MESIN perang digelar di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, 1-12 November ini. Suara gemuruh empat pesawat tempur F-16 milik TNI AU yang diluncurkan dari Lanud Madiun dan tiga pesawat F-5 Tiger membelah udara. Dari perut sembilan Hercules dimuntahkan ribuan pasukan payung lintas udara Kostrad. Ribuan prajurit didaratkan dari 24 kapal yang merapat di Selat Madura. Di darat, polisi dan pasukan lainnya yang didukung 12 tank AMX memperkuat seluruh kekuatan ABRI untuk menggempur musuh. Mohon tidak panik. Musuh yang digempur sekitar 14 ribu pasukan dari keempat angkatan ABRI itu sebenarnya tak ada. Sebab, "serbuan" yang dibuka Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno Ahad lalu itu hanya latihan perang-perangan. Manuver lapangan dilakukan di empat kecamatan Kabupaten Situbondo. Dan baru kali ini latgab (latihan gabungan) mengikutsertakan polisi. Lihat, misalnya, tiga polwan diterjunkan dengan anjing pelacaknya untuk mengendus bom yang ditanam musuh. Kebetulan dalam latgab yang diikuti lebih dari 700 polisi itu juga digelar pola operasi keamanan dalam negeri, meringkus musuh di tengah rakyat. Padahal latihan semacam ini biasanya hanya memainkan pola operasi menangkis serbuan musuh dari luar. Ini pula yang membuat latihan ini benar-benar gabungan. Kecuali melibatkan empat angkatan ABRI, materi latihan yang terdiri atas 15 jenis operasi pun gabungan. Melumpuhkan kerusuhan di dalam negeri sekaligus menangkis serangan musuh dari luar. Operasi yang dijajal, misalnya, kamtibmas, sandi yudha, amfibi, dan lintas udara. Untuk itu dibuatlah skenario gangguan keamanan. Alkisah, semula Indonesia dalam keadaan aman dan tertib alias tata tentrem. Tapi tiba-tiba meletuslah pemberontakan di Situbondo. Pemberontak tak hanya menghunus parang dan celurit. Mereka bersenjata modern dan bahkan mendapatkan dukungan pasukan asing yang masuk lewat udara dan laut. Tugas ABRI, tentu, harus menumpas pemberontak dan mematahkan pasukan asing itu. Untuk itu ABRI all out bergerak di laut, udara, dan darat. Walau ada skenario, kata Mayjen R. Hartono, direktur latgab itu, "Ini bukan sandiwara." Maksudnya, para prajurit tak boleh main-main karena perang-perangan itu memakai peluru tajam dan persenjataan sungguhan. Latihan itu tentu bak gladi resik menghadapi kerusuhan benaran. Namun Pangdam V Brawijaya Hartono tak mau latgab ini dikait-kaitkan sebagai latihan menjelang Sidang Umum MPR Maret nanti seandainya ada perusuh. Latihan ini, katanya, digunakan sekadar untuk meningkatkan siaga operasional dan menguji komando, kendali, koordinasi, dan informasi, serta piranti lunak yang sudah dimiliki selama ini. Evaluasi diadakan menjelang tahun terakhir Rencana Strategis (Renstra) IV -- semacam Pelita -- Pertahanan dan Keamanan. Dibandingkan dengan latgab sebelumnya, misalnya di Sukabumi, 1988, yang cuma melibatkan 4.000 orang, yang di Situbondo ini terbesar. Namun, kata Mayjen Hartono, "Ini tak bisa disebut show of force." Jumlah 14 ribu personel hanya sebagian kecil dari 500 ribu kekuatan ABRI. Acara latihan akbar yang, menurut R. Hartono, makan biaya milyaran rupiah itu -- sayang, ia tak menyebut angkanya -- tentu akan menarik perhatian masyarakat. Namun, bagi penduduk Situbondo, latihan ini bukan tontonan bak film action. Mereka harus diungsikan agar tak terkena peluru nyasar. Jalan raya Situbondo-Banyuwangi, jalur utama ke Bali, terpaksa ditutup. Diah Purnomowati dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini