Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalan keluar, setelah 11 tahun

Ali sadikin dkk. diterima oleh gabungan komisi ii dan iii dpr. maksud pertemuan ini adalah mencari jalan keluar bagi masalah petisi 50. ada peluang untuk penyelesaian damai.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ali Sadikin dkk. pekan lalu muncul kembali di DPR. Menurut F-ABRI, mereka itu masih dalam sistem. Ali Sadikin akan berusaha bertemu dengan Presiden Soeharto? POTONGAN badannya masih tegap: tinggi 177 sentimeter, berat sekitar 80 kilogram. Empat kali seminggu ia berlatih di pusat kesegaran jasmani Hotel Mandarin, Jakarta. Dan melalap lari di mesin treadmill sedikitnya satu jam setiap hari. Ia juga tidak merokok. Barangkali itu sebabnya Ali Sadikin tampak lebih muda dari usianya yang 65 tahun, yang genap jatuh pada 7 Juli 1991 kemarin. Ada hal lain yang tampaknya membuat dia tambah berseri pekan lalu. "Saya puas bisa bicara dengan bebas dan terbuka di DPR," kata bekas Gubernur Jakarta (1966-1977) itu. Memang, Kamis pekan lalu, Ali Sadikin dkk. -- sejumlah 18 orang -- diterima DPR (gabungan Komisi II, yang antara lain membidangi soal politik, dan Komisi III, yang antara lain mengurusi masalah hukum) di Senayan, Jakarta Pusat. Dalam rombongan itu terdapat sejumlah penandatangan dokumen Pernyataan Keprihatinan (5 Mei 1980) -- yang lebih dikenal sebagai Petisi 50. Seperti bekas Menteri Perindustrian Rakyat Mayjen. (Purn.) Azis Saleh, bekas Kapolri Jenderal Hoegeng, dan bekas Menteri Pertambangan Slamet Bratanata. Juga tak ketinggalan bekas Sekjen ASEAN Letjen. (purnawirawan) H.R. Dharsono dan H.J.C. Princen. Dua nama terakhir ini bukanlah penandatangan Petisi 50. "Memang saya tak ikut tanda tangan Petisi 50, tapi saya sejiwa dengan mereka," kata H.R. Dharsono. Tampilnya Ali Sadikin dkk. di gedung DPR pekan lalu memang mengagetkan. Semula banyak yang tidak percaya hal itu akan terjadi. Maklum, selama 11 tahun mereka sering dicap "pembangkang", "disiden", atau juga "oposan". Selama itu pula mereka lebih sering diberitakan oleh pers asing daripada media dalam negeri. "Kalau dianggap selama ini tabu menerima mereka, mungkin benar. Tapi, sekarang suasananya kan sudah lain. Pemerintah kan sudah welcome," kata Wakil Ketua DPR Saiful Sulun. Munculnya label "disiden" bagi Ali Sadikin dkk. terjadi tatkala mereka mempertanyakan pidato Presiden Soeharto tanpa teks di muka Rapim ABRI di Pekanbaru (27 Maret 1980) dan pada HUT Kopassandha di Cijantung (16 April 1980). Ketika itu Pak Harto, antara lain, mengingatkan adanya usaha-usaha menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain dengan segala macam cara. Di antaranya dengan melontarkan bermacam isu untuk mendiskreditkan pemerintah dan para pejabat. Dua pidato itu rupanya memantik sejumlah orang menyatakan keprihatinannya. Menurut mereka, Presiden telah menyalahtafsirkan Pancasila sehingga dapat dipergunakan sebagai sarana ancaman terhadap lawan politik. Padahal, Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri RI sebagai sarana pemersatu bangsa. Mereka juga prihatin karena menganggap Presiden telah mengajak ABRI memihak, dan tidak berdiri di atas semua golongan masyarakat. Mereka kemudian menyatakan sikap mereka lewat sebuah Pernyataan Keprihatinan, yang ditandatangani 50 orang, hingga lekatlah kemudian sebutan Petisi 50. Mereka minta DPR mempertanyakan soal dua pidato Presiden tanpa teks itu. Hasilnya, 19 anggota DPR pada Juli 1980 mengajukan pertanyaan pada Presiden, yang kemudian menugasi Mensesneg Sudharmono menjawabnya pada 1 Agustus 1980 (lihat Bukan Kelompok Sehidup Semati). Buntut pernyataan keprihatinan itu ternyata panjang. Kini, 11 tahun sudah berlalu, soal itu tetap mengundang kontroversi. Memang, tanda-tanda pendekatan sudah muncul. Menko Polkam Sudomo, misalnya, bersedia menerima mereka 21 Mei silam untuk menampung keluhan mereka yang merasa dipersulit bila mau ke luar negeri. Namun, Sudomo masih tetap saja menuding Kelompok Petisi 50 telah melakukan fitnah kepada Kepala Negara. "Petisi 50 harus meminta maaf. Selama ndak, ya terus jadi masalah," katanya. Sikap Pak Harto sendiri jelas terhadap Kelompok Petisi 50. "Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya Petisi 50 itu tidak saya sukai," katanya dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Mereka, kata Presiden, mengira seolah-olah pendapatnya bener dewe, benar sendiri. ".... Merasa mengerti, tetapi pada dasarnya tidak mengerti Pancasila dan UUD '45". Menurut Sudomo, soal ini belum tuntas karena lembaga DPR 11 tahun yang lalu itu tak bereaksi, sementara dokumen Pernyataan Keprihatinan terus beredar. "DPR belum menyelesaikannya," kata Sudomo. Mungkin karena itulah mereka dianggap "berbahaya" hingga sebagian dari mereka terkena larangan bepergian ke luar negeri alias dicekal (cegah tangkal). Sebenarnya, tak hanya cekal yang menjegal mereka. Hak-hak perdata lainnya, menurut Azis Saleh, juga dimatikan. Misalnya, dipersulit untuk mencari nafkah seperti mendapatkan kredit dari bank. Atau mereka dilarang hadir dalam upacara atau perayaan instansi pemerintah yang pernah dipimpin oleh penandatangan Petisi 50. Begitu pula pemberitaan mereka di media massa dibatasi. Ini, oleh Azis, dilihat sebagai salah satu bentuk pelanggaran atas pelaksanaan Pancasila dan UUD '45. Serentetan soal di atas inilah yang dibawa Ali Sadikin dkk. ke DPR pekan lalu. "Kami kemari karena mengikuti petunjuk Sudomo pada pertemuan 21 Mei 1991 lalu," kata Azis. Ia menolak alasan Sudomo yang berdalih bahwa tindakan preventif yang dilakukan oleh Pemerintah sepanjang 11 tahun ini karena DPR dianggap belum menyelesaikan masalah secara tuntas. Menurut Azis, persoalan Petisi 50 itu dianggap selesai karena sudah ditanggapi Presiden. "Puas atau tidak puas, yang penting sudah ditanggapi," katanya. Jadi, sudah selesai atau belum? Itulah yang pekan lalu dicari. "Maksud dari pertemuan ini adalah mencari jalan keluar bagi masalah Petisi 50," begitu sambutan Wakil Ketua DPR Saiful Sulun ketika mengawali sidang yang dimulai tepat pukul 10.00 pagi. Pimpinan sidang kemudian diambil alih Mayjen. R.K. Sembiring Meliala yang dinobatkan sebagai ketua komisi gabungan II dan III DPR RI. Kamis pekan lalu itu, ruang sidang yang hanya bisa menampung sekitar 200 orang itu pun membludak. Selain Azis Saleh, dari kelompok Petisi 50 tampil sebagai pembicara Slamet Bratanata, Radjab Ranggasuli, S.K. Trimurti, dan Ali Sadikin. Seperti biasa, penampilan Ali Sadikin meledak-ledak dan paling banyak mengundang perhatian. "Saya tidak cari popularitas," kata Ali Sadikin, yang mengingatkan bahwa secara logika, bagaimana ia dan teman-temannya bisa populer kalau dikucilkan. Ali Sadikin tak lupa menyodok pers, yang ditudingnya nyaris tak berani memberitakan kegiatan Petisi 50. "Kalau Pemerintah bisa muncul tiap hari di TV dengan biaya negara, beri juga kami kesempatan agar bisa muncul di TV tiap hari, juga dengan biaya negara," ujarnya, yang disambut keplok riuh hadirin. "Sisa hidup kami hanya untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan Orde Baru," tambahnya. Mendengar itu, Harun Amin (Fraksi Persatuan Pembangunan), salah seorang penanggap, melihat upaya yang dilakukan Bang Ali: berpahala. Tapi, katanya, kelompok Petisi 50 jangan merasa paling benar. "Kita juga tidak tahu Saudara-Saudara ini maunya apa? Kalau mau jadi presiden, kesempatan itu memang tak tertutup," katanya. Asal syaratnya, harus masuk dalam parpol. Tampaknya, pertemuan hari itu berbuah positif bagi Ali Sadikin dkk. karena banyak anggota DPR yang lebih bisa memahami mereka. Kolonel (Pol.) Roekmini (F-ABRI), misalnya, setuju dengan pendapat Ali Sadikin dkk. bahwa masalah Petisi 50 sudah selesai. "Apalagi yang mau dipersoalkan?" katanya. Itu sebabnya Roekmini, dan juga Sembiring, melihat tuntutan Ali Sadikin dkk. yang meminta pertanggungjawaban Presiden tak perlu dilanjutkan. Pertemuan itu berakhir pukul 14.30. Saiful Sulun terlihat lega. "Saya pribadi menilai, mereka itu orang-orang yang merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan bangsanya," ujarnya. Sembiring Meliala juga kelihatan lega seusai memimpin sidang. "Kami semua di Fraksi ABRI berpendapat bahwa mereka masih dalam sistem. Kalau di luar sistem, kan tidak perlu kami terima. Kalau masih ada kekurangan, mari kita perbaiki. Kita harus sabar. Ini kan masalah yang hanya bisa diselesaikan dalam jangka panjang," ujarnya. Tampaknya, seusai pertemuan di DPR pekan lalu, peluang untuk "penyelesaian damai" bagi kelompok Ali Sadikin kini terbuka lebih besar meski kemungkinan penyelesaian tuntutan mereka lewat pengadilan masih saja terbuka. Bila penyelesaian secara kekeluargaan lewat musyawarah yang dipilih, "Kami akan mengupayakan supaya dapat bertemu dengan Presiden," ujar Ali Sadikin. Ahmad K. Soeriawidjaja, Wahyu Muryadi, Bambang Sudjatmoko, dan Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus