MENGAJAR anak pintar tak seV lamanya lancar. Anak-anak jenius itu sering memerlukan perlakuan khusus. Namun, berdasarkan studi dan percobaan, perlakuan istimewa pun tak selamanya bisa membantu mereka. Bila dikumpulkan dalam kelas khusus, mereka sering mendapatkan kesulitan dalam sosialisasi. Sebaliknya, kalau dicampur dengan siswa kebanyakan, anak cerdas itu bisa tak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Tak jarang mereka lantas bosan dan bertingkah, sehingga mengganggu teman-teman sekelasnya. Karena itu, para ahli kebanyakan sepaham bahwa diperlukan program, metode, dan media tersendiri yang mampu mengantarkan anak-anak berotak brilyan itu. Kebetulan, berkenaan dengan pekan peringatan Hari Anak Nasional, majalah populer ilmu dan teknologi Aku Tahu mengadakan seminar tentang "Pengembangan Anak Jenius". Seminar yang berlangsung di gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu pekan lalu itu menampilkan pembicara Mely G. Tan. Singgih D. Gunarsa, dan Conny Semiawan. Seminar itu antara lain membahas percobaan selama ini dan menawarkan berbagai alternatif untuk mengangkat si anak pintar. Conny Semiawan, misalnya, mengajukan alternatif pendidikan dengan model yang disebutnya "integrasi fungsional". Yang dimaksud adalah perpaduan antara program kelas khusus dan kelas campuran. Para siswa yang punya inteligensi tinggi tetap dicampur dengan siswa kebanyakan. Hanya saja, kepada anak-anak "unggul" itu diberikan perlakuan yang lebih khusus. Misalnya, seusai pelajaran, mereka diberikan "pengayaan materi tambahan". Ini, kata Conny, akan memungkinkan semua anak mensosialisasikan dirinya sendiri. Untuk itu, katanya, memang dibutuhkan tenaga guru yang profesional. Dan untuk setiap kelas yang berjumlah 40 siswa, paling banyak hanya boleh disisipkan 5 siswa jenius. Conny, yang juga Rektor IKIP Negeri Jakarta, agaknya memang punya alasan mengungkap masalah itu. Dengan makalah berjudul "Peran Pendidikan Dalam Pengembangan Manusia Unggul Conny memberikan contoh percobaan di Sekolah Laboratorium IKIP Negeri Jakarta --kini disebut SMA 81. Di situ, katanya, anak-anak unggul diberi kesempatan khusus. Anak-anak pintar disuruh mengikuti pelajaran tambahan sebagai "pengayaan" hingga sore hari. Dengan begitu, mereka dapat menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah dalam tempo 10 tahun, yakni SD 5 tahun, SMP 3 tahun, dan SMA 2 tahun. "Dan mereka tidak loncat kelas," .katanya. Ini dibenarkan oleh Boyke Kemara Putra, 15 tahun, dan Anton Suharyanto, 16 tahun. Siswa yang kini mengikuti program "SMA 2 tahun" itu belajar bersama rekan sekelasnya yang lain dalam "program SMA 3 tahun". Sore hari, mereka harus bergelut denan pelajaran semester berikutnya. "Memang berat belajar sampai sore," kata Anton. Cita-citanya ialah menjadi ahli pesawat terbang. "Tapi semua pelajaran itu saya tekuni dengan senang hati." Maka, Mely G. Tan dari LIPI, yang menyampaikan makalah berjudul "Manusia Berbakat dan Pembaharu", mengajukan kritik. Pengayaan tambahan itu mestinya jangan sampai menjadi beban. Soalnya, anak akan bisa berbalik dan kemudian membenci program khusus yangdipaksakan. Pendek kata, pengembangan anak-anak pintar itu cukuplah dilakukan secara wajar-wajar saja. Supaya anak-anak juga tidak menganggap dirinya lebih. Sebab, kata Mely menambahkan. kalau sampai mereka merasa "jagoan", itu berbahaya. Mereka semakin merasa "dikelaskan". Contohnya adalah sebuah kelas uji coba yang terdiri dari anak-anak berinteligensi tinggi yang pernah ada di Jakarta. Sampai-sampai mereka membuat kaus khusus bertuliskan We are the genius. Boleh jadi, yang dimaksudkan adalah kelas program khusus Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P dan K, tahun 1982. Waktu itu BP3K merintis program pendidikan anak berbakat. Uji coba dilakukan di SMA I, SMA 68, dan SMA PPSP (kini disebut SMA 81) - ketiganya di Jakarta -- serta SMA Negeri Cianjur. Selain itu, juga ada SMP I dan SMP II Cianjur, serta tiga SMP I, SMP 126, dan SMP PSPP di Jakarta. Program ternyata tak berumur panjang dan kemudian dihapus. Penutupan proyek uji coba itu, menurut Conny, lebih disebabkan oleh kekurangan dana dari Departemen P dan K sendiri. Namun, menurut sumber TEMPO, ada pula yang mengatakan bahwa program itu tak terlalu berhasil karena, dalam pelaksanaan, sering terlalu gampang mendiagnosa anak pintar. Ada pula anak tak cerdas yang bisa lolos masuk kelompok jenius ini. Jadi, program khusus bagi anak cerdas itu kini tinggal "pengayaan materi" yang ada di Sekolah Laboratorium Kependidikan IKIP Jakarta. Jauh sebelumnya, Prof. Lewis M. Terman dari Universitas Stanford, AS, juga sudah pernah melakukan penelitian terhadap 1.528 anak cerdas yang punya intelligence quotient (IQ) 135--14{) menurut skala Stanford-Binet. Hasilnya, di antara anak jenius itu ada yang berhasil menjadi direktur laboratorium nuklir, sutradara film terkenal, atau peneliti jagoan. Tapi ada pula yang cuma menjadi tukang pos, juru tulis, dan pedagang kecil yang baik. Artinya, IQ tinggi tak menjamin masa depan yang cerah, sukses, dan menjadi seseorang yang punya peran penting. Ada juga, seperti dikemukakan Singgih D. Gunarsa, tidak sedikit anak-anak jenius itu justru terempas karena tak mendapat kesempatan mengaktualisasikan dirinya. Sebaliknya, ada pula anak yang semula dikenal "dungu" tapi tiba-tiba menggetarkan dunia karena karyanya. Ilmuwan seperti Albert Einstein termasuk salah satu contoh manusia jenis- ini. Penemu teori relativitas itu semula dikenal sebagai anak bodoh (lihat Einstein dan Dua Tangan Kiri). Jadi, untuk menghadapi anak cerdas, tak cukup cuma tahu atau mengikuti perkembangannya saja. Yang lebih penting adalah sejauh mana kepiawaian para pendidik menggali potensi muridnya. Hingga kini, para ahli memang belum menemukan jalan paling baik. Berbagai penelitian masih diteruskan. Alternatif yang ditawarkan Conny pun, seperti dikatakannya pada TEMPO, tetap punya dampak negatif, yakni membuat anak-anak cerdas bersikap sombong dan merasa dirinya unggul. "Tapi itulah rasanya kini yang baik," katanya.Agus Basri dan Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini