Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari poh an tui sampai 10 desember

Kerusuhan di medan yang mengarah rasialis itu mengingatkan kembali pada masalah laten ini: pembauran. di medan, warga keturunan memang lebih khas. tapi mengapa mereka berkolusi dengan pejabat dan preman?

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANTI diskriminasi dan rasialisme, tampaknya, adalah salah satu napas gerakan buruh. Karena itu, unjuk rasa buruh yang merebak di Medan, Sumatera Utara, dua pekan silam terasa menyentak. Pada hari-hari itu, sekitar 300 ribu warga keturunan Cina -- di antara 2 juta penduduk kota itu -- seperti terkurung ketakutan: akankah kerusuhan rasial segera meletup? Apalagi dari mulut ke mulut beredar cerita-cerita seram. Tentang orang-orang keturunan yang dipukuli. Tentang amoi-amoi yang ditelanjangi oleh kaum wanita yang larut dalam amuk massal. Tentang mobil, rumah, dan toko yang dilempari batu malam-malam. Apalagi, 14 April lalu, selebaran gelap yang menghasut untuk mengganyang kaum keturunan itu -- ditulis acak-acakan -- beredar di kota itu. Sebagian besar sebetulnya masih berupa isu. Sebab, menurut catatan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda) Sumatera Utara, selain Yuly Kristanto, pengusaha yang terbunuh itu, hanya empat orang yang luka-luka akibat aksi massa. Dua orang memang keturunan Cina yang digebuki ramai-ramai. Dua orang lagi adalah anggota pasukan keamanan yang terkena lemparan batu. "Mungkin karena korban yang lain tak mau melapor," ujar seorang staf aparat keamanan. Suasana keamanan sebenarnya sudah mulai pulih. Meski demikian, sampai akhir pekan lalu, tetap saja ketegangan merayap setiap kali truk bermuatan pasukan antihuru-hara melintas. Sementara itu, di sudut-sudut jalan di pusat kota, ada saja satu-dua tentara berjaga-jaga. Baik dari satuan khusus polisi Brigade Mobil maupun anggota Komando Daerah Militer I Bukit Barisan. Tak hanya tameng rotan di tangan mereka, tapi juga senapan mesin ringan M-16 dan FNC, sementara di dada tergantung botol gas air mata. Sebagian tampak letih dan bosan, lalu mencoba menghilangkannya dengan mengajak tukang rokok mengobrol, di samping pertokoan. Sampai Rabu malam pekan lampau, di kawasan Pecinan, seperti Petisah, Pekantan, dan Kesawan, rumah-rumah yang mirip sangkar burung, berpagar kerangkeng dari bawah sampai atas, sudah tertutup rapat meski hari masih sore. Sementara itu, mobil- mobil mewah milik warga keturunan tak tampak berseliweran seperti hari- hari biasa. "Tak berani muncul mereka, susah juga kita," kata seorang penjaga stasiun pompa bensin. Ia sempat mengeluh, penjualan bensin Premix melorot drastis antara hari Jumat dan Rabu itu. Biasanya, satu-dua ton Premix per hari tersedot. Tapi, waktu itu, pernah cuma 250 liter. Tampaknya, sentimen anti keturunan Cina sudah menjadi masalah Medan yang tak pernah selesai. Sehingga, apa pun bentuk gerakan massa di kota ini, urusan berbau rasialisme itu selalu tersangkut-sangkut. Termasuk saat unjuk rasa buruh itu. Pada awalnya, mungkin, aksi buruh itu tak dimaksudkan seperti ini. Tapi inilah Medan. Beberapa tahun lalu, demo mahasiswa USU di sana berakhir pada aksi yang berbau rasial. Padahal aksi mahasiswa di kota-kota di Jawa, yang hampir terjadi tiap minggu, belum terdengar berakhir seperti itu. Aksi mogok juga begitu. Ada perusakan, seperti yang terjadi di Maspion, Surabaya. Tapi itu hanya terjadi secara lokal di pabrik tempat aksi berlangsung, tak merembet ke mana-mana seperti di Medan. Bagi generasi tua warga keturunan Cina di sana, persoalan ini sudah tak aneh. Terutama bagi mereka yang sempat mengalami "Peristiwa 10 Desember 1966". Waktu itu, sekitar 10.000 pemuda mengepung gedung konsulat Republik Rakyat Cina (RRC) di Jalan Juanda. Mereka marah dan minta pemerintah Chou En Lai dan Mao Ze Dong bertanggung jawab atas peristiwa G-30-S/PKI. Selain itu, massa yang dipimpin Komando Aksi Penumpasan G-30-S/PKI Sumatera Utara menuntut pemutusan hubungan diplomatik kedua negara. Tiba-tiba terdengar letusan senjata api dari arah gedung konsulat sewaktu Ibrahim Umar, salah seorang pemuda, berusaha menurunkan bendera RRC. Anggota Ikatan Pemuda Tanah Rencong itu tewas dengan kepala pecah berlumur darah. Massa demonstran lalu bubar dan menyebar ke berbagai penjuru kota. Sebagian membawa parang dan kelewang. Di sepanjang jalan, mereka merampasi toko-toko emas, elektronik, dan kelontong. Lalu, setiap warga keturunan Cina -- yang sebenarnya adalah bangsa sendiri -- terlihat, tak peduli perempuan dan anak-anak, dikejar-kejar. Kabarnya, tak kurang dari 200 orang tewas. Sebagian besar ditusuk, dipenggal, dan ada juga yang dibakar hidup-hidup. Meski tragedi itu telah hampir 30 tahun berlalu, trauma ini tetap membekas. Sudarto, Ketua Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) Sumatera Utara, menganggap peristiwa tersebut sebagai salah satu penghambat upaya pembauran di daerah itu. "Masih banyak orang tua yang mencekoki anaknya dengan trauma ini," katanya. Tapi, bagi warga pribumi, ada pula trauma yang sulit hilang. Banyak orang tua yang bercerita kepada anaknya tentang Poh An Tui pada awal Perang Kemerdekaan. Poh An Tui, yang berarti pasukan keamanan masyarakat Cina, dibentuk di Medan oleh Jenderal Ted Kelly, komandan tentara Inggris yang menyerbu Sumatera Utara. Organisasi itu dipimpin Lim Seng. Di antaranya, sekitar 110 orang telah dipersenjatai dan dilatih tentara Sekutu. Mereka kemudian menembaki para pejuang kemerdekaan yang, waktu itu, rupanya, dianggap sebagai musuh Poh An Tui. Mereka menyerbu Bagansiapiapi dan meneror penduduk pribumi, termasuk merampok dan membunuh warga yang ketakutan. Komandan Divisi I Medan Achmad Tahir (bekas menteri pariwisata, pos, dan telekomunikasi) memerintahkan Djamin Ginting membalas. Poh An Tui terdesak tapi tak pernah betul-betul kalah. Setelah penyerahan kedaulatan, organisasi itu membubarkan diri diam-diam. Cerita pahit ini memang tak perlu dikenang. Apalagi belakangan pembauran di Medan mulai berjalan, terutama di kalangan generasi muda. "Sehingga kerusuhan tanggal 14 April itu jelas merupakan cultural shock bagi mereka," ujar Usman Pelly, doktor antropologi demografi lulusan Universitas Illinois, Amerika Serikat, yang kini mengajar di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Medan. Selain itu, masyarakat Medan sendiri sudah berubah banyak. Pada tahun 1930, keturunan Cina memang etnik yang dominan di Medan. Dilihat dari jumlahnya saja, 35,63% warga Medan berasal dari daratan Tiongkok, sedikit lebih banyak dari penduduk Medan asal Jawa (24,90%). Sekarang, warga keturunan Cina tak dapat dibilang terbanyak dalam komposisi masyarakat Medan. Dari sekitar 2 juta penduduk kota itu, mereka hanya 12%-nya, atau nomor tiga setelah Jawa (24%) dan Batak Toba (14%). Namun, penguasaan mereka atas sebagian besar pergerakan roda ekonomi dan sikap mereka yang cenderung eksklusif membuat suku-suku "pribumi" selalu memandang mereka dengan gemas. Sebab, seperti di berbagai tempat di Indonesia, masyarakat keturunan itu tetap saja dipandang dalam kategori sosial, bukan etnik. "Dalam kategori sosial, semuanya tak netral lagi," kata Usman. Tak mengherankan, di mata pribumi di Medan, kaum keturunan itu tampak sebagai pedagang kaya yang pelit dan binatang ekonomi yang oportunis. Sebenarnya, keterpulauan masyarakat keturunan Cina Medan bukan barang baru. Menurut Usman Pelly, yang menulis buku tentang adaptasi di perkotaan, hal itu dimulai sejak pemerintah kolonial Hindia Belanda memisahkan kaum pendatang Asiatik dan bumiputra di Karesidenan Sumatera Timur. Sejalan dengan dibukanya perkebunan karet sepanjang jalur Medan-Labuhanbatu pada tahun 1870, pemerintah kolonial membuat blok-blok permukiman yang terpisah menurut etnik. Sehingga, hanya dalam waktu sekitar 40 tahun kemudian, terbentuk daerah hunian dengan nama Kampung Cina, Kampung Arab, dan Kampung Keling (sebutan bagi kaum Tamil yang datang dari India), serta kawasan milik "Tuan Kebon" asal Eropa. Sedangkan kaum pribumi dan pendatang lain tinggal di luar blok yang disebut Permukiman Rakyat Sultan. Di daerah pedesaan dan pinggiran kota, keterpisahan ini tak terasa. Namun, di perkotaan, waktu itu, eksklusivisme Kampung Cina di Medan lebih kental daripada Pecinan di Jawa. Keterpisahannya dengan kehidupan bumiputra tak hanya menyangkut fisik wilayah, tapi juga kehidupan sehari-hari. Di Kampung Cina berlaku hukum pemerintah kolonial yang sama seperti dalam komunitas Eropa, Kampung Arab, maupun Kampung Keling. Aturan itu tak berlaku bagi pribumi, yang hanya membayar pajak kepada Sultan Melayu. Bila tersangkut perkara, pribumi diajukan ke sidang pengadilan Sultan, bukan pengadilan Hindia Belanda. "Jadi, Cina terpisah dengan pribumi di Medan secara permukiman, juga politik dan hukum yang berlaku," kata Usman Pelly. Keterpisahan ini diwarnai juga oleh pelapisan ekonomi masyarakat Medan waktu itu. Terutama akibat usaha pemerintah Hindia Belanda yang tak mau mengulang kelengahan di zaman VOC, saat pribumi dibiarkan menguasai sektor perdagangan. Penguasa kolonial lalu membatasi hubungan perniagaan saudagar bumiputra yang tergolong pengusaha kelas bawah dengan pengusaha Eropa berskala global. Akibatnya, terjadi kekosongan di sektor distribusi kelas menengah. Ini membuka kesempatan pedagang Cina untuk masuk dan menguasai jalur grosir dan agen. Bahkan mereka kemudian mengembangkan bisnisnya sampai ke Singapura, Hong Kong, dan Penang. Hengkangnya Belanda setelah Perang Kemerdekaan tak menyurutkan penguasaan pedagang keturunan Cina di Medan atas kegiatan bisnis. Bahkan, dengan keterampilan dan modal yang mereka peroleh selama penjajahan, mereka mengambil alih posisi yang ditinggalkan pedagang Eropa. Pengusaha bumiputra mencoba merebutnya. Sekitar tahun 1950-1960, banyak orang Aceh, Minang, dan Mandailing membuka bank dan usaha ekspor-impor di Medan. Namun, tak banyak yang dapat bertahan. Sehingga, mulai awal tahun 1970-an, praktis tak ada lagi pedagang besar pribumi yang bertahan di Medan. Kelompok keturunan mendominasi sektor perdagangan dan, belakangan, juga industri. Itu menempatkan kelompok ini menjadi elite ekonomi. Sehingga, meski masih ada perkampungan kaum keturunan yang kumuh di pinggiran Medan, tetap saja terkesan bahwa golongan ini baba gemuk pemilik "pohon duit". Apalagi, belakangan, trend mobilitas profesi WNI keturunan makin mengarah pada pekerjaan belakang meja dan permainan modal. Padahal, sebelumnya, banyak warga ini yang berprofesi sebagai pekerja kasar. Ini sesuatu yang khas. Berbeda dengan sanaknya di Jawa yang cenderung mendekati stereotipe masyarakat pedagang, di Medan dulunya mereka kebanyakan bekerja sebagai kuli, buruh tambang, nelayan, dan petani. Dalam buku Tionghoa Indonesia dalam Krisis yang ditulis Charles A. Coppel dari Universitas Melbourne, Australia, disebutkan bahwa pada tahun 1930 tercatat 68,7% Cina Medan bekerja di sektor produksi dan industri. Hanya 18,2% yang bergerak di sektor perdagangan. Sedangkan di Jawa dan Madura, keturunan Cina yang berdagang mencapai 57,7%. Keadaan kini sudah jauh berubah. Data yang dikumpulkan Usman Pelly menunjukkan, pada tahun 1981, 74,4% keturunan Cina tinggal dalam kawasan perdagangan di pusat kota. Dalam buku Studi tentang Masalah Tionghoa di Indonesia (studi kasus di Medan), Subanindyo Hadiluwih menandai perubahan trend profesi ini dengan lebih sederhana: saat ini tak tampak lagi orang Cina menarik becak seperti yang sering terlihat pada tahun 1960-an. Padahal, waktu itu, dari 16 perkumpulan Cina Medan berdasarkan profesi, salah satunya adalah perkumpulan penarik rickshaw, becak yang dihela manusia. Membuat perkumpulan adalah sebagian kegiatan Cina Medan yang masih terpelihara, terutama di antara teman sekampung. Menurut Subanindyo, ada 12 klub keturunan Cina berdasarkan daerah asal, antara lain Club Hok Kian, Club Kuan Tung, dan Pat Soet Hwee Kwan. Ini tak termasuk perkumpulan keluarga yang namanya diambil dari khazanah sastra Cina Kuno, seperti perkumpulan marga Tan yang diberi nama "In-Zuan" sesuai dengan julukan historis sebuah distrik di Provinsi Fu Xien. Perkumpulan-perkumpulan ini tak hanya mengeratkan tali persaudaraan, tapi juga memperbesar jarak dengan kelompok etnis lainnya. Apalagi bahasa Cina yang sama sekali berbeda dengan bahasa Melayu itu jadi semakin terpelihara karena selalu digunakan dalam pertemuan kelompok Cina Medan. Mereka jadi tampak membentuk enklave budaya sendiri yang sama sekali terpisah. Sementara di Jawa banyak warga keturunan yang tak mengerti lagi bahasa leluhur, di Medan berbeda. Di pasar, di restoran, atau di gedung bioskop, bukan hal yang aneh kalau sekelompok orang berbahasa Cina di tengah kelompok lain yang Melayu. Pembentukan koloni kebudayaan ini menjadi transparan sekali, "Sebab Kota Medan menjadi tempat kosong budaya," kata Harry Tjan Silalahi. Menurut pengamatan Wakil Ketua Pengurus Pusat Bakom PKB ini, sebelum Perang Kemerdekaan, budaya Melayu adalah budaya dominan di Medan. Kaum keturunan Cina lalu mengakomodasikannya. Namun, setelah revolusi, budaya Melayu surut, akibat sikap Sultan Melayu yang ragu-ragu untuk ikut republik. Sejak saat itu, tiap orang membentuk koloni kebudayaannya masing-masing, termasuk kelompok keturunan Cina ini. Dalam suasana kosong budaya, pembentukan itu berjalan transparan, sementara masing-masing tak mengerti nilai-nilai kelompok lainnya. Akibatnya, Medan menjadi rentan terhadap friksi antarkelompok etnik. Terutama bila menyangkut warga keturunan Cina di Medan, yang jumlahnya kecil tapi menguasai sebagian besar kegiatan ekonomi. Padahal kelompok ini bukan satu-satunya etnik pendatang di kota itu. Selain Arab - jumlahnya menyusut, terisap arus balik ke Timur Tengah setelah sumur minyak di sana menyemburatkan petrodolar pada tahun 1970-an - ada kelompok Tamil. Namun, kecuali kaum Sikh, keturunan emigran dari India yang sebagian besar pemerah susu sapi serta pemilik toko kain dan alat olahraga, yang lainnya lebih mudah berbaur dengan pribumi. "Kebanyakan dari mereka termasuk kere yang hidup berdampingan dengan orang kita yang kere juga," kata Usman Pelly. Faktor sama-sama "kere" ini tampaknya cukup penting dalam memuluskan pembauran. Lihat saja di sekitar komunitas keturunan Cina di daerah perkebunan pinggiran Kota Medan. Di sana, yang pribumi tak pernah sulit menerima kelompok yang biasa disebut "Cina Kebun Sayur" itu. Di perkotaan, mereka dianggap sebagai elite ekonomi yang sering terlihat hanya sebagai penikmat hidup yang memancing kecemburuan sosial, "Kedudukan ini membuat Cina Medan tak memiliki kepastian dalam sosialisasi," kata Dr. Sofyan alias Tan Kim Yang, Ketua Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, yang menyelenggarakan sekolah -- dari TK sampai SD -- bernapaskan pembauran dan bertujuan membentuk "Bangsa Indonesia Asli". Menurut Sofyan, kaum Cina memiliki posisi lemah dalam masyarakat Medan, sehingga mereka membutuhkan oknum-oknum sebagai pengaman mereka, baik demi keselamatan sehari-hari maupun untuk memperlancar bisnis. Untuk menyewa tukang pukul ataupun menyuap oknum pejabat, mereka memerlukan dana yang kuat. Sebagian besar sering harus didapat lewat memperbesar untung dengan menekan ongkos produksi, termasuk upah buruh. "Sehingga, meskipun eksklusif dan elitis, sebenarnya warga keturunan Cina di Medan hanyalah objek pemerasan golongan penguasa, sekaligus objek pelampiasan kelas bawah," katanya. Sementara itu, yang pribumi bertambah jengkel saja melihat persekongkolan antara warga keturunan, pejabat, dan preman yang khas di Medan itu. Soalnya, seperti diungkapkan Ketua SBSI Muchtar Pakpahan kepada TEMPO, sering buruh yang aktif menuntut haknya dianiaya oleh preman-preman alias tukang pukul atas bayaran sang pemilik perusahaan. "Di Medan ada kolusi antara pengusaha, preman, dan pejabat," kata Muchtar. Kondisi itu membuat warga keturunan di Medan jadi keras. Sehingga, bukan hanya buruh, pengusaha keturunan Cina di Medan pun gampang tersulut untuk melakukan tindak kekerasan. Sumber TEMPO menuturkan, di tengah maraknya unjuk rasa buruh pekan silam itu, sejumlah pengusaha dikumpulkan di kantor Komando Distrik Militer Medan. Suasana panas meruap, dan beberapa pengusaha nonpri sempat berseru: "Tembak saja demonstran itu, Pak." Tak pelak lagi, persoalan ini membuat aparat keamanan tak mau gegabah dalam menangani kerusuhan massal di Medan. Pendekatan represif dipercaya dapat meredamnya hanya untuk jangka waktu tertentu. Urusan selanjutnya adalah pekerjaan maraton: mengikis dinding sikap eksklusivisme masyarakat keturunan Cina di sana. Bila tidak, selain soal rendahnya perhatian terhadap buruh, masih ada segudang masalah sosial dan ekonomi yang mudah menyulut amuk massa. Dan di Medan, hampir dipastikan ujung-ujungnya: aksi kekerasan anti Cina.Ivan Haris, Irwan E. Siregar, Marhiansyah Aziz (Medan), Diah Purnomowati, dan Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus