Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pesantren dengan latar yang berubah pesantren mau ke mana? pesantren dengan latar yang berubah

Perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi di pesantren-pesantren. jumlah siswa dari keluarga santri makin sedikit, jam pelajaran agama perlu ditambah. (ag)

6 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESANTREN, samar-samar, muncul kembali ke permukaan. Kaskopkamtib Jenderal Widjojo Soejono, dalam sambutannya untuk Munas Perguruan dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jakarta, akhir Oktober lalu, mengemukakan adanya dualisme pendidikan yang kita warisi sejak zaman Belanda. Pertama pendidikan model Barat, yang antara lain bersifat intelektualistis dan berorientasi pada birokrasi. Dan kedua pendidikan pesantren yang antara lain cenderung dogmatis dan populis. Kaskopkamtib mengharapkan pendekatan (lebih lanjut) antara kedua sistem, sehingga terhindar kesukaran dialog yang sering terjadi antara kedua kalangan. Syahdan di Kabupaten Cilacap, di seberang Nusakambangan, mengalir Kali Serayu. Di desa pinggiran kali, di Kecamatan Kesugihan, berdiri sebuah pesantren. Halaman kompleks cukup luas dan bersih. Sebuah jalan membelah menuju pintu gerbang, selebar dua meter, dengan pohon kelapa berderet di kanankiri. Suasananya rindang, adem ayem tentrem. Itu hanyalah salah sebuah contoh pondok pesantren -- ukuran sedang, dengan 600-an santri putra dan putri-yang boleh memancarkan suasana religius dan populis seperti yang dimaksud Kaskopkamtib. Pesantren Al-Ihya, yang didirikan KH Badawi tahun 1925 itu, mempunyai para santri (dari berbagai daerah: Jember, Sumedang, Jakarta, Lampung) yang sebagian besar anak petani miskin. Suasananya memang menjadi sangat sederhana. Para murid hanya dikenai biaya Rp 300 sebulan--tanpa makan, sudah tentu. Contoh kedua untuk pesantren sederhana boleh disebut Pondok Pabelan--di Muntilan, Magelang. Sebuah pesantren (barangkali tinggal satu-satunya di Pulau Jawa) yang situasi kompleksnya segera menarik orang ke dalam perasaan berada di sebuah pesantren kuno. Bangunan-bangunan setengah tembok atau kayu, dengan kawat ram separuh ke atas beratap seng, dan hampir seragam, menyebar di kompleks lima hektar, mengelilingi sebuah masjid yang tak diubah dan berumur lebih satu abad. Di depan masjid adalah lapangan, dan tanah berpasir itu ditumbuhi segala macam jenis tanaman, tapi sangat terasa kehadiran pohon-pohon flamboyan. Di belakang masjid membentang pekuburan, sementara di ujung timur terentang sungai. Di sini udara benar-benar lapang,."di tengah suara puji-pujian 1.000 santri putra dan putri". Tapi benarkah ketigapesantren di atas benar-benar mewakili citra pondok yang (100%) "asli"? Pesantren di pinggir Sungai Serayu itu nyatanya tidak hanya memberikan pengajian kitab dengan model lama: sorogan, bandungan, pasaran, wetonan dan yang semacamnya--dengan santri atau kiai membaca kitab, sedang semua santri duduk setengah mengantuk di masjid. Mereka juga punya madrasah. Ada Isti'dadiyah (Persiapan), Tsanawiyah (SLP) dan 'Aliah (SLA). Pesantren Pabelan malahan berintikan madrasahnya yang diberi nama KMI (Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah, Sekolah Guru Islam), yang kurikulumnya disusun dengan kesadaran sangat modern. Lagipula, lihat: semua gurunya, yang pria, memakai dasi. Sedang para santri putra di ruang kelas wajib pakal celana. Ada yang berubah di pesantren, memang. Tidak dalam arti bahwa pesantren yang "asli" benar-benar tak ada lagi. Misalnya, masih ada Pesantren Al-Barokah di Kawunganten, juga Cilacap, yang sama sekali tak punya sekolah dan hanya punya 40-an santri. Ya, ini memang jenis pesantren kecil yang merupakan 'lanjutan' dari pesantren rendah: pondok KH Mas'ud itu mengajarkan kitab-kitab yang lebih tinggi. Tapi pesantren berubah karena munculnya berbagai variabel akibat perubahan zaman--meski cirinya yang dogmatis-populis, dalam istilah Kaskopkamtib, lazimnya dianggap tetap tinggal. Madrasah, alias sistem kelas, betapa pun merupakan perubahan pertama. Dan masuknya bangku-bangku yang keras itu cukup kentara dalam sebuah potret pesantren yang "adem ayem". Tapi apa boleh buat. "Sebenarnya sejak tahun 1950-an pesantren berubah menjadi madrasah," kata Dr. Zamakhsyari Dhofier, staf Litbang Departemen Agama. Memang, bahkan sudah pada dasawarsa kedua abad XX Pesantren Tebuireng Jombang memelopori sistem madrasah-1916, seperti dituturkan Yusuf Hasyim, pengasuh Pesantren Tebuireng. Tapi sangat menvolok adalah situasi sesudah penyerahan kedaulatan 1949. Seperti dituturkan dalam buku Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, di tahun 1950-an itu pemerintah RI mengembangkan sekolah umum seluas-luasnya. Ditambah lagi, hampir semua jabatan dalam administrasi modern terbuka luas (hanya) bagi mereka yang terdidik dalam sekolah tersebut. "Maka matilah pesantren-pesantren kecil tingkat kecamatan, akibat dimasukkannya SD dan kemudian SLP," katanya kepada TEMPO. Di tahun 1950-an itu pula Pesantren Tebuireng Jombang mengambil inisiatif: mengorganisasi JenJang madrasahnya menjadi ibtidaiyah, tsanawiyah dan 'aliah seperti yang kemudian menjadi umum. Berbagai pesantren kemudian memelopori memasukkan sistem kelas itu -- yang terbukti membuatnya bahkan berkembang. Dan pudarlah pamor pesantren yang tetap bertahan -- setidak-tidaknya bila ia tidak didukung kehebatan sang kiai puncak. Sekarang, memang, sistem kelas (yang di kalangan umat Islam dimulai oleh Muhammadiyah), tidak lagi dianggap asing. Yang dipersoalkan tinggal lagi: apa yang diajarkan di kelas-kelas itu. Dan ini boleh menjadi soal yang hangat. Ambillah misalnya Pesantren Lirboyo, Kediri. Dalam ketiga jenjang madrasahnya, pesantren KH Makhrus Ali ini salah seorang tetua NU kini), dengan 2.700-an santri yang semuanya pria, sama sekali tidak dimasukkan pengetahuan bukan-agama. "Semuanya agama. Tidak ada umum," kata Maksum Jauhari, 36 tahun, Ketua Umum Pondok. Alasan: "Kalau mereka ingin belajar di sekolah umum, 'kan bisa di daerah sendiri". Lagi pula yang datang ke Lirboyo memang bukan anak-anak kecil. Banyak yang lulusan SMA, SMP, atau PGA. Bukan berarti mereka tak boleh belajar "umum". "Tapi belajar sendiri, secara berkelompok. Misalnya bahasa Inggris, dan itu termasuk kegiatan ekstra. Itu ada di ini". PONDOK Lirboyo agaknya memang tinggal satu-satunya yang sepenuhnya menolak pengetahuan non-agama. Dan, meskipun universitas yan dibangunnya tahun lalu, bernama Universitas Tri Bhakti (dari dua fakultas: Tarbiah alias Pendidikan dan Syari'ah alias Hukum), punya kurikulum "umum", mereka yang hendak lulus dari sini (baru tingkat sarjana muda) "syaratnya harus mampu membaca kitab gundul," kata Kiai Machms Ali. Maksudnya kitab berbahasa Arab yang tanpa tanda-tanda baca. Tapi juga Pondok Al Ihya di Cilacap tadi. Madrasah mereka hanya sedikit disentuh pengetahuan umum. Memang tidak klop, dengan demikian, dengan ketentuan kurikulum Departemen Agama. Tapi apa daya. Madrasah di pesantren Kiai Sahal misalnya, di Kajen, Margoyoso, Pati (Ja-Teng), dengan muridnya yang 1.500 orang, memang dengan sadar tidak mengikuti kurikulum Depag. Dan, "jangan kurangi pendidikan keagan-aan hanya karena ada bantuan pemerintah," kata KH Dadun Abdulqohar pula, pengasuh pesantren di Cibadak, Sukabumi, yang punya cabang-cabang madrasah di Bekasi, Karawang, Jakarta, Bogor dan Banten. Nasihat itu memang bisa berarti kalau perlu pelajaran agama ditambah di luar, demi memenuhi target kurikulum. Dan ini memang banyak dilakukan berbagai pesantren. Bahkan untuk madrasah yang sudah dinegerikan di Pesantren Denanyar, Jombang, pimpinan Kiai Sohib Bisri. Belum lagi bila bicara tentang Pesantren Nurul Islam di Seri Bandung Palembang, dengan 600-an siswa putra dan 400-an santri putri. Kompleks ini contoh dari sekumpulan madrasah yang sangat maju di luar Jawa --yang dulu, sebelum berdirinya IAIN pada 1960, bahkan lulusan tingkat ibtidaiyahnya (SD) selalu diterima di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Beberapa kitab agama tingkat IAIN memang sudah diberikan di ibtidaiyah, dan lepasan ibtidaiyah sudah bisa membaca "kitab gundul". Kiai Sahal dari Kajen tadi, menganggap kurikulum Depag "belum memadai bagi kepentingan pendidikan agama". Sehingga ia mengambil kebijaksanaan tidak mengikuti ujian akhir persamaan. Dengan kata lain, madrasahnya memang mandiri. Dan Pondok Modern Gontor (memang demikian nama resminya) bahkan menonjol ke luar sebagai "hanya" sekumpulan madrasah yang mandiri. Terkenal memberikan tekanan pada penguasaan aktif bahasa-bahasa Arab dan Inggris, pendidikan setingkat SLP-SLA ini dinyatakan (oleh pimpinannya, kepada Menteri Agama), memberikan " l00% pendidikan agama dan 100% pendidikan umum". Mereka memang tidak membagi-bagi 'ilmu Allah' menurut pengertian yang kaprah, dan sendirinya berada di luar alternatif Departemen Agama. Meski mayoritas pesantren tidak mengikuti Gontor (almamater KH Idham Chalid dan tokoh muda Nurcholish Madjid) dalam hal madrasah, satu pertanyaan muncul juga. Yakni: tidakkah dengan demikian pesantren bisa sama sekali berubah? "Revolusi madrasah" itu sungguh keras -- dan janganjangan membaurkan ciri-ciri yang membedakan- dunia pesantren dengan pendidikan model Barat seperti yang misalnya dikemukakan Kaskopkamtib itu meskipun itu justru bisa menjadi tujuan. Ini: ada suara yang khawatir, dengan menyimak pertumbuhan berbagai madrasah, janganjangan kemampuan santri dalam memahami kitab-kitab klasik akan berkurang. Penguasaan kitab klasik memang ciri pesantren yang dipandang mahal: lulusan IAIN sekalipun belum tentu bisa membaca karya asli Imam Syafi'i atau Ghazali, bahkan kitab syarahnya sekalipun. Madrasah, dengan berbagai cara, telah "menyarikan" kitab-kitab itu. Memang tak menjadi soal untuk madrasah model Pondok Lirboyo yang "nonumum". Tapi bagaimana dengan berbagai madrasah pesantren yang sepenuhnya mengikuti standar pemerintah? Termasuk semua madrasah di Pesantren Darul Ulum dari KH Musta'in Romly di Peterongan Jombang, yang punya 4.000 santri itu? Ini tak hanya diakui oleh misalnya KH Achmad Sjakir dari Pesantren Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tapi juga Kiai Sohib Bisri di Denanyar: sebuah kitab yang dulu dipandang bertingkat 'menengah', konon kini sudah dianggap 'tinggi'. Hanya Kiai Sohib tak menunjuk madrasah sebagai biangnya. Melainkan "sebab-sebab di luar itu, yaitu perubahan yang lebih luas." Tapi bahwa hal itu tak mustahil terjadi, secara tak langsung diakui oleh Z.A. Syis, Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam Departemen Agama, ketika menjawab: "Kitab-kitab kuno itu isinya tidak berbeda dari yang baru. Hanya sistematikanya berbeda." Zamakhsyari Dhofier malah menyatakan, "erosi kitab" itu "secara absolut begitu". Hanya, katanya, "apakah penguasaan agama harus bergantung pada penguasaan kitab-kitab klasik?" Lagi pula, "dengan mempelajari kitab-kitab baru, kita mendapat masukan dari hal-hal yang sifatnya kontemporer." Bayangkanlah, "mempelajari kitab baru" itu lama-kelamaan akan menandai kegiatan pesantren atau madrasah mutakhir. Maka ini pengandaian, pesantren bisa kehilangan cirinya yang disebut Kaskopkamtib sebagai 'dogmatik'. Atau tidak? Mau dikemanakan pesantren? Pertanyaan seperti itu tentu hanya provokasi. Tapi perubahan yang lebih besar kelihatan, bila di pesantren didirikan sekolah umum. Tahun 1967, Yusuf Hasyim mendirikan Universitas Hasyim Asy'ari di Tebuireng -- yang sekarang bercabang-cabang di banyak kota. Tapi yang "kontroversial adalah ketika Abdurrahman Wahid memelopori pendirian SMP dan SMA tahun 1975. Tujuannya tentu, seperti dikatakan 'usuf Hasyim, untuk menjawab tuntutan masyarakat. "Bukan untuk meng-SMA-kan santri, tapi me-nyantri-kan SMA." Buktinya, banyak lulusan SMP dari daerah-daerah lain yang meneruskan SMA justru di Tebuireng. Dan banyak juga pesantren yang mengambil langkah yang sama -- termasuk misalnya Pesantren Surialaya di Tasikmalaya. Pesantren Cipasung di Singaparna, juga di kaki Galunggung, bahkan sudah punya SD dan SMP sejak 1953, dan SMA sejak 1959. Hanya saja tokoh scperti Kiai Sohib Bisri merasa kurang sreg Ia menolak SMP dan SMA di lingkungan pesantren. "Itu policy saya dalam menjaga identitas pondok, agar jangan sampai luntur," katanya. "Bisa-bisa madrasah kalah." Ada benarnya. Murid madrasah di Tebuireng sendiri ternyata jauh lebih sedikit dibanding murid SMP dan SMAnya. Marwan Saridjo, Kasubdit Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Departemen Agama, juga menyebut kenyataan yang sama di Surialaya dan Cipasung. Lebih lagi, dikatakan Kiai Machrus dari Lirboyo itu: "Kalau pondok sudah campur satu kompleks dengan SMA atau SMP, biasanya keaslian pondok jadi hilang," katanya. Bahkan Kiai menyuruh Universitas Tri Bhakti didirikanpesantrennya agak jauh dari pondok. Apa daya, sebab ada pelajaran 'umum'. Yang ada dikhawatirkan sebenarnya ialah, kalau-kalau dengan mendirikan sekolah umum (bukan madrasah), pesantren akan bisa hanyut ke arah "orientasisistem pendidikan di luar". Memang rada susah. Tapi, sebagai perbandingan, bisa dilihat Pesantren Seri Bandung di Palembang itu. Di sana, santri laki-lakinya yang berjumlah 600-an orang menempati 450 rumah kayu berbentukdangau, yang kolongnya dijadikan kandang ayam. "Jika tiba akhir tahun, anak-anak tinggal menjual hasil peternakan mereka untuk pulang," kata pengurus pesantren. Dan peternakan, atau ketrampilan apa pun, sebenarnya bukan hal baru. Di pesantren Ploso, Kediri, Kiai punya tambak-tambak, untuk dikerjakan para santri yang tidak mampu. Juga di Pesantren Siddiqiyah, Jombang. Di Lirboyo, pondok punya tanah sekitar 3 ha yang digunakan praktek penghijauan. "Mana ada pondok lain yang menanam rumput gajah,"kata Maksum Jauhari, Ketua Pondok. Santri yang kurang mampu diajari menjual makanan, menjaga toko koperasi atau bengkel las. Juga ada lima mesin jahit--di samping mereka pernah dibantu binatang untuk peternakan dari Departemen Agama. Di Pondok Blokagung, Banyuwangi, para santri membikin bata, menebang kayu di hutan, mencukur anak-anak kampung, menukang, mencangkul, menjahit--dan mendapat nafkah. Ketrampilan memang ciri khas pesantren. Tapi lebih tepat adalah semangat berdiri sendiri. Dan ini timbul dari sikap keagamaan yang mengajarkan keberanian hidup melarat. Nah. Bagaimana sikap mandiri seperti itu tidak akan luntur, bila dihembuskan "udara SMA" yang santai itu? "Sistem pendidikan kita," kata Dawam Rahardjo, Direktur LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang banyak membantu pesantren, "diarahkan pada penciptaan anak didik yang cocok untuk bekerja di kantor. Murid dinilai berdasar angka pelajaran, bukan berdasar kreativitasnya dalam mengembangkan pribadi. Dan pesantren memang bisa saja tidak luput dari pengaruh itu". Karena itulah lembaganya, seperti dikatakan Dawam, ingin turut membantu pesantren yang dipandangnya sebagai medium pengembangan kemasyarakatan yang sangat efektif khususnya di pedesaan. Dan menawarkan kepada mereka metode-metode pengembangan aspek-aspek tertentu yang merupakan potensi dan keinginan mereka sendiri. Di tahun 1976 lembaga itu mulai membina enam pesantren, dan tahun 1980 sudah menjadi 12 pesantren. Dengan sistem berantai, sekarang sudah 64 buah pesantren tercatat sebagai klien di Jawa, Madura, Sumatera dan Kalimantan. Maka sifat kemandirian seperti di Pondok Blokagung Banyuwangi itu pun mendapat pendukung. Pesantren Gulukguluk, Madura, yang dua anggotanya dilatih LP3ES enam bulan di Pondok Pabelan, sekarang menghijaukan 10 hektar pekarangan tandus--dan mendapat hadiah Kalpataru dari Presiden, di samping mempunyai lapangan-lapangan usaha kecil bagi para santri untuk menunjang nafkah mereka. Pondok Pabelan bahkan muncul lebih dari sekedar contoh keberhasilan usaha sekitar ketrampilan. Pondokyang arsitektur kompleksnya pernah mendapat hadiah Aga Khan Award ini, dan kemudian bersama Guluk-guluk mendapat hadiah Kalpataru, dengan sadar menyusun konsep pesantren yang tekanannya memang lebih banyak pada semacam 'sekolah lingkungan'. Di sini diajarkan, seperti pada gambaran pesantren yang "asli", bukan ilmu, melainkan 'hidup'. KURIKULUM disusun berdasar perkiraan kebutuhan santri sebagai 'manusia yang utuh' mengaji kitab, sekolah, berpidato (di sini diwajibkan hanya bicara Arab atau Inggris, mulai kelas tertentu), dihargai sama mulianya dengan mengurus belut dan memerah susu sapi. Dan pesantren ini yang seluruh bangunannya dibikin tangan para santri sendiri, tidak menjanjikan ijazah. "Ijazahnya adalah ada atau tidak adanya pengakuan masyarakat," pernah dikatakan Kiai Hamam Ja'far, sesepuhnya--seperti yang memang merupakan watak asli pesantren sendiri. Syahdan, diseluruh Indonesia terdaftar--pada Departemen Agama, laporan 1981--5.373 pesantren, dengan jumlah santri 1.238.967. (Belum dihitung madrasah di luar pesantren dan jumlah siswanya). Dan itulah lembaga pendidikan yang sedang berubah. Setidak-tidaknya bentuk-bentuk baru bermunculan -"dan kita tak mungkin menangisi hilangnya bentuk-bentuk lama," kata Zamakhsyari. Doktor dari Australian National University itu, yang berasal dari pesantren di Salatiga, yakin bahwa, dari satu segi saja, "kecil sekali kemungkinan seorang anak pesantren menjadi penganggur, dibanding keluaran sekolah model SMP SMA'. Menarik juga kata-kata iai Machrus yang lanjut usia itu. "Biar anak-anak sekolah umum ingin jadi pegawai, anak pesantren hendaknya ingin jadi manusia yang berguna saja. Ramai-ramai ingin jadi orang kanor itu hanya menyusahkan pemerintah saja".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus