SIAPAKAH yang menentukan lulus tidaknya calon mahasiswa perguruan tinggi negeri? Kini para rektor dari 43 perguruan tinggi negeri (PTN) boleh tepuk dada: merekalah para penentu. Itulah salah satu hal yang oleh beberapa rektor yang sempat diwawancarai TEMPO dinyatakan sebagai "hal yang positif' dari diubahnya Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, yang populer disebut Sipenmaru, menjadi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), yang pertama kali dilaksanakan tahun ini. Dulu, di tahun-tahun sebelumnya, wewenang lebih berada di pusat, di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi kata Dr. Ir. Iman Soengkono sekretaris panitia ujian di Bandung (lihat Menuju Desenfralisasi Komplet). Maka, bila Selasa pekan ini 83.480 calon atau 17% dari sekitar 475 .000 peserta diumumkan lulus ujian masuk, ada sesuatu yang lain yang diharapkan dari angka itu. Untuk tahun kuliah baru 1989 ini (dan seterusnya), diharapkan para mahasiswa baru itu lebih "dekat" dengan perguruan tinggi yang menerimanya, dan sebaliknya. Yakni agar perguruan tinggi negeri "berakar" dalam lingkungannya. Kata Prof. Dr. Mattulada, Rektor Universitas Tadulako, Palu, kini 80% bangku untuk mahasiswa baru di universitasnya diprioritaskan untuk lulusan SMTA (Sekolah Menengah Tingkat Atas) Palu dan sekitarnya. Jangan salah paham, itu bukan dengan niat memupuk rasa provinsialistis. Ada tujuan Jangka pulang yang tampaknya menjadi sasaran, meski ini tak secara jelas disebutkan oleh para rektor maupun pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Yakni menciptakan benang merah antara SMTA dan PTN setempat. Adapun harapannya, kata Mattulada pula, agar pihak PTN ikut memikirkan kualitas sekolah lanjutan di sekitar kampus. Adapun bentuk pemikiran itu memang masih belum jelas benar. Salah satu kemungkinannya, meniru yang sudah dilakukan oleh IPB, Bogor. Yakni memberikan umpan balik kepada sekolah asal para mahasiswa IPB, mala pelajaran mana yang perlu dikembangkan, umpamanya. Tampaknya, tujuan itu masuk akal. Sebab, mengembangkan PTN dan SMTA di seluruh Indonesia lewat sentralisasi ternyata sulit. Soalnya, mutu dan keadaan tiap lembaga pendidikan itu berbeda-beda. Diharapkan, dengan pengelolaan dan pengembangan secara desentralisasi, peningkatan mutu baik PTN-nya maupun SMTA di sekitar PTN tersebut lebih mudah dicapai. Perbedaan mutu dan kondisi PTN dan SMTA itu jugalah yang menjadi salah satu pertimbangan diubahnya sistem ujian masuk PTN kini, yang memberi wewenang lebih besar kepada rektor masing-masing. Bila kini UMPTN masih dikelompokkan dalam bga rayon, itu semata karena banyak PTN yang menyatakan belum siap. Dari rapat rektor PTN seluruh Indonesia di Hotel Wisata, Jakarta, pekan lalu, diperoleh kabar bahwa tahun depan jumlah rayon akan diperbanyak, hingga nanti tiap PT sendirilah yang menyelenggarakan ujian masuk. Penilaian secara sentral lewat ujian masuk PTN terpusat - baik yang disebut Sipenmaru maupun sistem sebelumnya, yang dinamakan Proyek Perintis - memang bisa rancu. Umpamanya, pernah pada tahull 1982, ketika tes masuk perguruan tinggi masih disebut Proyek Perintis, diadakan pengamatan kecil-kecilan untuk mengetahui kualitas lulusan SMTA. Waktu itu diperoleh hasil, dari sekitar 200.000 peserta tes Proyek Perintis I (kelompok 10 perguruan tinggi yang dianggap terbaik) diperoleh nilai rata-rata 52. Angka tertinggi, bila seorang peserta menjawab benar semua soal, waktu itu 180. Tak seorang pun berhasil memperoleh angka tertinggi itu. Hanya satu atau dua orang yang mencapai nilai 146. Seterusnya, hanya 100 orang yang memperoleh nilai 145 sampai 80. Pertanyaannya kemudian, adakah angka-angka itu bisa dijadikan pegangan buat menilai kualitas lulusan SMTA. Sulit. Gampangnya saja, seorang dari SMA di Palu yang mendapat nilai 100, dibandingkan dengan seorang dari sebuah SMA favorit di Jakarta yang memperoleh nilai 140, tak lalu bisa disimpulkan yang dari Palu lebih bodoh. Menurut Andi Hakim Nasoetion - waktu itu masih Rektor IPB kepada TEMPO, soal tes Proyek Perintis meski sudah dibuat sedemikian rupa, masih condong mencerminkan banyaknya pengetahuan daripada potensi kecerdasan yang dimiliki peserta. Hal itu memang sudah disadari sejak dulu. Itu sebabnya bila standar nilai untuk tiap-tiap PTN, meski ujian diselenggarakan terpusat, berbeda. Misalnya, bila ITB mencantumkan nilai minimal untuk calon mahasiswanya 80, banyak PTN di luar Jawa menentukan angka minimal itu hanya 60. Perbedaan standar itu akan otomatis dipertajam bila sistem desentralisasi sudah berjalan sepenuhnya. Yang pasti, dengan sistem UMPTN, kini tiap rektor dapat membuat aturan main sendiri, yang dianggapnya bisa menguntungkan pengembangan perguruan tingginya. Sekadar contoh, untuk penerimaan mahasiswa baru tahun depan, UGM akan mempercayakan alumninya untuk menyeleksi calon-calon mahasiswa baru tanpa tes. Mereka diminta mencari bibit-bibit yang dianggap bagus, untuk kemudian diajukan kepada rektor UGM. Upaya menjaring melalui alumni ini, kata Rektor UGM Koesnadi Hardjasoemantri, sebagai pengganti Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) yang tak lagi diselenggarakan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi. Yang pasti, umumnya para rektor menyambut baik UMPTN. Sistem yang baru ini memberikan kedudukan yang wajar kepada rektor, kata Koesnadi. "Ini suatu kemajuan," kata Suyudi, Rektor Universitas Indonesia, "bahwa perguruan tinggi diberi hak otonomi." Otonomi itu nanti, katanya, bahkan akan sampai ke soal mengatur keuangan sendiri. Sebuah harapan untuk meningkatkan mutu pendidikan kita, yang memang masih perlu ditunggu hasilnya, karena menyangkut pula disiplin pelaksanaannya. Misalnya saja, "Jangan ada rektor yang lalu menyalahgunakan wewenang dalam UMPTN," kata Prof. Dr. Soedarso Djojonegoro, Rektor Universitas Airlangga, Surabaya.Agus Basri, Mukhizardy Mukhtar, I Made Suarjana, dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini