SUDAH empat bulan tidak terdengar suara mesin ketik di rumah no. 23 itu, di belakang SMP I, Jalan Jenderal Sudirman, Padangpanjang, Sumatera Barat. Nazwar Syamsu, yang sejak mendiami rumah itu tujuh bulan sebelumnya - selaiu mengetik hingga subuh (dengan bersila di kasur, berlandaskan bantal) meninggal dunia dalam usia 65 tahun, 20 November 1983. Laki-laki kurus dengan tinggi sekitar 160 cm itu tidak dikenal di kalangan ulama. Bahkan berkhotbah, juga tak pernah. Kadang-kadang ia tampak di pinggir jalan dengan sandal kulitnya, masuk pasar sambil menenteng sesuatu, atau makan ketupat dan mengobrol bersama siapa saja. Setamat Sekolah Desa dulu, ia masuk HIS, tiga tahun, dan pada masa terakhir sempat pula belajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 1956, empat bulan. Sebelumnya, pada tahun 1945, pernah belajar ilmu falak pada Syekh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi. Sekitar waktu itu pula, sebelum Kemerdekaan, ia menjadi polisi. Profesi itu baru dilepaskannya ketika ia pensiun - 1967 setelah menikahi janda beranak satu, Syafinah, dan meninggalkan tiga istri sebelumnya. Kepada istri terakhir inilah, yang memberinya empat orang anak, ia menuturkan berbagai pengalamannya. Antara lain sebuah mimpi yang dialaminya waktu ia turut bergerilya di hutan, pada zaman PRRI, sebelum perkawinan mereka. Konon, ia merasa hendak mandi di sebuah sungai yang penuh najis. Berulang-ulang, dengan susah-payah ia menguak kotoran dan barulah diperolehnya air yang bersih. Ia pun terbangun, lalu duduk sambil merokok. Setelah kembali tidur, katanya, ia bermimpi lagi: bertemu dengan sejumlah besar penghulu adat dengan segala pakaian kebesaran. Terbangun lagi. Tapi lalu tidur lagi - dan kini merasa melihat ribuan bintang berkilauan. Alam jadi terang sekali, tapi tiba-tiba kembali gelap. "Agaknya Tuhan menuntut sesuatu dari hidup saya," katanya berbisik. Beberapa lama kemudian lahirlah dua brosurnya, yang diterbitkan Pustaka Sa'diah Padangpanjang. Untuk semua karyanya, konon, ia tak pernah teken kontrak. "Diterbitkan saja sudah puas di hati," katanya kepada Syafinah. Dalam hubungan dengan PT Ghalia, Jakarta, pihak terakhir itulah yang mengirimkan uang dengan kemauan sendiri - Rp 6 juta kepada anaknya yang tertua, Fachruddin, 40, (anak Nazwar berjumlah delapan orang), dan jumlah yang sama kepada sang ayah. Yang terakhir itu dibelikan sebuah rumah tua di tanah seluas 9 m X 14 m, tempat ia bersama Syafinah dan anak-anak mereka hidup. Ghalia menerbitkan buku-bukunya sejak 1969. Direktur PT itu, H. Lukmanulhakim, mengaku tertarik kepada karya Nazwar - yang dianggapnya "tepat untuk menghadapi kemajuan zaman" - sejak tiga tahun lalu. Meski begitu, "dalam setahun sebenarnya hanya 1.000-1.500 buku yang terjual," kata Lukman. Baru setelah karya-karya itu direkam, kasetnya laris. Dalam dua bulan saja 10.000 kaset terjual. Itu berarti 500 paket. Dan kini seluruh keluarga Nazwar menjadi tanggungan Lukman. Lukman juga memberangkatkan Nazwar ke Tanah Suci. Menurut Datuk Palimo Kayo, yang bulan ini genap berusia 80 tahun, Nazwar orang baik. Orang yang suka menerima tamu sesudah lewat tengah malam itu, sambil duduk di tikar, menurut Datuk, suka menolong. "Yang terakhir saya dengar ia menyumbang setengah juta kepada Madrasah Thawalib," tutur Datuk. Di antara pesannya ketika sakit, menurut istrinya, ialah agar semua anaknya tetap belajar di madrasah. Satu lagi yang khas pada orang ini: ia tak suka dipotret. Salah satu alasan: "Biasanya orang lebih menilai wajah orang daripada pikirannya." Lagi pula ia takut kalau-kalau fotonya jadi bahan pemujaan atau pergunjingan. Sebab, katanya, seperti dituturkan Syafinah, setelah 1980 buku-bukunya akan mulai berpengaruh. Dan setelah 1990, buku-buku itu "akan berkuasa".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini