Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Salaman sajalah

Wawancara tempo dengan wakil ketua dpr/mpr mayor jenderal saiful sulun mengenai kelompok petisi 50.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BICARANYA selalu ekspresif dan blak-blakan. Siapa lagi dia, kalau bukan Wakil Ketua DPR/MPR Mayor Jenderal Saiful Sulun, 54 tahun. Ahad malam lalu, bekas Pangdam Brawijaya (1985-1987) itu berbincang-bincang dengan Wahyu Muryadi dari TEMPO di rumahnya, Jalan Denpasar Raya, Jakarta Selatan, mengenai kelompok Petisi 50. Berikut petikan wawancaranya: Kenapa akhirnya DPR mau menerima kunjungan Ali Sadikin dkk? Itu tak lepas dari upaya menegakkan citra DPR. Ada satu kelompok kecil masyarakat yang menyampaikan buah pikiran, yang datang mengadukan nasibnya. Kami sebagai wakil rakyat kan tak salah menerimanya, mendengar keluhan, perasaan, dan pendapatnya. Kalau selama ini dianggap tabu menerima mereka, mungkin benar. Tapi sekarang suasananya kan sudah lain. Ditambah lagi "pelemparan" dari Pak Domo, yang bilang: Pemerintah belum bisa mengambil suatu tindakan karena (persoalan Petisi 50) belum selesai di DPR. Sekarang, kalau Dewan tidak mau menerima, lantas apa kata rakyat? Apalagi ditambah koar-koar wartawan, pakar, masyarakat. Padahal, kan sudah selesai. Kalau Pemerintah bilang tidak selesai, kok tidak terus diselesaikan. Pernyataan dari Pak Domo tentang masalah ini belum selesai itu bagaimana sih persisnya? Dulu mereka kan mengajukan petisi enam butir. Mereka mempersoalkan pidato Presiden di Pekanbaru dan HUT Kopassandha. Mereka minta kepada Dewan, tanyakan kepada Presiden apa yang dimaksud dengan kata-katanya itu. Kami, ada 19 anggota, bertanya kepada Presiden. Oleh Presiden dijawab. Terus yang 19 anggota DPR itu tidak tanya lagi, ya selesai dong. Jadi, pertemuan dengan kelompok Petisi 50 itu mempertegas bahwa persoalan keprihatinan itu sudah tuntas? Ya. Dan mereka (Ali Sadikin dkk.) mengakui kan, sudah selesai, dengan embel-embel. Kok terus disakiti? Kok terus dimacam-macami dengan kematian perdata segala. Sampai 11 tahun menderita. Maunya mereka, kalau selesai kan nggak ada apa-apa lagi. Tentang perlakuan terhadap mereka itu, bagaimana Anda menilainya? Ya, kami bisa mengerti bagaimana perasaannya. Coba kalau nasib kita seperti itu. Makanya, kami bilang, cobalah selesaikan dengan musyawarah. Kalau tidak bisa juga, selesaikanlah lewat peradilan. Benarkah mereka telah memfitnah Kepala Negara? Bagaimana dengan tuntutan mereka yang meminta pertanggungjawaban Presiden? Pada intinya, mereka menuduh Presiden dengan macam-macam. Tapi sudah dijawab Presiden. Dan Dewan sudah menerima penjelasan Presiden. Kami anggap Presiden benar. Dari enam butir itu, semuanya kami anggap selesai. Artinya, kami menganggap jawaban Pak Harto benar. Ya, nggak mungkin dong, kami minta pertanggungjawaban. Itu kami lakukan kalau dia benar-benar melanggar GBHN dan UUD 45, Pancasila. Tidak ada bukti-bukti kalau Pak Harto salah. Sederhananya begini. Mulai tahun 1980, Pak Harto (dianggap) salah, lantas dikecam. Dewan minta jawaban pada 1983 dalam Sidang Umum MPR. Tapi diterima pertanggungjawabannya oleh MPR. Bukan hanya itu, dia bahkan dipilih lagi ( menjadi presiden). Berarti rakyat yang banyak ini percaya. Pada 1988, Pak Harto menyampaikan pertanggungjawabannya sebagai mandataris. Diterima MPR, lalu terpilih lagi. Bahwa ada orang yang tidak senang, mencaci, ya boleh saja. Ini demokrasi. Apakah mereka perlu minta maaf kepada Pemerintah? Itulah, Pemerintah dengan Dewan kan belum ketemu. Sulit. Yang ini bilang kamu salah minta maaf dulu. Yang ini bilang, lo, kami nggak salah. Nggak ketemu, kan? Makanya kami bilang, cobalah adakan pendekatan, musyawarah. Namanya kita hidup bertetangga, musuhan terus, tapi suatu waktu kan bisa sama-sama kendur. Jadi, di sini diperlukan sikap baru, ada take and give. Lepaskanlah dulu prasangka jelek, mari kita berbaikan. Yang lalu-lalu lupakan. Sekarang, merem, salaman sajalah. Masa, nggak bisa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus