Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyoroti aturan jam kerja dokter residensi atau Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang dinilai terlalu berlebihan atau overtime. Ketua Umum PB IDI Slamet Budiarto mengatakan tingginya jam kerja bagi dokter residensi, bukan hanya berpotensi membahayakan kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau ada batasan, dokter residensi lebih punya banyak waktu istirahat, bertemu keluarga, dan sosialisasi dengan lingkungan sekitar," kata Slamet saat dihubungi, Selasa, 15 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Potensi gangguan mental imbas beratnya jam kerja, kata Slamet, juga berisiko membuka lebar celah dokter residensi melakukan tindakan kriminalitas, salah satunya kekerasan seksual.
Pada 23 Maret lalu, seorang dokter residensi anestesi PPDS dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran dibekuk kepolisian karena kasus kekerasan seksual yang dilakukan terhadap keluarga pasien di RS Hasan Sadikin, Bandung. Kepolisian Daerah Jawa Barat menyebut, dokter bernama Priguna Anugerah Pratama itu telah melakukan kekerasan sesksual kepada tiga perempuan dengan modus membius korban sebelum dilecehkan.
Aksi tersebut, seluruhnya dilakukan di ruang 711 gedung Mother and Child Healthcare (MCHC) RSHS. Ruangan itu merupakan ruangan yang belum difungsikan oleh manajemen RSHS.
Slamet menilai beratnya aturan jam kerja bagi dokter PPDS memang tidak secara langsung menjadi faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan seksual. "Namun, menurut kami ini jadi salah satu faktor yang menyumbang pelaku bertindak demikian," ujar dia.
PB IDI pun mendorong diatur ulangnya aturan jam kerja dokter residensi guna mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian hari dan gangguan kesehatan mental yang dapat dialami dokter. Slamet mengatakan, PB IDI mengusulkan aturan jam kerja dokter residensi adalah sebanyak 40-50 jam per minggu. "Ini batasan maksimal jam kerja yang menurut kami lebih ideal dan tidak membahayakan," ucapnya.
Adapun melalui Surat Edaran bernomor TK.02.02/D/10133/2023, Kementerian Kesehatan mengatur jam kerja dokter residensi maksimal 80 jam per minggu.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman menjelaskan ketentuan jam kerja selama 80 jam per minggu bagi dokter residensi bersifat maksimal atau termasuk jam piket malam dan jam kerja akhir pekan. "Perhitungan hasil benchmarking dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan," kata Aji.
Syahdan, sebagai upaya mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual dokter residensi, Kemenkes akan menerapkan kebijakan tes mental tahunan pada seluruh dokter PPDS. "Kementerian akan mewajibkan semua peserta PPDS yang mau masuk harus tes mental dulu dan setiap tahun," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Jumat, 11 April 2025.