PESANTREN, samar-samar, muncul kembali ke permukaan.
Kaskopkamtib Jenderal Widjojo Soejono, dalam sambutannya untuk
Munas Perguruan dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jakarta,
akhir Oktober lalu, mengemukakan adanya dualisme pendidikan yang
kita warisi sejak zaman Belanda. Pertama pendidikan model Barat,
yang antara lain bersifat intelektualistis dan berorientasi pada
birokrasi. Dan kedua pendidikan pesantren yang antara lain
cenderung dogmatis dan populis. Kaskopkamtib mengharapkan
pendekatan (lebih lanjut) antara kedua sistem, sehingga
terhindar kesukaran dialog yang sering terjadi antara kedua
kalangan.
Syahdan di Kabupaten Cilacap, di seberang Nusakambangan,
mengalir Kali Serayu. Di desa pinggiran kali, di Kecamatan
Kesugihan, berdiri sebuah pesantren. Halaman kompleks cukup luas
dan bersih. Sebuah jalan membelah menuju pintu gerbang, selebar
dua meter, dengan pohon kelapa berderet di kanankiri. Suasananya
rindang, adem ayem tentrem.
Itu hanyalah salah sebuah contoh pondok pesantren -- ukuran
sedang, dengan 600-an santri putra dan putri-yang boleh
memancarkan suasana religius dan populis seperti yang dimaksud
Kaskopkamtib. Pesantren Al-Ihya, yang didirikan KH Badawi tahun
1925 itu, mempunyai para santri (dari berbagai daerah: Jember,
Sumedang, Jakarta, Lampung) yang sebagian besar anak petani
miskin. Suasananya memang menjadi sangat sederhana. Para murid
hanya dikenai biaya Rp 300 sebulan--tanpa makan, sudah tentu.
Contoh kedua untuk pesantren sederhana boleh disebut Pondok
Pabelan--di Muntilan, Magelang. Sebuah pesantren (barangkali
tinggal satu-satunya di Pulau Jawa) yang situasi kompleksnya
segera menarik orang ke dalam perasaan berada di sebuah
pesantren kuno. Bangunan-bangunan setengah tembok atau kayu,
dengan kawat ram separuh ke atas beratap seng, dan hampir
seragam, menyebar di kompleks lima hektar, mengelilingi sebuah
masjid yang tak diubah dan berumur lebih satu abad. Di depan
masjid adalah lapangan, dan tanah berpasir itu ditumbuhi segala
macam jenis tanaman, tapi sangat terasa kehadiran pohon-pohon
flamboyan. Di belakang masjid membentang pekuburan, sementara di
ujung timur terentang sungai. Di sini udara benar-benar
lapang,."di tengah suara puji-pujian 1.000 santri putra dan
putri".
Tapi benarkah ketigapesantren di atas benar-benar mewakili
citra pondok yang (100%) "asli"? Pesantren di pinggir Sungai
Serayu itu nyatanya tidak hanya memberikan pengajian kitab
dengan model lama: sorogan, bandungan, pasaran, wetonan dan yang
semacamnya--dengan santri atau kiai membaca kitab, sedang semua
santri duduk setengah mengantuk di masjid. Mereka juga punya
madrasah. Ada Isti'dadiyah (Persiapan), Tsanawiyah (SLP) dan
'Aliah (SLA).
Pesantren Pabelan malahan berintikan madrasahnya yang diberi
nama KMI (Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah, Sekolah Guru
Islam), yang kurikulumnya disusun dengan kesadaran sangat
modern. Lagipula, lihat: semua gurunya, yang pria, memakai dasi.
Sedang para santri putra di ruang kelas wajib pakal celana.
Ada yang berubah di pesantren, memang. Tidak dalam arti bahwa
pesantren yang "asli" benar-benar tak ada lagi. Misalnya, masih
ada Pesantren Al-Barokah di Kawunganten, juga Cilacap, yang sama
sekali tak punya sekolah dan hanya punya 40-an santri. Ya, ini
memang jenis pesantren kecil yang merupakan 'lanjutan' dari
pesantren rendah: pondok KH Mas'ud itu mengajarkan kitab-kitab
yang lebih tinggi. Tapi pesantren berubah karena munculnya
berbagai variabel akibat perubahan zaman--meski cirinya yang
dogmatis-populis, dalam istilah Kaskopkamtib, lazimnya dianggap
tetap tinggal.
Madrasah, alias sistem kelas, betapa pun merupakan perubahan
pertama. Dan masuknya bangku-bangku yang keras itu cukup kentara
dalam sebuah potret pesantren yang "adem ayem". Tapi apa boleh
buat. "Sebenarnya sejak tahun 1950-an pesantren berubah menjadi
madrasah," kata Dr. Zamakhsyari Dhofier, staf Litbang Departemen
Agama. Memang, bahkan sudah pada dasawarsa kedua abad XX
Pesantren Tebuireng Jombang memelopori sistem madrasah-1916,
seperti dituturkan Yusuf Hasyim, pengasuh Pesantren Tebuireng.
Tapi sangat menvolok adalah situasi sesudah penyerahan
kedaulatan 1949.
Seperti dituturkan dalam buku Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, di
tahun 1950-an itu pemerintah RI mengembangkan sekolah umum
seluas-luasnya. Ditambah lagi, hampir semua jabatan dalam
administrasi modern terbuka luas (hanya) bagi mereka yang
terdidik dalam sekolah tersebut. "Maka matilah
pesantren-pesantren kecil tingkat kecamatan, akibat
dimasukkannya SD dan kemudian SLP," katanya kepada TEMPO.
Di tahun 1950-an itu pula Pesantren Tebuireng Jombang mengambil
inisiatif: mengorganisasi JenJang madrasahnya menjadi
ibtidaiyah, tsanawiyah dan 'aliah seperti yang kemudian menjadi
umum. Berbagai pesantren kemudian memelopori memasukkan sistem
kelas itu -- yang terbukti membuatnya bahkan berkembang. Dan
pudarlah pamor pesantren yang tetap bertahan -- setidak-tidaknya
bila ia tidak didukung kehebatan sang kiai puncak.
Sekarang, memang, sistem kelas (yang di kalangan umat Islam
dimulai oleh Muhammadiyah), tidak lagi dianggap asing. Yang
dipersoalkan tinggal lagi: apa yang diajarkan di kelas-kelas
itu. Dan ini boleh menjadi soal yang hangat.
Ambillah misalnya Pesantren Lirboyo, Kediri. Dalam ketiga
jenjang madrasahnya, pesantren KH Makhrus Ali ini salah seorang
tetua NU kini), dengan 2.700-an santri yang semuanya pria, sama
sekali tidak dimasukkan pengetahuan bukan-agama. "Semuanya
agama. Tidak ada umum," kata Maksum Jauhari, 36 tahun, Ketua
Umum Pondok. Alasan: "Kalau mereka ingin belajar di sekolah
umum, 'kan bisa di daerah sendiri". Lagi pula yang datang ke
Lirboyo memang bukan anak-anak kecil. Banyak yang lulusan SMA,
SMP, atau PGA. Bukan berarti mereka tak boleh belajar "umum".
"Tapi belajar sendiri, secara berkelompok. Misalnya bahasa
Inggris, dan itu termasuk kegiatan ekstra. Itu ada di ini".
PONDOK Lirboyo agaknya memang tinggal satu-satunya yang
sepenuhnya menolak pengetahuan non-agama. Dan, meskipun
universitas yan dibangunnya tahun lalu, bernama Universitas
Tri Bhakti (dari dua fakultas: Tarbiah alias Pendidikan dan
Syari'ah alias Hukum), punya kurikulum "umum", mereka yang
hendak lulus dari sini (baru tingkat sarjana muda) "syaratnya
harus mampu membaca kitab gundul," kata Kiai Machms Ali.
Maksudnya kitab berbahasa Arab yang tanpa tanda-tanda baca.
Tapi juga Pondok Al Ihya di Cilacap tadi. Madrasah mereka hanya
sedikit disentuh pengetahuan umum. Memang tidak klop, dengan
demikian, dengan ketentuan kurikulum Departemen Agama. Tapi apa
daya. Madrasah di pesantren Kiai Sahal misalnya, di Kajen,
Margoyoso, Pati (Ja-Teng), dengan muridnya yang 1.500 orang,
memang dengan sadar tidak mengikuti kurikulum Depag. Dan,
"jangan kurangi pendidikan keagan-aan hanya karena ada bantuan
pemerintah," kata KH Dadun Abdulqohar pula, pengasuh pesantren
di Cibadak, Sukabumi, yang punya cabang-cabang madrasah di
Bekasi, Karawang, Jakarta, Bogor dan Banten.
Nasihat itu memang bisa berarti kalau perlu pelajaran agama
ditambah di luar, demi memenuhi target kurikulum. Dan ini memang
banyak dilakukan berbagai pesantren. Bahkan untuk madrasah yang
sudah dinegerikan di Pesantren Denanyar, Jombang, pimpinan Kiai
Sohib Bisri. Belum lagi bila bicara tentang Pesantren Nurul
Islam di Seri Bandung Palembang, dengan 600-an siswa putra dan
400-an santri putri. Kompleks ini contoh dari sekumpulan
madrasah yang sangat maju di luar Jawa --yang dulu, sebelum
berdirinya IAIN pada 1960, bahkan lulusan tingkat ibtidaiyahnya
(SD) selalu diterima di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri). Beberapa kitab agama tingkat IAIN memang sudah
diberikan di ibtidaiyah, dan lepasan ibtidaiyah sudah bisa
membaca "kitab gundul".
Kiai Sahal dari Kajen tadi, menganggap kurikulum Depag "belum
memadai bagi kepentingan pendidikan agama". Sehingga ia
mengambil kebijaksanaan tidak mengikuti ujian akhir persamaan.
Dengan kata lain, madrasahnya memang mandiri.
Dan Pondok Modern Gontor (memang demikian nama resminya) bahkan
menonjol ke luar sebagai "hanya" sekumpulan madrasah yang
mandiri. Terkenal memberikan tekanan pada penguasaan aktif
bahasa-bahasa Arab dan Inggris, pendidikan setingkat SLP-SLA ini
dinyatakan (oleh pimpinannya, kepada Menteri Agama), memberikan
" l00% pendidikan agama dan 100% pendidikan umum". Mereka memang
tidak membagi-bagi 'ilmu Allah' menurut pengertian yang kaprah,
dan sendirinya berada di luar alternatif Departemen Agama.
Meski mayoritas pesantren tidak mengikuti Gontor (almamater KH
Idham Chalid dan tokoh muda Nurcholish Madjid) dalam hal
madrasah, satu pertanyaan muncul juga. Yakni: tidakkah dengan
demikian pesantren bisa sama sekali berubah? "Revolusi madrasah"
itu sungguh keras -- dan janganjangan membaurkan ciri-ciri yang
membedakan- dunia pesantren dengan pendidikan model Barat
seperti yang misalnya dikemukakan Kaskopkamtib itu meskipun itu
justru bisa menjadi tujuan.
Ini: ada suara yang khawatir, dengan menyimak pertumbuhan
berbagai madrasah, janganjangan kemampuan santri dalam memahami
kitab-kitab klasik akan berkurang. Penguasaan kitab klasik
memang ciri pesantren yang dipandang mahal: lulusan IAIN
sekalipun belum tentu bisa membaca karya asli Imam Syafi'i atau
Ghazali, bahkan kitab syarahnya sekalipun.
Madrasah, dengan berbagai cara, telah "menyarikan" kitab-kitab
itu. Memang tak menjadi soal untuk madrasah model Pondok Lirboyo
yang "nonumum". Tapi bagaimana dengan berbagai madrasah
pesantren yang sepenuhnya mengikuti standar pemerintah? Termasuk
semua madrasah di Pesantren Darul Ulum dari KH Musta'in Romly di
Peterongan Jombang, yang punya 4.000 santri itu?
Ini tak hanya diakui oleh misalnya KH Achmad Sjakir dari
Pesantren Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tapi juga Kiai Sohib
Bisri di Denanyar: sebuah kitab yang dulu dipandang bertingkat
'menengah', konon kini sudah dianggap 'tinggi'. Hanya Kiai Sohib
tak menunjuk madrasah sebagai biangnya. Melainkan "sebab-sebab
di luar itu, yaitu perubahan yang lebih luas."
Tapi bahwa hal itu tak mustahil terjadi, secara tak langsung
diakui oleh Z.A. Syis, Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam
Departemen Agama, ketika menjawab: "Kitab-kitab kuno itu isinya
tidak berbeda dari yang baru. Hanya sistematikanya berbeda."
Zamakhsyari Dhofier malah menyatakan, "erosi kitab" itu "secara
absolut begitu".
Hanya, katanya, "apakah penguasaan agama harus bergantung pada
penguasaan kitab-kitab klasik?" Lagi pula, "dengan mempelajari
kitab-kitab baru, kita mendapat masukan dari hal-hal yang
sifatnya kontemporer." Bayangkanlah, "mempelajari kitab baru"
itu lama-kelamaan akan menandai kegiatan pesantren atau madrasah
mutakhir. Maka ini pengandaian, pesantren bisa kehilangan
cirinya yang disebut Kaskopkamtib sebagai 'dogmatik'. Atau
tidak? Mau dikemanakan pesantren? Pertanyaan seperti itu tentu
hanya provokasi. Tapi perubahan yang lebih besar kelihatan, bila
di pesantren didirikan sekolah umum. Tahun 1967, Yusuf Hasyim
mendirikan Universitas Hasyim Asy'ari di Tebuireng -- yang
sekarang bercabang-cabang di banyak kota. Tapi yang
"kontroversial adalah ketika Abdurrahman Wahid memelopori
pendirian SMP dan SMA tahun 1975.
Tujuannya tentu, seperti dikatakan 'usuf Hasyim, untuk menjawab
tuntutan masyarakat. "Bukan untuk meng-SMA-kan santri, tapi
me-nyantri-kan SMA." Buktinya, banyak lulusan SMP dari
daerah-daerah lain yang meneruskan SMA justru di Tebuireng. Dan
banyak juga pesantren yang mengambil langkah yang sama --
termasuk misalnya Pesantren Surialaya di Tasikmalaya. Pesantren
Cipasung di Singaparna, juga di kaki Galunggung, bahkan sudah
punya SD dan SMP sejak 1953, dan SMA sejak 1959.
Hanya saja tokoh scperti Kiai Sohib Bisri merasa kurang sreg Ia
menolak SMP dan SMA di lingkungan pesantren. "Itu policy saya
dalam menjaga identitas pondok, agar jangan sampai luntur,"
katanya. "Bisa-bisa madrasah kalah."
Ada benarnya. Murid madrasah di Tebuireng sendiri ternyata jauh
lebih sedikit dibanding murid SMP dan SMAnya. Marwan Saridjo,
Kasubdit Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Departemen Agama,
juga menyebut kenyataan yang sama di Surialaya dan Cipasung.
Lebih lagi, dikatakan Kiai Machrus dari Lirboyo itu: "Kalau
pondok sudah campur satu kompleks dengan SMA atau SMP, biasanya
keaslian pondok jadi hilang," katanya. Bahkan Kiai menyuruh
Universitas Tri Bhakti didirikanpesantrennya agak jauh dari
pondok. Apa daya, sebab ada pelajaran 'umum'.
Yang ada dikhawatirkan sebenarnya ialah, kalau-kalau dengan
mendirikan sekolah umum (bukan madrasah), pesantren akan bisa
hanyut ke arah "orientasisistem pendidikan di luar". Memang rada
susah.
Tapi, sebagai perbandingan, bisa dilihat Pesantren Seri Bandung
di Palembang itu. Di sana, santri laki-lakinya yang berjumlah
600-an orang menempati 450 rumah kayu berbentukdangau, yang
kolongnya dijadikan kandang ayam. "Jika tiba akhir tahun,
anak-anak tinggal menjual hasil peternakan mereka untuk pulang,"
kata pengurus pesantren.
Dan peternakan, atau ketrampilan apa pun, sebenarnya bukan hal
baru. Di pesantren Ploso, Kediri, Kiai punya tambak-tambak,
untuk dikerjakan para santri yang tidak mampu. Juga di Pesantren
Siddiqiyah, Jombang. Di Lirboyo, pondok punya tanah sekitar 3 ha
yang digunakan praktek penghijauan. "Mana ada pondok lain yang
menanam rumput gajah,"kata Maksum Jauhari, Ketua Pondok. Santri
yang kurang mampu diajari menjual makanan, menjaga toko koperasi
atau bengkel las. Juga ada lima mesin jahit--di samping mereka
pernah dibantu binatang untuk peternakan dari Departemen Agama.
Di Pondok Blokagung, Banyuwangi, para santri membikin bata,
menebang kayu di hutan, mencukur anak-anak kampung, menukang,
mencangkul, menjahit--dan mendapat nafkah. Ketrampilan memang
ciri khas pesantren. Tapi lebih tepat adalah semangat berdiri
sendiri. Dan ini timbul dari sikap keagamaan yang mengajarkan
keberanian hidup melarat. Nah. Bagaimana sikap mandiri seperti
itu tidak akan luntur, bila dihembuskan "udara SMA" yang santai
itu?
"Sistem pendidikan kita," kata Dawam Rahardjo, Direktur LP3ES
(Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial) yang banyak membantu pesantren, "diarahkan pada
penciptaan anak didik yang cocok untuk bekerja di kantor. Murid
dinilai berdasar angka pelajaran, bukan berdasar kreativitasnya
dalam mengembangkan pribadi. Dan pesantren memang bisa saja
tidak luput dari pengaruh itu".
Karena itulah lembaganya, seperti dikatakan Dawam, ingin turut
membantu pesantren yang dipandangnya sebagai medium pengembangan
kemasyarakatan yang sangat efektif khususnya di pedesaan. Dan
menawarkan kepada mereka metode-metode pengembangan aspek-aspek
tertentu yang merupakan potensi dan keinginan mereka sendiri.
Di tahun 1976 lembaga itu mulai membina enam pesantren, dan
tahun 1980 sudah menjadi 12 pesantren. Dengan sistem berantai,
sekarang sudah 64 buah pesantren tercatat sebagai klien di Jawa,
Madura, Sumatera dan Kalimantan.
Maka sifat kemandirian seperti di Pondok Blokagung Banyuwangi
itu pun mendapat pendukung. Pesantren Gulukguluk, Madura, yang
dua anggotanya dilatih LP3ES enam bulan di Pondok Pabelan,
sekarang menghijaukan 10 hektar pekarangan tandus--dan mendapat
hadiah Kalpataru dari Presiden, di samping mempunyai
lapangan-lapangan usaha kecil bagi para santri untuk menunjang
nafkah mereka.
Pondok Pabelan bahkan muncul lebih dari sekedar contoh
keberhasilan usaha sekitar ketrampilan. Pondokyang arsitektur
kompleksnya pernah mendapat hadiah Aga Khan Award ini, dan
kemudian bersama Guluk-guluk mendapat hadiah Kalpataru, dengan
sadar menyusun konsep pesantren yang tekanannya memang lebih
banyak pada semacam 'sekolah lingkungan'. Di sini diajarkan,
seperti pada gambaran pesantren yang "asli", bukan ilmu,
melainkan 'hidup'.
KURIKULUM disusun berdasar perkiraan kebutuhan santri sebagai
'manusia yang utuh' mengaji kitab, sekolah, berpidato (di sini
diwajibkan hanya bicara Arab atau Inggris, mulai kelas
tertentu), dihargai sama mulianya dengan mengurus belut dan
memerah susu sapi. Dan pesantren ini yang seluruh bangunannya
dibikin tangan para santri sendiri, tidak menjanjikan ijazah.
"Ijazahnya adalah ada atau tidak adanya pengakuan masyarakat,"
pernah dikatakan Kiai Hamam Ja'far, sesepuhnya--seperti yang
memang merupakan watak asli pesantren sendiri.
Syahdan, diseluruh Indonesia terdaftar--pada Departemen Agama,
laporan 1981--5.373 pesantren, dengan jumlah santri 1.238.967.
(Belum dihitung madrasah di luar pesantren dan jumlah siswanya).
Dan itulah lembaga pendidikan yang sedang berubah.
Setidak-tidaknya bentuk-bentuk baru bermunculan -"dan kita tak
mungkin menangisi hilangnya bentuk-bentuk lama," kata
Zamakhsyari.
Doktor dari Australian National University itu, yang berasal
dari pesantren di Salatiga, yakin bahwa, dari satu segi saja,
"kecil sekali kemungkinan seorang anak pesantren menjadi
penganggur, dibanding keluaran sekolah model SMP SMA'.
Menarik juga kata-kata iai Machrus yang lanjut usia itu. "Biar
anak-anak sekolah umum ingin jadi pegawai, anak pesantren
hendaknya ingin jadi manusia yang berguna saja. Ramai-ramai
ingin jadi orang kanor itu hanya menyusahkan pemerintah saja".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini