Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Populi Center Rafif Pamenang Imawan mengatakan berita bohong atau hoax terjadi dengan mudah karena dipengaruhi sejumlah faktor. Salah satunya perkembangan teknologi informasi dalam berinteraksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Rafif mencontohkan media sosial yang banyak digunakan masyarakat untuk berkomunikasi. Ia menyebut medium tersebut sebagai pasar bebas lantaran informasi yang mengalir di dalamnya tak tersaring. "Di media sosial, tidak semua ada faktanya," kata dia di Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu, 6 Oktober 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kondisi tersebut diperburuk dengan hilangnya etika saat menyampaikan pendapat di media sosial. "Masyarakat dapat dengan bebas bersuara," ujarnya.
Rafif menuturkan media sosial juga telah menggerus peran media mainstream sebagai acuan. "Media mungkin punya channel Youtube, Instragam, atau yang lain. Tapi masih kalah dengan akun-akun lambe," kata dia.
Ia menilai perlu adanya regulasi mengatur pasar bebas tersebut. Selain itu, harus ada edukasi mengenai penyebaran hoax. Menurut Rafif, masyarakat perlu diberi tahu cara membedakan berita benar dan bohong.
Rafif juga mencatat perlu ada peran elit politik di dalam negeri untuk mencegah penyebaran hoax. "Anda ini orang terdidik dan mewakili suara rakyat sehingga harus berkomitmen dengan demokrasi yang sehat," ujarnya.