Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemberian izin pengelolaan sumber daya alam kepada perguruan tinggi membuat kampus kewalahan.
IPB pernah gagal mengelola izin HPH di Riau.
Pemberian izin tambang ke kampus bisa merusak muruah pendidikan.
PENGELOLAAN tambang oleh perguruan tinggi tidaklah mudah. Usaha tambang merupakan bisnis jangka panjang, sehingga kampus harus memiliki modal besar jika berkeinginan mengelolanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Divisi Kampanye Industri Ekstraktif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Hadi Jatmiko mengatakan perguruan tinggi tidak akan mampu mengelola pertambangan. Dia menilai bisnis tambang merupakan bisnis jangka panjang dan bermodal besar, sehingga keadaan itu malah berpeluang memindahkan status pengelolaannya kepada swasta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Akhirnya konsesi dijadikan jualan oleh kampus. Itu (hak pengelolaan) diambil lagi oleh perusahaan tambang,” ujar Hadi saat dihubungi pada Kamis, 23 Januari 2025. “Ini jadi 'jebakan Batman' untuk kampus.”
Pemberian hak kelola tambang kepada perguruan tinggi muncul dalam revisi keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan RUU Minerba menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna kedua pada Kamis, 23 Januari 2025.
Dalam draf terakhir revisi RUU Minerba disisipkan Pasal 51A. Menurut isi pasal tersebut, wilayah izin usaha pertambangan mineral logam atau batu bara dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.
Hadi mengatakan pemberian izin pengelolaan sumber daya alam justru membuat kampus kewalahan. Dia mencontohkan kegagalan kampus ketika diberi izin hak pengusahaan hutan (HPH) pada era Orde Baru. Presiden Soeharto kala itu memberikan hak tersebut agar kampus dapat menambah penghasilan untuk menutup biaya operasional kampus.
Salah satu kampus yang mendapatkan HPH adalah Institut Pertanian Bogor (IPB). Hadi menyebutkan, IPB mendapatkan izin HPH untuk mengelola kayu di kawasan hutan di Riau, tapi gagal. Ia menuturkan, IPB pada 1987 mengajak perusahaan swasta untuk mengelolanya dengan sistem bagi hasil.
Kerja sama itu malah membuat status pengelolaan yang dimiliki IPB turun dari HPH yang berada di kawasan hutan menjadi area penggunaan lain (APL). “Dari mengelola kayu menjadi perkebunan kelapa sawit,” ujar Hadi.
Cerita Hadi ini mirip laporan yang ditulis majalah Tempo edisi 19 April 1999 berjudul "Kampus Masuk Hutan". Menurut laporan itu, 38 perguruan tinggi mendapat jatah 300 ribu hektare lahan HPH. Tujuannya agar kampus secara finansial bisa lebih mandiri.
Kampus masuk hutan sebetulnya tidak asing di Indonesia. Sejak 1974, beberapa perguruan tinggi yang punya fakultas kehutanan, seperti IPB, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Mulawarman di Samarinda, Kalimantan Timur, sudah mendapatkan HPH.
Namun tidak semua pakar kehutanan disebut mampu menjalankan pengelolaan HPH. IPB, contohnya. Karena masih asing dengan bisnis itu, HPH mereka di Riau tidak dikelola. Akhirnya, pada 1987, pengelolaan hutan diserahkan ke sebuah perusahaan HPH dengan sistem bagi hasil. IPB hanya mendapat Rp 24 juta setahun. Dengan hasil itu, mustahil untuk memandirikan kampus.
Masih dari laporan itu, nasib serupa terjadi pada HPH milik UGM yang ada di Jambi. HPH diperoleh pada 1970, tapi baru 10 tahun kemudian lahan seluas 50 ribu hektare itu dikelola. Itu pun dilakukan bersama perusahaan HPH. Karena tidak cocok, kerja sama berakhir pada 1995.
Meski begitu, dari hasil tersebut, UGM bisa menyimpan dana abadi di Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. Bagaimana dengan jumlahnya? "Ya, ada 'm'-nya lah (maksudnya miliar)," ujar Dekan Fakultas Kehutanan UGM saat itu, Sambas Sabarnurdin. Dari bunga dana abadi Rp 150 juta per tahun, fakultas bisa melakukan berbagai penelitian.
Hadi mengatakan kampus harus melihat dan bersikap kritis terhadap wilayah konsesi yang diberikan pemerintah. Bisa saja wilayah yang diberikan merupakan bekas konsesi tambang perusahaan yang melakukan kerusakan lingkungan tapi tidak melaksanakan pemulihan. “Nanti kampus yang dijadikan tumbal dengan kerusakan lingkungan yang terjadi,” ujarnya.
Tempo belum mendapatkan konfirmasi dan tanggapan dari IPB ihwal HPH yang dimiliki kampus Dramaga itu kala era Orde Baru. Rektor IPB University Arif Satria belum membalas pertanyaan hingga berita ini ditulis.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) Togar M. Simatupang memberikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, 23 Januari 2025. Antara/Tri Meilani Ameliya
Menanggapi hal tersebut, Ketua Lembaga Studi Jurusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang Perdana Wiratraman juga mengatakan tidak yakin kampus siap mengelola tambang. Sebab, kampus saat ini terseok-seok dalam mengelola pendidikan. Kampus menghadapi banyak masalah akibat kebijakan pemerintah.
“Kebijakan pemerintah kuat sentralisasinya. Ada pula pembirokrasian, pendisiplinan, dan masalah gaji. Mengurusi pendidikan saja enggak tuntas, apalagi mengurus tambang,” tuturnya saat dihubungi, Kamis, 23 Januari 2025. Herlambang mengingatkan para perumus kebijakan agar kembali melihat tujuan pendidikan. Sebab, menurut dia, rencana memberikan izin tambang kepada kampus itu merusak muruah pendidikan.
Adapun Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Togar M. Simatupang mengatakan perlu ada kajian mulai dari kelayakan studi, regulasi, hingga implementasi jika kampus diberi hak pengelolaan tambang. Sebab, tambang merupakan bisnis yang berdampak besar bagi lingkungan dan masyarakat. “Harus ada kajian matang lebih dulu,” kata Togar saat dihubungi, Kamis, 23 Januari 2025. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo