Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengingatkan Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM) memastikan independensi seluruh anggota tim pemeriksa pelanggaran disiplin kepegawaian guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Edy Meiyanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemeriksaan pelanggaran disiplin itu berhubungan dengan status kepegawaian Edy sebagai aparatur sipil negara. Rektor UGM telah memecat pelaku setelah terbukti bersalah. Pelaku melanggar kode etik dosen dan Pasal 3 Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UGM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Komisioner Komnas Perempuan, Devi Rahayu mengatakan Komnas mendengar pembentukan tim yang memeriksa pelanggaran disiplin Edy Meiyanto sebagai ASN berisikan pejabat kampus di lingkungan UGM. Selain itu Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual juga terlibat dalam pemeriksaan. Tidak ada pemeriksaan ulang terhadap korban dan hanya kepada pelaku menyangkut syarat formalitas.
Pembentukan tim itu mengacu pada Peraturan Pemerintah No 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). UGM, kata Devi harus memastikan tidak ada konflik kepentingan anggota tim, misalnya pemeriksa dan pelaku memiliki relasi sebagai rekan sejawat. Dia khawatir konflik kepentingan dengan tendensi tertentu karena faktor kolega dekat akan mempengaruhi pengambilan keputusan. “Untuk menjamin keputusan yang benar-benar adil dan tidak berpihak pada pelaku,” kata Devi dihubungi Tempo, Sabtu, 12 April 2025.
UGM patut mempertimbangkan pihak luar UGM yang yang bekerja secara independen dan kompeten. Dia mencontohkan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu ditangani Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Terdapat pihak di luar penyelenggara pemilu yang melakukan penilaian.
Komnas Perempuan mengapresiasi kebijakan Rektor UGM yang memecat pelaku sebagai dosen karena melanggar kode etik dosen, meski belum ada tuntutan pidana dan belum ada putusan pengadilan. “Itu tindakan tegas sebagai pimpinan atas tindakan pelanggaran dosen,” katanya.
Sebelumnya, Inspektur Jenderal Kemendiktisaintek, Chatarina Muliana Girsang mengatakan kementerian telah menugaskan UGM untuk membentuk tim pemeriksa yang beranggotakan atasan guru besar Fakultas Farmasi Edy Meiyanto. Kementerian menurut dia telah meminta pimpinan UGM memastikan tidak ada konflik kepentingan antara tim pemeriksa dengan orang yang diperiksa.
“Yang penting perlu dipastikan independensi tim oleh pimpinan UGM,” kata Chatarina dihubungi Tempo, Rabu, 10 April 2025.
Pimpinan UGM, kata Chatarina telah berkoordinasi dengan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus tersebut untuk memastikan tidak ada keberatan terhadap penunjukan anggota tim pemeriksa di lingkungan kampus. Penunjukan tim itu menurutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sesuai aturan itu kewenangan kementerian bersifat terbatas terhadap kampus sehingga semua anggota tim berasal dari UGM.
Dalam proses pencopotan status ASN, kementerian mengacu pada Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 6 Tahun 2022, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 94. Chatarina menargetkan tim pemeriksa UGM selesai bekerja sebelum pekan keempat April 2025. “Kami harap sebelum akhir April sudah ada keputusan,” kata Chatarina.
Sekretaris Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Andi Sandi Antonius mengatakan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Togar Simatupang sejak 26 Maret telah mengeluarkan surat pembentukan tim pemeriksa pelanggaran disiplin setelah UGM mengajukan tim itu. Surat itu merujuk pada keputusan menteri.
Andi menyebutkan pihak Rektorat UGM merespons surat kementerian dan mendiskusikannya pada hari pertama pegawai negeri sipil masuk kantor setelah libur lebaran. Dia menjelaskan proses pembentukan tim pemeriksa melalui surat keputusan rektor. Setelah itu, tim pemeriksa bekerja dan menyampaikan hasilnya kepada rektor. Lalu rektor menyampaikan hasil rekomendasi tim pemeriksa ke kementerian.
Tim yang dibentuk melalui surat keputusan rektor beranggotakan atasan Edy yakni dekan atau ketua departemen, direktorat sumber daya manusia, dan satuan pengawas internal. Menurut Andi, rekomendasi pencabutan status sebagai aparatur sipil negara maupun gelar profesor ada pada Kementerian Pendidikan Tinggi.
Andi belum menyebutkan durasi waktu tim pemeriksa bekerja dan waktu penyampaian hasil rekomendasi. “Saya belum bisa sampaikan waktunya,” ujarnya.
Majalah Tempo edisi 31 Maret-6 April 2025 menerbitkan tulisan berjudul Gelagat Cabul Profesor Pembimbing yang menjelaskan kasus kekerasan oleh Edy Meiyanto. Edy dituduh melecehkan mahasiswa S1 hingga S3 saat menjalani bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi. Peristiwa itu berlangsung di kampus, rumah Edy di kawasan Minomartani, Sleman, dan sejumlah lokasi penelitian.
Jumlah korban yang melapor ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ada 15 mahasiswa. Tapi, ada beberapa kasus kekerasan verbal yang menurut korban tidak masuk daftar Satgas PPKS. Total kasus dalam kertas kerja yang dilaporkan korban ada 33 kejadian. Sejumlah korban bahkan mengalami kekerasan lebih dari satu kali. “Kampus kini tak perlu menutupi lagi. Semua orang juga sudah tahu,” kata salah seorang korban kepada Tempo.
Pemecatan sebagai dosen UGM itu, kata korban melegakan karena mereka tidak ingin korban semakin bertambah di Fakultas Farmasi. Para alumni Fakultas Farmasi yang menjadi korban menyambut baik pemecatan itu. Sebagian, kata dia mengekspresikannya dengan mengunggah pemberitaan media massa di akun media sosial mereka. “Kami merasa kuat karena banyak dukungan dari luar UGM dan ramai,” katanya.
Sebagian korban menurut dia kini menunggu kepastian sanksi pencabutan status PNS. Lewat pencopotan status PNS itu, korban berharap menimbulkan efek jera pelaku dan membatasi peluangnya menyasar korban lainnya.
Tempo dua kali mendatangi rumah Edy Meiyanto di kawasan Minomartani, Sleman untuk meminta konfirmasi mengenai tuduhan para korban. Namun, tak ada satu pun penghuni rumah muncul membukakan pintu. Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara ke rumahnya. Edy juga tak membalas pesan permintaan wawancara yang dikirim ke nomor teleponnya.