MESKI luas daratannya 40 ribu hektar lebih, Pulau Belitung
miskin di bidang Pertanian. Hanya endapan timah (belakangan juga
kaolin) anugerah Tuhan yang memberi penghidupan cukup berarti
bagi penduduk sebagai karyawan atau buruh tambang. Ada juga
sebagai nelayan di kawasan pantainya. Tak kurang dari seabad
kehidupan seperti itu berlangsung. Tak dapatkah wajah Belitung
dirobah jadi kawasan pertanian? Atau setidaknya merobah
anggapan bahwa Belitung tak dapat ditanami?
Itulah yang menekan fikiran Bupati Belitung, Kusniohadi sekarang
ini. "Kita ingin meyakinkan masyarakat bahwa keyakinan lama
Belitung tak dapat ditanami harus dirobah", ujar sang Bupati
kepada TEMPO. "Lambat atau cepat bayangan itu pasti dapat
dihilangkan". Bagaimana caranya? Dengan bersemangat sang Bupati
menggelarkan contoh-contoh langkah yang dilakukannya. Ada proyek
persawahan Perpat, Pusat pembibitan daerah di KM 11 Perawas dan
perkebunan-perkebunan di tiap kelurahan. Dan itu semua merupakan
sebagian program besar yang diberi julukan Panca Usaha Pokok
(PUP) yang sedang diutak-atik sang Bupati dan para pembantunya.
Yakni 5 macam usaha peningkatan di bidang-bidang: penanaman
kapas, hasil pertanian (sayur-sayuran. padi, buah-buahan dan
lainnya), modernisasi dan nylonisasi nelayan, perindustrian
rakyat dan industri-industri lainnya yang bahan galiannya
terdapat di Belitung serta pembangunan pariwisata daerah.
Cukup luas juga. Dan wajar bila ada yang meragukan
keberhasilannya. Tapi tampaknya Bupati Kusniohadi cukup bernyali
besar. Sebab bagaimana pun ia tak dapat membiarkan warganya
terus-menerus menyerah pada keadaan sekarang. Karena selama ini
penduduknya sangat bergantung pada kaum pendatang yang
berbondong memanfaatkan keadaan di sana jadi pedagang dan
mengutak-atik harga dan keadaan pasaran. Orang tak kan merasa
aneh bila mereka ini terdiri dari bukan pribumi yang 99 persen
lebih menguasai perdagangan. Hingga tak aneh pula bila di
saat-saat masyarakat membutuhkan bahan-bahan pokoknya di
hari-hari Lebaran misalnya barang-barang kebutuhan tiba-tiba
melenyap. Dan kembali muncul dengan harga yang bukan main.
Perikanan
Keadaan tersebut agaknya sukar dikendalikan meski sebenarnya PT
Tambang Timah di sana kabarnya berperanan lumayan dalam hal
memantapkan harga 9 bahan pokok. Apalagi itu PT pengolah hasil
tambang utama kawasan sana, mampu menyisihkan tenaga
listriknya buat umum. Di samping membangun jalan-jalan, sekolah
dan lainnya. Tapi usaha pertambangan ini pun bukan tak sering
terkena rongrongan goncangan harga timah internasional.
Bagaimana bidang perikanan? Sebagai bagian kepulauan yang
dikelilingi I23 pulau kecil, Belitung sesungguhnya merupakan
kawasan perikanan yang mestinya menguntungkan. Kawasan
perairannya merupakan pertemuan arus yang menyimpan banyak jenis
ikan mahal seumpama tongkol dan tenggiri. Pada waktu musim
Barat, nelayan dapat beroperasi di sebelah timur. Dan
sebaliknya. Hingga nelayan dapat beroperasi di setiap musim.
Cuma saja peralatan tradisionil seperti pancing, pukat, jala
sederhana yang masih dipakai sekarang tentulah bukan zamannya
lagi. Hingga gagasan sang Bupati dengan PUP-nya tadi di bidang
ini, sudah tentu bisa diterima sebagai hal menggembirakan.
Apalagi meski dengan cara pengusahaan tradisionil itu nelayan
Belitung mampu mengeduk isi lautnya di tahun 1974 sekitar 10
ribu ton ikan dan di tahun 1975 meningkat jadi 12 ribu ton.
Padahal kebutuhan masyarakat cuma sekitar 4 ribu ton per
tahunnya. Kelebihan tersebut tentulah membutuhkan sarana-sarana
seperti tempat pendinginan, pabrik es dan seterusnya. Ini bila
bisa diwujudkan sesuai langkah-langkah PUP tadi, bukan tak
mungkin Belitung hisa diperhitungkan sebaai basis perikanan
cukup tangguh di bilangan Sumatera Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini