RUSYDI Hamka banyak disebut menjelang Tanwir Muhammadiyah kali ini. Soalnya, putra Almarhum Buya Hamka, yang kini salah satu ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dicalonkan PPP sebagai anggota DPR. Padahal, sampai sekarang keputusan muktamar Muhammadiyah di Ujungpandang, 1971, masih berlaku. Itu menyebabkan seorang pengurus inti Muhammadiyah secara otomatis nonaktif bila menjadi anggota legislatif. Rusydi, 57 tahun, adalah pengurus inti, haruskah ia dibebastugaskan bila kelak jadi anggota parlemen? Itu akan menjadi salah satu soal yang akan dibahas sidang tanwir Muhammadiyah, akan berlangsung Minggu sampai Kamis pekan ini, di Asrama Haji Pondok Gede. Sejak keputusan muktamar tadi diberlakukan, ternyata sudah banyak pengurus Muhammadiyah yang terpaksa mengundurkan diri, karena memilih menjadi calon Golkar atau PPP. "Itu amat merugikan Muhammadiyah," ujar Rusydi Hamka yang dalam pemilu tahun ini akan menjadi calon nomor tiga PPP di Sumatera Barat. Sebagai contoh, Pemred Majalah Panji Masyarakat ini menunjuk Fatchurrahman yang mengundurkan diri sebagai Ketua Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Kini, Fatchurrahman menjadi Wakil Ketua DPRD Jatim dari PPP. Entah karena khawatir banyak tokohnya akan mundur, dalam perkembangan kemudian, ada saja pengurus inti yang dibenarkan menjadi anggota DPR atau MPR tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka mendapatkan dispensasi Pengurus Pusat. Misalnya, Ghazali Amna, seorang pengurus inti Muhammadiyah Aceh, diperkenankan merangkap sebagai anggota DPRD Aceh dari PPP, hasil Pemilu 1987. Bahkan, kini Amna menjadi calon PPP nomor 1 untuk DPR mewakili daerahnya. Selain itu, H.S. Prodjokusumo, Bendahara PP Muhammadiyah, kini juga masih anggota MPR dari Golkar. Ketika belakangan Rusydi Hamka mengerek bendera PPP, banyak suara di Muhammadiyah yang menganggap sudah saatnya peraturan itu diperlunak. Soalnya, ketika keputusan itu diambil, pemerintah sedang menggalakkan operasi massa mengambang. Muhammadiyah ketika itu dianggap pendukung Parmusi, dan belakangan PPP. Maka, keputusan kongres tadi bisa dibaca sebagai upaya organisasi itu menjauhkan diri dari bau parpol. Namun, tampaknya keadaan mulai berubah. "Ada perubahan situasi politik yang berkembang sekarang di Indonesia," kata Ahmad Watik Pratiknya, Sekretaris Pengurus Pusat Muhammadiyah. Perubahan dimaksud diperjelas oleh Amin Rais, salah seorang ketua organisasi Islam ini. Kini, menurut Amin, sudah ada saling percaya pemerintah dan umat Islam, termasuk Muhammadiyah. Makanya, kata Amin, "Tak usahlah Muhammadiyah terlalu ketat menutup diri dari politik praktis." Sebab, sekalipun Muhammadiyah itu ormas dengan orientasi dakwah, toh pada kenyataannya banyak soal-soal dakwah yang membutuhkan keputusan politik. Oleh karena itu, selama ini, menurut Watik Pratiknya, secara individual warga Muhammadiyah sudah melakukan dakwah bil hikmah. Artinya, melakukan kegiatan mempengaruhi keputusan politik tanpa terlibat. "Nah, sekarang Muhammadiyah ingin merumuskannya secara konseptual agar acuannya jelas," kata Watik Pratiknya. Untuk itu, Pengurus Pusat Muhammadiyah menyiapkan sebuah makalah untuk sidang tanwir yang antara lain memberi kesempatan kepada pengurus organisasi itu untuk menjadi anggota DPR dan sejenisnya mewakili parpol dan Golkar, dengan berbagai persyaratan yang semuanya demi kepentingan Muhammadiyah. Misalnya, dengan jabatan rangkap itu organisasi jadi telantar atau tidak. Juga, jangan sampai masuknya seorang tokoh Muhammadiyah ke suatu Parpol menimbulkan masalah peka buat pemerintah. "Kalau hanya mengakibatkan Muhammadiyah dijauhi, kan lebih baik tidak," kata Watik. Jadi nantinya, soal ini akan dilihat kasus per kasus. Artinya, sekalipun makalah ini disetujui Tanwir, belum tentu Rusydi bisa melenggang jadi anggota DPR. Begitulah, sementara pemerintah memberikan kelonggaran bagi Sri Bintang Pamungkas, A.M. Saefuddin, dan lainnya, menjadi calon parpol, Rusydi di Muhammadiyah masih harus menembus jalan berliku. Agus Basri dan R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini