DALAM suatu acara Taman Indria, acara taman kanak-kanak yang ditayangkan TVRI, Bu Kasur selalu menanyai anak-anak yang habis menyanyi atau deklamasi. "Kalau gede mau jadi apa...?" Sering jawaban yang meluncur mulus dari mulut bocah itu: "Ingin jadi seperti Pak Habibie." Ini terjadi ketika acara itu ditayangkan sekitar pertengahan tahun 1970-an. Habibie ketika itu mulai jadi idola bocah. Bukan lantaran wajahnya yang mungil. Habibie ketika itu dikenal karena tampak pintar dan bicaranya memikat. Habibie juga terkenal di kalangan anak-anak karena mau membangun pabrik pesawat terbang. Yang bercita-cita ingin seperti Habibie bukan cuma bocah taman kanak-kanak. Tapi juga anak-anak SMP dan SMA kala itu. Dan kini bocah seangkatan asuhan Ibu Kasur yang ditayangkan TVRI itu sudah menginjak dewasa. Mereka itu, menurut Menteri B.J. Habibie, 56 tahun, punya pikiran yang sejalan dengan dirinya saat ini. Sementara itu angkatan tua yang dulu menentang dan menganggapnya mimpi, mulai pada tua. Dan itu disadari Habibie. Ia kini lebih diterima bukan karena berhasil membuktikan gagasannya mengenai pembangunan teknologi yang memang mahal. "Karena waktu, yang tak sejalan dengan saya semakin sepuh," kata Habibie. Memang sepak terjang Habibie ketika baru-baru mendapat tugas dari Presiden Soeharto untuk membangun pabrik pesawat terbang Nurtanio yang kemudian menjadi IPTN, mendirikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Serpong, banyak yang menentangnya. Itu dianggap tak realistis dan bukan prioritas bagi pembangunan kala itu. Sekarang pun suara sumbang itu masih sering terdengar. Tapi Habibie jalan terus. Ia selalu yakin bahwa dirinya yang paling benar. Ia yakin akan gagasannya bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh sumber daya manusia yang cerdik pandai, menguasai teknologi. Dalam perjalanannya ia mendapat kepercayaan memegang sejumlah jabatan penting. Dan terakhir Habibie juga menjadi sorotan setelah berkiprah di panggung politik. Ia mengetuai ICMI, menggarap DPR/MPR dengan memasukkan orang-orangnya, dan terakhir namanya beredar di bursa calon wakil presiden. Bertolak dari itu semua, Laporan Utama ini diturunkan. Bagian pertama juga mencoba mengangkat sepak terjang Habibie selama sembilan belas tahun menjadi pembantu Presiden. Dan yang lebih penting, Habibie bukan cuma ahli kedirgantaraan, tapi juga telah melambung sebagai salah satu "pusat kekuatan" baru di sekeliling Pak Harto. Ia punya kelompok, punya ide dan strategi untuk menggapai tujuannya. ICMI, kelompok BPPT, dan kelompok masyarakat lain yang sejalan berada di belakangnya. Untuk menjawab itu semua, wawancara dengan Habibie memberikan gambaran jelas. Mengapa ia banyak ditentang kolega-koleganya, bagaimana ia menghadapi semua itu dan melaksanakan tugasnya yang begitu banyak. Ia sudah siap tampil sebagai seorang negarawan yang mempunyai visi untuk masa depan Indonesia. Dengan sangat transparan ia juga mengaku siap menjadi wakil presiden bila dipilih rakyat dan dikehendaki Mandataris MPR. Untuk mengenal Habibie lebih jauh, bagian ketiga mengangkat siapa dia sebenarnya. Kecuali kelebihan dan kebolehannya, juga ditampilkan sisi kehidupan pribadinya. Bagaimana dekatnya hubungan Habibie dengan Pak Harto, sejak Habibie berusia 13 tahun di Makassar, sampai saat ini. Ia mengaku berguru kepada Presiden mengenai berbagai hal. Bagian terakhir Laporan Utama ini menekankan bagaimana Habibie mengelola dan melaksanakan tugasnya. Dari puluhan jabatan itu ia puya kiat-kiat khusus yang tampaknya diyakininya sebagai sangat tepat. Itulah Broer, panggilan akrab untuk Habibie. Ada yang senang, ada pula yang menyerang. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini