Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA -- Tindakan pelaku pasar yang bersikap antisipatif terhadap rilis data tenaga kerja Amerika Serikat menyebabkan pasar modal dalam negeri marak dilanda aksi jual pada Jumat pekan lalu. Indeks harga saham gabungan (IHSG) pun ditutup naik tipis 1,61 poin (0,03 persen) ke level 4.937,18.
Analis dari PT OSO Securities, Mohammad Alfi Syahr, mengatakan pelaku pasar mencemaskan data non-farm payrolls yang diprediksi kembali meningkat. "Pasalnya, bila data non-farm payrolls, yang menjadi salah satu indikator utama kebijakan moneter longgar, semakin bertumbuh, maka Amerika bersiap menaikkan suku bunga acuannya."
Investor asing pun dikhawatirkan mengalihkan aliran dananya ke pasar keuangan Amerika. Departemen tenaga kerja Amerika melaporkan data non-farm payrolls pada Mei tumbuh 217 ribu orang, melampaui prediksi mayoritas analis. Pertumbuhan ini melengkapi empat bulan kenaikan secara berturut-turut angka tenaga kerja Amerika sejak 2000. Tingkat pengangguran pun diprediksi berada pada level 6,3 persen.
Fakta tersebut mungkin akan membuat bank sentral Amerika (The Fed) mulai mempertimbangkan rencana kenaikan suku bunga. Sebab, agar kinerja perekonomian dapat terus tumbuh signifikan, The Fed memang harus mulai mengurangi likuiditas yang beredar dengan menerapkan kebijakan suku bunga ketat.
Tentu saja, hal ini akan menjadi sentimen negatif indeks pada awal pekan. Investor asing yang mulai mewanti-wanti kenaikan suku bunga di Amerika diyakini akan melanjutkan aksi melepas saham di lantai bursa, terutama pada sektor perbankan.
Pelaku pasar disarankan memperhatikan sektor saham konsumsi dan retail seperti UNVR, KLBF, MAPI, dan MPPA. "Karena aksi jual kemungkinan berlanjut, indeks hanya akan bergerak dalam level 4.900-4.960," tutur Alfi. PDAT | MEGEL JEKSON
Tren Rupiah Masih Melemah
JAKARTA - Ancaman meningkatnya defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan membuat rupiah belum terlepas dari tekanan. Ekonom PT Bank International Indonesia, Juniman, memperkirakan rupiah pekan ini berada pada tren pelemahan. Setelah data neraca perdagangan pekan lalu menunjukkan defisit US$ 1,9 miliar, pasar khawatir defisit transaksi berjalan akan semakin membengkak. "Defisit transaksi berjalan di kuartal II 2014 bisa mencapai 3,9 persen dari produk domestik bruto."
Proyeksi itu hampir dua kali lipat dibanding defisit transaksi berjalan pada kuartal pertama yang tercatat 2,1 persen. Kondisi defisit neraca berjalan mengindikasikan lebih banyak dolar AS yang keluar ketimbang dolar AS yang masuk sehingga mata uang tertekan. Akhir pekan lalu, rupiah ditutup pada level 11.838 per dolar AS atau melemah 162 poin (1,39 persen) dibanding pada akhir pekan sebelumnya pada level 11.676 per dolar AS.
Menurut Juniman, penguatan rupiah yang terjadi pada akhir pekan lalu lebih disebabkan oleh dolar yang sedang melemah. Tindakan bank sentral Eropa (ECB) memangkas suku bunga acuan dan meningkatkan stimulus membuat risk appetite pasar meningkat. "Pasar pun meninggalkan dolar dan berani membeli aset-aset yang lebih berisiko, termasuk rupiah."
Namun, sentimen itu hanya berlangsung sementara karena dolar diperkirakan kembali menguat pada awal pekan, seiring dengan membaiknya data tenaga kerja Amerika. Berkurangnya tingkat pengangguran akan membuat bank sentral Amerika semakin cepat menghabiskan stimulus moneternya dan menaikkan suku bunga acuan mulai pertengahan tahun depan.
Juniman memperkirakan, sampai akhir Juni, rupiah masih berpotensi melemah pada posisi 11.800-11.900 per dolar AS. Kecuali ada kejutan dari keputusan bank sentral Amerika atau hasil pemilu presiden, sulit bagi rupiah untuk menguat tajam. "Pelemahan rupiah sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi yang memang sedang melambat." PDAT | M. AZHAR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo