Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEGAWAI Sekretariat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat terkejut ketika sepuluh orang berompi Komisi Pemberantasan Korupsi mengetuk pintu. Belum ada kesibukan berarti saat para penyidik ini merangsek ke ruangan lantai satu Gedung Nusantara Dewan pada Jumat pagi pekan kedua Februari lalu.
Seorang petugas, agaknya pemimpin rombongan, memberi perintah kepada para anggota staf yang telah hadir pagi itu. "Mohon semua tetap pada posisi semula, jangan ada yang bergerak," katanya. Suaranya tegas. "Taruh semua handphone di atas meja." Seketika ruangan hening.
Para penyidik yang sudah memakai sarung tangan segera menyebar ke seluruh ruangan. Mereka membuka lemari dokumen, memeriksa komputer, dan memasukkan telepon seluler ke plastik. Hampir tak ada benda yang luput dari pengamatan mereka.
Tiba-tiba seorang anggota Badan Anggaran menerobos masuk. Ia memprotes tindakan para penyidik yang dianggapnya masuk tanpa izin. Ia mencoba mengusir. "Saya perintahkan Anda tetap berdiri di tempat," kata pemimpin rombongan itu. "Anda akan kami geledah juga." Mendengar itu, anggota Dewan ini mundur, balik badan.
Penggeledahan berlangsung sepuluh jam, dimulai pukul 10.00. Dari ruang sekretariat, penyidik bergeser ke ruang pemimpin kelengkapan Dewan yang bertugas menyusun anggaran negara itu di sebelahnya. Tak banyak dokumen ditemukan di ruangan 5 x 4 meter tersebut.
Rupanya, selain sepuluh penyidik ini, ada tim lain yang datang diam-diam. Lima penyidik sudah berada di lantai 19 gedung yang sama ketika penyidik lain masuk ke ruang sekretariat. Mereka juga memeriksa seluruh benda di ruangan 1932. Inilah ruang kerja Wa Ode Nurhayati.
Anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Amanat Nasional itu menjadi tersangka suap proyek Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, sepekan sebelumnya. Ia disangka menerima uang pelicin Rp 6 miliar sebagai imbalan meloloskan proyek di tiga kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam, yakni Aceh Besar, Bener Meriah, dan Pidie Jaya, serta Kabupaten Minahasa di Sulawesi Utara.
Penggeledahan baru kelar pukul 21.15. Ada enam dus berisi dokumen, tas jinjing, laptop, beberapa hard disk, dan satu unit komputer meja Dell Studio dari ruangan Nurhayati. Tak ada keterangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi setelah penggeledahan itu.
PERBURUAN Komisi terhadap bukti-bukti praktek calo anggaran negara oleh anggota Dewan sudah jauh dilakukan sebelum rame-rame Wa Ode Nurhayati jadi tersangka. Komisi antikorupsi itu bahkan sudah mengendus adanya mafia anggaran sejak awal tahun lalu.
Pucuk dicita ulam tiba, Nurhayati tiba-tiba mengungkapkan para calo anggaran itu tak lain anggota Badan Anggaran sendiri. Tudingan itu kian menggema ketika Nurhayati menjadi bintang tamu Mata Najwa, acara temu bincang di Metro TV, pada Mei tahun lalu.
Beberapa pekan kemudian, Komisi mengajak Wa Ode Nurhayati bertemu. Tempatnya di kafe lantai dasar kompleks apartemen Sudirman Park di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Empat petugas duduk melingkar menghadapi Nurhayati. Dua lainnya berjaga di pintu masuk. "Waktu itu dia ketakutan sekali," kata seorang yang ikut dalam pertemuan hingga subuh itu.
Nurhayati menyebutkan sejumlah nama anggota Dewan yang diduga doyan memainkan alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara. Saat itulah muncul nama empat pemimpin Badan Anggaran: Melchias Markus Mekeng, Olly Dondokambey, Mirwan Amir, dan Tamsil Linrung. Tapi bukti-bukti yang mengarah ke mereka masih minim.
Pada pertemuan itu, Nurhayati mengeluarkan peraturan Menteri Keuangan yang memuat daerah-daerah yang mendapat dana infrastruktur dari APBN 2011. Ia mencentang daerah yang menyetor suap ke suatu partai. "Kalau mau lengkap, datanya ada di laptop di ruang sekretariat Badan Anggaran," kata Nurhayati, seperti dituturkan sumber yang sama. Petunjuk itu tak segera ditindaklanjuti. Selain belum ada tersangka, waktu itu tuduhan Nurhayati masih sumir.
Selain mengungkapkan nama pemimpin Badan Anggaran, Nurhayati menyebutkan Nudirman Munir, politikus Golkar yang dulu menjabat Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR. Menurut Nurhayati, melalui sekretarisnya, Nudirman pernah meminta imbalan untuk meloloskan anggaran. Nurhayati menampik tawaran itu.
Tak terima dituduh Nurhayati, lima politikus ini menyerang balik. Nudirman dan Mekeng meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan membongkar rekening Nurhayati. "Dia yang terima uang suap dari pengusaha," kata Nudirman.
Sebagai anggota Badan, Nurhayati juga berhubungan dengan daerah yang mendapat duit alokasi APBN. Namun, ketika dimintai keterangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Nurhayati menyangkal terlibat dalam bagi-bagi jatah.
Tapi ia tak bisa berkelit. Laporan tranÂsaksi justru diterbitkan PPATK. Ada empat nama yang disebut: Wa Ode Nurhayati, Bahar, Andi Haris Surahman, dan Sefa Yolanda. Andi Haris adalah orang yang mengaku menyetor Rp 6,75 miliar untuk Nurhayati. Kader Golkar Sulawesi Selatan ini meminta Nurhayati memuluskan permintaan dana infrastruktur untuk empat daerah itu.
Sefa adalah sekretaris Nurhayati. Haris mengaku menyerahkan uang suap untuk Nurhayati melalui Sefa. Ia memegang bukti-bukti penyerahan yang sudah ia laporkan ke Badan Kehormatan. Sedangkan Bahar mengaku korban Nurhayati yang sudah menyetorkan uang tapi daerah yang diajukannya tak masuk daftar penerima yang disetujui Kementerian Keuangan.
Laporan transaksi dari PPATK itu menyebutkan ada 21 aliran dana dari dan ke rekening Nurhayati. Setiap transaksi jumlahnya dari Rp 500 juta hingga Rp 4,95 miliar. Namun transaksi-transaksi itu masuk kategori "tak mencurigakan". PPATK justru menyebutkan 2.103 transaksi aneh yang dilakukan sejumlah anggota Badan Anggaran.
Rupanya, laporan yang dikirim ke KPK punya versi lain. Selain jumlah transaksi lebih banyak, duit-duit yang keluar-masuk rekening Nurhayati berkategori mencurigakan karena tak ada penjelasan asal-usul dan tujuan transaksi.
Diam-diam KPK juga memanggil beberapa saksi yang mengaku menyetorkan sejumlah uang kepada Nurhayati untuk mendapatkan dana infrastruktur. Berbekal sejumlah bukti itu, Komisi lalu menetapkan Wa Ode Nurhayati, yang awalnya saksi pelapor, menjadi tersangka calo anggaran.
Dengan pertimbangan data terus berubah dan kasus ini sudah mencuat ke publik, KPK mengirim 15 penyidiknya menggeledah ruang Badan Anggaran. Targetnya: laptop yang disebut Nurhayati menyimpan jatah setoran untuk anggota Badan.
BUKTI yang dihimpun dan dianalisis penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan bahwa Wa Ode Nurhayati memang terlibat aktif dalam transfer sejumlah duit. Seorang sumber menuturkan, "Transaksi mereka sangat kasar dan kotor."
Transaksi itu hanya terjadi di satu bank, yakni Bank Mandiri cabang gedung DPR, pada sekitar Oktober-November 2010. Ini waktu menjelang selesainya pembahasan APBN perubahan, yang hasilnya disahkan dalam rapat paripurna. Sebelum APBN itu disahkan, Badan Anggaran membahas usulan-usulan daerah untuk mendapatkan uang total Rp 7,7 triliun tersebut.
Haris menarik sejumlah uang dari rekeningnya, kemudian dimasukkan ke rekening Sefa, lalu ditarik lagi untuk dimasukkan ke rekening Nurhayati dengan penyetor atas namanya. "Uang itu sama sekali tak disentuh, tapi keluar-masuk ke pelbagai rekening," kata sumber ini.
Bukti itulah yang kian menguatkan peran Nurhayati dalam kasus suap ini. Sebelumnya, dia selalu menyangkal jika disebut menerima uang suap dari Haris. Sedangkan Haris dengan yakin menuding Nurhayati telah menerima uangnya melalui Sefa Yolanda.
Duit Rp 6,75 miliar diberikan dalam beberapa tahap. Belakangan empat daerah yang diminta Haris itu, yang rencananya masing-masing mendapat Rp 40 miliar, tak muncul dalam daftar Kementerian Keuangan. Karena itu, Haris meminta uang dikembalikan. Sefa baru mentransfer ulang sebesar Rp 2 miliar.
Melalui pengacaranya, Mohamad Iskandar, Wa Ode Nurhayati menyangkal cerita dan bukti itu. Menurut dia, 21 transaksi di rekening Nurhayati itu transaksi bisnis semata. "Kalau terjadinya di Bank Mandiri DPR, karena Bu Nurhayati hanya punya satu-satunya rekening di sana," katanya.
Duit miliaran rupiah itu transaksi harian Nurhayati, yang punya kios konfeksi di pusat grosir tekstil Tanah Abang. Nurhayati, menurut Iskandar, sering memasok pakaian jadi dalam jumlah besar ke Merauke, Papua. "Keluarganya tinggal di sana," katanya.
Menurut Iskandar, yang juga asal Sulawesi Tenggara, perempuan 31 tahun itu sudah berbisnis sejak kuliah karena mewarisi bakat dagang ayahnya. Pakaian jadi yang dijual toko Nurhayati bermerek ODR, singkatan nama ayahnya, Ode Rane. Karena itu, Iskandar yakin kliennya tak akan terjerat tuduhan penyuapan.
Sebaliknya, Nurhayati menegaskan bahwa mafia anggaran sebenar-benarnya adalah para pemimpin Badan Anggaran. Setelah diperiksa, Selasa pekan lalu, ia kembali menyebutkan peran Mekeng, Tamsil, Olly, dan Mirwan. "Mereka itu yang punya kewenangan memutuskan daerah mana yang mendapat dana infrastruktur," kata Iskandar.
Kepada KPK, Nurhayati memberikan bukti berupa surat Kementerian Keuangan yang diteken pimpinan DPR yang diusulkan pimpinan Badan Anggaran. Dalam pelbagai kesempatan, keempat politikus itu sudah menyangkal tuduhan Nurhayati. "Kami tak ada urusan dengan tuduhan itu," kata Mekeng.
Sebaliknya, Komisi Pemberantasan Korupsi kian yakin Wa Ode Nurhayati berada dalam pusaran rasuah ini. Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., mengatakan kasus Nurhayati akan dikembangkan dengan pemeriksaan kepada orang-orang yang disebutnya "mafia anggaran".
Bagja Hidayat, Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo