pemimpin Otorita Batam, para pengusaha Taiwan tertarik menanam modalnya di Batam terutama karena stabilitas politik dan keamanannya. Maka, Pangab Jenderal Feisal Tanjung tampak bersuara keras. Ia menegaskan bahwa tindakan menghasut, mengintimidasi, dan membuat kekacauan di Medan itu sebagai tindakan subversif. "Jelas-jelas mereka menghasut supaya orang melakukan unjuk rasa dengan maksud supaya Indonesia ini tampak rusuh lagi, kacau, dan supaya tak bisa membangun. Jelas itu subversif," katanya kepada wartawan pekan lalu. Apalagi, Feisal menambahkan, ada pengurus SBSI -- yang terlibat dalam aksi itu -- setelah dilihat latar belakang dan riwayat hidupnya ternyata berasal dari keluarga eks-PKI. SBSI alias Serikat Buruh Sejahtera Indonesia adalah organisasi yang dituduh liar oleh Pemerintah, dipimpim Muchtar Pakpahan. Bakorstanasda Sumatera Utara kini tengah melakukan penyidikan terhadap para perusuh. Sampai pekan lalu, sudah 100 orang lebih yang ditahan, 18 di antaranya sudah diberkaskan, dan akan segera ke pengadilan. Termasuk di situ Sekretaris SBSI Cabang Medan, Riswan Lubis. Menjawab pertanyaan TEMPO - yang disampaikan via seorang temannya -- dari balik jeruji besi, Riswan menceritakan betapa berat kondisi di rumah tahanan. Soalnya, selain menghadapi "tekanan" dari aparat pemeriksa, sejumlah pengunjuk rasa yang mendekam bersamanya mulai minta pertanggungjawaban Riswan sebagai pemimpin SBSI. Mereka minta Riswan membebaskan mereka. Sementara itu, sampai akhir pekan lalu, teman Riswan sendiri, Amosi Telambanua, Ketua DPC SBSI Medan, masih buron. Padahal, aparat keamanan menuduhnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas huru-hara berdarah ini. Menurut sumber TEMPO, Amosi sedang berunding dengan sejumlah penasihat hukumnya untuk segera menyerahkan diri ke polisi. Tapi betulkah SBSI di belakang semua ini? Kepada TEMPO, Mukhtar Pakpahan mengaku bertanggung jawab atas peristiwa itu. "Ya, karena saya ikut merestui, jadi saya tak bisa buang badan," katanya. Tapi, menurut Mukhtar, semula ia tak tahu-menahu rencana unjuk rasa itu. "Saya baru diinterlokal Medan, dikasih tahu, Kamis pagi itu juga, saat unjuk rasa sudah terjadi," katanya (lihat Tembakan-Tembakan untuk Muchtar). Dalam siaran pers, SBSI mengutuk pihak tertentu yang katanya menunggangi unjuk rasa, sehingga menimbulkan perusakan dan terbunuhnya Yuly Kristanto. Sebab itu, SBSI mengimbau agar Pemerintah segera menangkap oknum yang menunggangi pemogokan tersebut. "Peranan SBSI hanyalah sebagai fasilitator, yang berupaya mengorganisasi pemogokan itu, supaya berjalan damai dan tertib," kata siaran pers. Menurut Muchtar, unjuk rasa yang digelar di Medan itu sebenarnya memang belum saatnya. Sebenarnya ia sudah merencanakan unjuk rasa serentak di seluruh Indonesia pada 18 Oktober mendatang. Ini sebagai akumulasi dari tuntutan perbaikan buruh yang selama ini, menurut dia, dapat dikatakan tak ada buahnya. Kalau begitu, apakah yang terjadi di Medan itu abortus, lahir sebelum waktunya? Entahlah. Huru-hara itu dimulai dua pekan lalu. Pada awalnya cuma unjuk rasa 6.000-an buruh. Mereka berkumpul di Lapangan Merdeka, di depan stasiun kereta api Medan. Sebagian besar mereka datang dari kawasan industri Medan di Jalan Belawan. Lalu dari Tanjungmorawa, Binjai, Pematangsiantar, dan Tebingtinggi. Entah siapa yang punya kerja, sebelumnya beredar selebaran dan bisikan dari mulut ke mulut bahwa Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief dan Gubernur Raja Inal Siregar pada hari itu akan berdialog dengan buruh, di Lapangan Merdeka. Dari lapangan itu, mereka bergerak ke kantor Gubernur yang berjarak tiga kilometer. Sambil berteriak-teriak "hidup SBSI", para pengunjuk rasa ingin berdialog langsung dengan Gubernur Raja Inal Siregar. Mereka menuntut perbaikan upah dari Rp 3.100 menjadi Rp 7.000. Dan mendesak agar Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1994, tentang pengaturan organisasi buruh, dicabut. Akhirnya, 23 utusan buruh diterima berdialog oleh pejabat Pemda, Depnaker, dan Bakorstanasda. Tapi rupanya perundingan ini oleh kaum demonstran dianggap gagal. Massa pun mulai tak sabar. Menurut Amosi Telambanua, Ketua SBSI Medan, saat massa mulai beringas, ia mencoba tampil ke podium untuk menenangkan. "Siapa kau. Kalau bukan buruh, tak perlu ikut bicara," teriak massa yang marah. "Lalu dengan bersepeda saya tinggalkan pengunjuk rasa, saya pulang ke rumah," katanya. Ketika massa bubar dan pulang ke tempat masing-masing, terjadilah perusakan terhadap sejumlah toko, kendaraan, dan juga warung milik warga keturunan di persimpangan Jalan Glugur By Pass hingga Jalan Yos Soedarso. Kerusuhan ini berlanjut keesokan harinya. Para demonstran kemudian mulai menghajar ratusan toko, pabrik, mobil, dan juga sepeda motor. Bahkan Yuly Kristanto, Direktur PT Saudaratama Agraperkasa, dihajar hingga tewas. Sejumlah pengunjuk rasa juga sempat menghentikan bus angkutan kota Morina jurusan Medan-Belawan. Menurut seorang saksi mata, seorang wanita keturunan bersama anaknya berusia 7 tahun dipaksa turun dari mobil itu. "Dan, ya ampun, rok ibu muda itu mereka buka dengan paksa," kata sopir mobil angkutan itu kepada TEMPO. Ia tak ingin melihat lagi apa yang dilakukan para buruh itu. Toko-toko di seluruh Medan langsung pada tutup. Malah sekolah- sekolah pembauran yang mayoritas muridnya warga keturunan di Medan dan Pematangsiantar terpaksa diliburkan. Hari-hari menjadi penuh dengan unjuk rasa. Kerusuhan merambat ke Tanjungmorawa, Binjai, dan Pematangsiantar. Di kota ini, 200 buruh yang semula pasang aksi di depan pabrik NV Sumatera Tobacco Trading Company (STTC) kemudian beramai-ramai menuju rumah Edwin Bingei, bos STTC. Mereka mempersoalkan gaji mereka yang selalu dipotong Rp 500 per bulan, yang menurut demonstran digunakan sebagai upeti untuk para pejabat. Edwin mencoba melayani buruhnya berdialog. Tapi rupanya kaum buruh ini tak puas. Mereka menyandera Poltak Manurung, Kepala Kantor Depnaker Pematangsiantar, yang bertindak sebagai moderator dialog. Ia pun sempat enam jam terkurung di aula STTC, Rabu pekan lalu. Akhirnya Edwin menuruti 22 dari 24 tuntutan, baru Poltak dilepas. Ribuan buruh perusahaan Gelanggang dan Djamitra di Desa Dalu X, Tanjungmorawa, juga serentak menuntut kenaikan upah dari Rp 1.600 menjadi Rp 3.100. Mereka mengawalinya dengan mengancam akan membakar pabrik, sehingga buruh wanita yang ada di dalamnya berteriak-teriak ketakutan. Mereka merusak belasan mobil perusahaan. Aksi seperti itu meletus secara sporadis di berbagai tempat. Bakorstanasda Mayjen A. Pranowo mencoba bertindak sigap. Sejumlah 114 satuan setingkat kompi pasukan ditempatkan di kawasan strategis. Apa yang dilakukan ABRI di Medan itu memang menarik untuk dicatat. Sekalipun kerusuhan meluas, sejumlah besar pasukan dikerahkan, ternyata tak satu pun demonstran yang menjadi korban peluru tajam. "Kami cuma menembakkan granat asap," ujar seorang perwira kodam. Padahal, dua petugas ABRI sempat cedera karena dilempari batu oleh demonstran. Langkah ABRI di Medan ini amat berbeda bila dibandingkan dengan yang terjadi saat menangani huru-hara di Tanjungpriok, 1984, atau di Lampung beberapa tahun kemudian. Toh tampaknya situasi Kota Medan tetap terkuasai, bila dilihat dari korban manusia yang jatuh cukup sedikit (lihat Mencari Biang Teror dan Intimidasi). Akhir pekan ini, aksi-aksi sudah menyurut dan situasi mulai normal. Toko dan pabrik buka lagi, Medan mulai berdenyut. Peristiwa Medan juga menunjukkan lagi bahwa pengerahan massa di sini -- sekali pun dengan alasan demokrasi -- selalu berekor huru-hara, perusakan, dan kemudian menjurus rasialis. Herman Van Der Laan, Direktur ILO Jakarta, menyayangkan peristiwa ini. "Kejadian itu tak konstruktif," katanya kepada Sri Wahyuni dari TEMPO.Agus Basri, Affan Bey Hutasuhut, Irwan E. Siregar, dan Bandelan Amarudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus