Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bau amis menggelitiki bulu hidung. Namun empat pria yang bekerja di rumah Sukiran, warga Pacitan, cuek saja. Dengan cekatan, mereka memisahkan daging dan kulit dari duri ikan tuna. Dalam sehari, tiga-lima ton tuna disayat-sayat sehingga didapat irisan daging tanpa tulang atau filet. Daging itu kemudian dimasukkan ke mesin giling dan dicampur tepung tapioka, plus bumbu bawang putih, garam, merica, dan penyedap rasa. Jadilah adonan kenyal yang siap dimasukkan ke dalam tahu.
Kini giliran pekerja perempuan turun tangan untuk memasukkan adonan ke dalam tahu kulit yang sudah dibelah bagian tengahnya. Agar adonan matang, tahu dengan selipan daging tuna itu direbus dengan tungku besar berisi air mendidih yang sudah dibumbui. Kali ini tenaga pria kembali beraksi. ''Biar adonan matang dan tahu lebih gurih," kata Dwi Santoso, 24 tahun, salah satu pekerja.
Beres direbus dan ditiriskan, tahu tuna pun dibawa ke ruang pendingin. Sejumlah kipas angin menderu-deru di sini. Setelah dingin, barulah tahu tuna dikemas dalam plastik berlabel Eza Mandiri dan siap dipasarkan.
"Sejak 2011, ada agen saya yang mengirim tahu tuna ke Singapura," kata Sukiran, si empunya produk tahu tuna, saat ditemui Tempo di rumahnya, Selasa dua pekan lalu. Agen di Jakarta rata-rata mengambil 200-300 bungkus per dua pekan. Warga lingkungan Teleng, Kelurahan Sidoharjo, Pacitan, ini tak pernah menduga usahanya akan berkembang seperti sekarang. Kini, dalam sehari, omzetnya Rp 20-25 juta.
Selain dari tahu tuna, fulus didapat dari berbagai olahan lain berbahan ikan tuna, seperti bakso, nuget, otak-otak, lumpia, sosis, dan pangsit tuna. Selain tahu tuna dan bakso, proses produksinya dikerjakan kelompok binaan Sukiran. Mereka mendapatkan bahan baku dan resep dari Pak Ran—begitu Sukiran biasa dipanggil—lalu setelah jadi dikirim kembali ke Pak Ran. Kini, ada 100-an mitra atau agen penjualan produk Pak Ran. Mereka tersebar di Jakarta, Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya, Malang, dan Bali.
Sebelum membuat tahu tuna, pada 2007 pria kelahiran Ngawi ini berjualan ikan bakar dan pepes bersama istrinya, Sri Sumiati. Saban hari, dengan sepeda motor Suzuki RC-100 miliknya, Pak Ran berkeliling menjajakan dagangannya. Sumiati juga berkeliling dengan sepeda anginnya. Warga perumahan Asabri di lingkungan Barehan, Kelurahan Ploso, dan Teleng menjadi pasarnya. Selain berjualan ikan keliling, Pak Ran sering bekerja sebagai kuli bangunan dan kuli angkut di tempat pelelangan ikan di pelabuhan perikanan Pantai Tamperan, Pacitan.
Saat menjadi kuli angkut inilah, pada 2009, ayah Mohammad Reza Abidin ini melihat besarnya peningkatan tangkapan ikan tuna oleh para nelayan. Lonjakan itu terjadi seiring dengan masuknya nelayan yang menggunakan kapal bermesin besar dari luar daerah, seperti Sinjai, Sulawesi Selatan, dan Pekalongan, Jawa Tengah, ke Tamperan. Dari situlah Pak Ran terpikir untuk membuat olahan makanan dan camilan berbahan ikan tuna. ''Ikannya besar-besar, eman (sayang) kalau dijual dengan dibakar atau dipepes,'' ujarnya.
Lalu terbetiklah ide membuat tahu berisi adonan ikan tuna. Untuk mewujudkannya, ia pun berbelanja tahu ke pasar. Kala itu, dengan uang Rp 5.000, Pak Ran bisa membawa pulang 36 potong tahu kulit. Ia juga membeli satu kilogram tepung tapioka Rp 3.500. Ihwal berapa ikan tuna yang dibutuhkan, Pak Ran mengaku lupa. Yang masih diingat, satu kilogram ikan tuna ketika itu bisa ditebus dengan harga sekitar Rp 5.000. Modal tambahan beberapa ribu rupiah ia pakai untuk membeli bumbu.
Ke-36 tahu itu dia olah menjadi tahu tuna yang dikemas menjadi enam bungkus. Eh, respons konsumen bagus. Enam bungkus langsung habis. Pada hari kedua dan seterusnya, jumlahnya ditambah dan langsung ludes. Produksi tahu tuna terus meningkat setelah ia berhasil menembus pasar Surabaya dan Madiun. Ia pun mulai merekrut pekerja dari kalangan tetangga. Produk tahu tuna yang kemudian diberi nama Eza Mandiri ini semakin meroket setelah ada bantuan berupa satu unit alat penggiling daging ikan dan pengaduk adonan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Oktober 2010. Kini, dalam sehari, 35 pekerjanya bisa merampungkan 2.500 bungkus tahu tuna.
Hingga kini proses produksi tahu tuna berjalan lancar. Pak Ran mengatakan pasokan bahan baku beserta bumbunya tak ada masalah. Para pemasok berkomitmen menyetor bahan baku, termasuk saat paceklik ikan. "Kalau ikan tuna di sini sepi, pengepul akan mencarikan ke daerah lain," katanya.
Sebagai pionir pembuat tahu tuna di Pacitan, Pak Ran kini tingggal memetik hasilnya. Aset pribadi pria 43 tahun ini sekitar Rp 2 miliar. Selain rumah dan beberapa petak tanah, garasi di rumahnya dihuni mobil Toyota Kijang Innova dan Toyota Hilux.
Cita rasa tahu tuna Pak Ran yang maknyus ini diakui Lutfi. Setahun belakangan, warga Bubudan, Surabaya, ini kepincut pada tahu tuna yang sudah menjadi oleh-oleh khas Pacitan tersebut. Setidaknya, dua pekan sekali, karyawan di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sudimoro, Pacitan, ini menyempatkan diri membeli tahu tuna. Jika tak sempat beli langsung ke rumah Pak Ran, pria 42 tahun ini menitip ke teman kantor yang tinggal di Kecamatan Pacitan. "Rata-rata sepuluh bungkus setiap kali beli. Kalau mau dibawa pulang ke Surabaya, belinya lebih banyak,'' ujar bapak dua anak yang kini tinggal di Ngadirojo, Pacitan, ini. "Tiap kali ke Surabaya, keluarga menanyakan tahu tuna Pak Ran."
Berkah tahu tuna tak hanya dinikmati Pak Ran. Salah satu penghasil produk serupa yang kini sukses adalah Marsiyah, 39 tahun, juga warga lingkungan Teleng, Pacitan. Bersama suaminya, Budiyono, 44 tahun, dalam sehari ia bisa menghasilkan 120 bungkus tahu tuna. Selain dijual di rumah, produknya dikirim ke agen di Surabaya dan Jakarta. Dari usaha yang ditekuni sejak 2013 itu, keduanya bisa mengantongi omzet Rp 18 juta per bulan. Untuk membuat tahu tuna, pasangan ini dibantu empat pekerja.
"Sekarang usaha tahu tuna semakin lancar," kata Marsiyah, yang mengaku bersemangat menekuni usaha ini setelah melihat usaha Pak Ran sukses. Agar usahanya tidak mandek, jika paceklik ikan tuna, Budiyono mencari ikan ke daerah lain, seperti Trenggalek dan Tulungagung.
Sukiran dan Marsiyah hanyalah dua dari 53 pelaku usaha pengolahan ikan tuna di Pacitan. Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan Yunus Hariyadi, puluhan pelaku usaha kecil dan menengah itu tersebar di 12 kecamatan. Namun mayoritas berada di Kecamatan Pacitan. Berdasarkan catatan Dinas Kelautan, produsen makanan olahan ikan tuna hanya menyerap sekitar lima persen ikan tuna tangkapan nelayan. Pada 2013, sekadar gambaran, jumlah ikan tuna tangkapan nelayan sebanyak 4.024 ton, dan yang digunakan untuk bahan baku beberapa jenis komoditas makanan olahan hanya 246 ton. "Masih banyak yang dijual segar dan dikirim ke pabrik pengolahan di Pasuruan untuk pasar ekspor," kata Yunus.
Untuk mengembangkan usaha tahu tuna dan makanan lain berbahan baku serupa, Dinas Kelautan akan memfasilitasi agar produksi rumahan itu memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Apalagi sebagian besar produk dijual dalam keadaan beku. Saat ini mereka baru memiliki izin pangan industri rumah tangga. Jika ada izin dari BPOM, mantan Kepala Kantor Ketahanan Pangan Pacitan ini optimistis produk mereka bisa masuk ke pasar swalayan.
Dwi Wiyana, Nofika Dian Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo