Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan kelompok sehidup semati

Kelompok petisi 50 lahir dari rasa ketidakpuasan dan keprihatinan pada situasi. dampak aksi petisi adalah gangguan terhadap sumber ekonomi. yang ti- dak tahan, lalu mengundurkan diri.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelompok Petisi 50 lahir dari suatu proses panjang ketidakpuasan dan keprihatinan pada situasi. Ada yang tidak tahan, lalu mengundurkan diri. TELAH beberapa tahun ini Ali Sadikin punya menu makanan yang khas: menyantap berita media massa. Sebagai anggota kelompok kerja (pokja) Petisi 50, Ali Sadikin memang punya tugas memonitor berita-berita di media cetak. "Setiap hari saya baca 30 macam koran atau majalah, baik lokal maupun asing," ujar bekas Gubernur DKI Jaya itu. Rangkuman berita-berita aktual itu kemudian dibawanya ke pertemuan pokja, yang beranggota delapan orang -- di antaranya Azis Saleh, Slamet Bratanata, dan Anwar Haryono -- setiap Selasa dan Kamis. Pertemuan ini biasanya berlangsung di kediaman Ali Sadikin yang sejuk dan besar, di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Kelompok Petisi 50 memang masih eksis kendati tak utuh lagi. Paling tidak ada tiga anggotanya telah meninggal dunia: Letjen. (Pur.) Akhmad Yunus Mokoginta, Syafrudin Prawiranegara, dan Kasman Singodimedjo. Dua yang lain masih dalam tahanan sebagai "dampak" peristiwa Tanjungpriok, A.M. Fatwa dan Ir. H.M. Sanusi. Tiga orang lainnya menyeberang, dengan mencabut pernyataannya dalam Petisi 50. "Mereka tidak tahan. Sumber ekonominya dipangkas," tutur Ali Sadikin. Gangguan terhadap sumber ekonomi memang diakui sebagai dampak aksi petisi. Ali Sadikin, misalnya, mengaku tak bisa mendapatkan kredit dari bank karena aksi itu. Maka, PT Arkalina miliknya harus ditutup. Slamet Bratanata juga mengaku mengalami hal yang sama. Perusahaan konsultan miliknya kehilangan klien. Selain terkena sanksi ekonomi, mereka juga dipersulit untuk bertandang ke luar negeri. Selama 11 tahun Petisi 50 berdiri, ada 143 surat "dinas" yang telah dikirim ke DPR, Pemerintah, atau lembaga tinggi negara. Dari jumlah itu, 70 menyangkut soal politik, 24 soal hukum, 14 ekonomi, dan 35 lainnya menyangkut soal-soal umum. Dana kegiatan diperoleh dari iuran anggota. Petisi 50 itu bukan kelompok sehidup semati. Sebagian anggotanya leluasa datang dan pergi. Bram Zakir, 40 tahun misalnya, mengaku sejak 1984 tak intim lagi dengan markas Petisi kendati masih menjaga hubungan baiknya secara pribadi. "Sekarang kalau ketemu paling di pesta kawin, terus ngobrol-ngobrol," kata Bram, yang kini bekerja di RCTI. Orang sering mengaitkan kelahiran kelompok Petisi 50 dengan kelompok Brasildi (Brawijaya-Siliwangi-Diponegoro), grup diskusi yang beranggotakan sejumlah pensiunan perwira tinggi dari tiga divisi yang bermarkas di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Brawijaya diwakili antara lain oleh G.P.H. Djatikusumo, Sudirman, dan M. Yasin. Munadi, Brotosewoyo, dan Iskandar Ranuwihardjo mewakili Diponegoro. Dan Siliwangi diwakili Kemal Idris, Akhmad Yunus Mokoginta, Akhmad Sukendro, Daan Yachya, dan A. Kawilarang. Kelompok ini melakukan aktivitasnya sejak pertengahan 1970-an. Selama periode suhu panas menjelang Pemilu 1977, kelompok ini makin kerap bertemu. Jenderal TNI Widodo, ketika itu menjabat KSAD, adalah yang mengambil insiatif melembagakannya. Maka, Brasildi berubah nama jadi Fosko (Forum Studi dan Komunikasi) TNI AD, April 1978. Rupanya, Fosko yang dipimpin oleh Djatikusumo itu cukup produktif. Hasil pertamanya berupa kertas kerja yang berisi penilaian bahwa suasana politik "kurang sehat", SU MPR 1978 berlangsung mirip perang, ABRI belum menempatkan diri di atas semua golongan, dan berpesan bahwa suara mahasiswa perlu didengar. Belakangan bekas Panglima Siliwangi H.R. Dharsono masuk Fosko, dan diangkat sebagai sekjen. Mereka makin menggebu-gebu. Mereka mengecam Golkar, mempertanyakan arah dwifungsi ABRI, dan mengingatkan perlunya pemerataan. Widodo akhirnya kewalahan mengendalikan kelompok itu. Alhasil, Fosko dibubarkan Mei 1979. Namun, Widodo membiarkan para pensiunan itu membentuk wadah baru: Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha (FKS). Para anggota FKS ini sempat pula punya rencana melakukan dialog dengan Presiden Soeharto. Saat yang dipakai adalah kunjungan Pak Harto ke Jawa Tengah, November 1979. Namun, rencana itu batal. Bahkan, kemudian muncul gosip, kelompok FKS itu mau makar. Bekas Menhankam A.H. Nasution diundang pula ke Semarang. Tapi dia menolak. Kabarnya, karena ia percaya pertemuan itu tidak akan berarti "dialog perjuangan". Namun, bersama beberapa tokoh lain, Nasution kemudian memprakarsai lahirnya Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB), Juli 1978. Di yayasan ini ada Bung Hatta, Prof. Sunario, Achmad Subardjo, di samping nama-nama Ali Sadikin, Azis Saleh, Hoegeng Iman Santoso, serta A.Y. Mokoginta yang juga anggota Fosko. Kelompok ini mudah diantisipasi bakal bersuara keras karena sepekan sebelum YLKB diresmikan di depan notaris, Nasution bersama sejumlah tokoh YLKB telah melansir kritik bahwa Pancasila dan UUD 1945 belum dijalankan secara resmi. Setelah itu, dalam pertemuannya dengan DPR, Agustus-September 1979, Ali Sadikin dkk. atas nama YLKB juga melontarkan kritik-kritik. Pada akhirnya, muncul titik temu pada April 1980, lewat isu pidato Presiden Soeharto (tanpa teks) di depan peserta Rapat Pimpinan ABRI 27 Maret 1980 di Pekanbaru, dan dalam acara HUT ke-28 Kopassandha (sekarang Kopassus) 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta. Pada kedua pidato itu, antara lain Presiden mengingatkan jajaran ABRI akan adanya kelompok yang ingin mengganti Pancasila. Dan karena tak menginginkan konflik bersenjata, Presiden mengatakan, (kalau terpaksa) lebih baik menculik seorang dari 2/3 anggota (MPR) yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak tercapai. Lewat kesempatan itu, Pak Harto juga menolak isu-isu negatif yang ditujukan pada dirinya dan keluarganya. Isu itu dikatakan mungkin berasal dari pihak yang merasa usahanya -- termasuk usaha mengganti Pancasila -- terhalang Pak Harto. Pidato itu mengundang reaksi keras dari sejumlah tokoh. Ali Sadikin, Hoegeng, Azis Saleh dari YLKB bertemu dengan Achmad Mokoginta dan M. Yasin dari FKS Purna Yudha. Mereka lalu merancang petisi yang dinamai Surat Keprihatinan, yang pada 5 Mei 1980 ditandatangani oleh 50 orang. Itulah kelahiran Petisi 50. Dalam petisi memang ada sindiran tajam. "Setiap kabar angin tentang dirinya diartikan sebagai sikap anti-Pancasila," begitu antara lain bunyi petisi. Surat Keprihatinan itu dikirim ke DPR, dengan permintaan agar lembaga perwakilan rakyat menanggapinya. Ada 19 anggota DPR (dari F-PP dan F-PDI) yang menanggapi dengan mengajukan pertanyaan pada Pemerintah. Pada 14 Juli 1980, Ketua DPR Daryatmo meneruskan pertanyaan itu pada Presiden. Lalu, pada 1 Agustus 1980, Mensesneg Sudharmono membacakan jawaban Presiden, yang berisi transkripsi pidato Presiden di Pekanbaru dan Cijantung itu. Di situ, Kepala Negara antara lain mengatakan, "Saya yakin para penanya sebagai anggota-anggota DPR, wakil-wakil rakyat yang telah banyak memiliki pengalaman politik, dengan membaca baik-baik pidato-pidato yang saya sampaikan itu, akan dapat memahami maksud serta isi pidato-pidato saya tersebut, sehingga dengan demikian dapat merupakan jawaban yang memadai atas hal-hal yang dipertanyakan itu". Putut Trihusodo, Priyono B. Sumbogo, dan Bambang Sujatmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus