Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan atau Kemenkes Imran Pambudi menjelaskan sampai saat ini ada empat jenis penularan spora antraks kepada manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, kata dia, antraks yang menginfeksi kulit akibat spora antraks menempel di luka terbuka, kedua antraks menginfeksi kulit akibat spora antraks masuk melalui suntikan, lalu antraks pencernaan akibat mengonsumsi daging sapi terinfeksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Lalu yang paling berat itu (antraks) tipe pernapasan, case fatality rate-nya sampai 80 persen. Ini yang membuat penderitanya cepat meninggal," ujar Imran dalam webinar yang digelar Kementerian Kesehatan, Kamis, 6 Juli 2023.
Dalam banyak kasus, Imran menyebut bakteri antraks yang masuk ke paru-paru juga menjalar ke selaput otak. Hal ini membuat infeksinya menjadi meningitis antraks.
Antraks tak bisa hilang
Sementara itu, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Nuryani Zainudin, menyebut penyakit antraks bukan penyakit yang dapat dibebaskan dari suatu daerah. Hal ini diakibatkan spora antraks dapat bertahan di tanah hingga puluhan tahun.
Salah satu tempat di Indonesia yang menjadi lokasi endemi dan tak bisa dibebaskan dari antraks adalah Gunungkidul, Yogyakarta.
"Gunungkidul memang endemis antraks. Ketika tidak ditangani dengan baik, maka akan terus menerus (berlanjut) kasusnya," ujar Nuryani.
Ia menjelaskan Kementerian Pertanian sudah rutin membagikan vaksin antraks gratis untuk hewan ternak di kawasan Gunungkidul. Namun karena spora antrax yang masih bertahan di tanah dan kebiasaan masyarakat setempat membagikan daging hewan ternak yang mati tanpa disembelih, membuat penularan kawasan itu berisiko tinggi terpapar antraks.
Lebih lanjut, Imran menjelaskan hampir setiap tahunnya ada laporan kasus penyakit antrax yang menular ke manusia di Yogyakarta. Seperti pada 2016 ada 16 kasus, 2017 ada 4 kasus, 2019 ada 31 kasus, 2020 ada 3 kasus, 2022 ada 23 kasus, dan pada 2023 ada 9 kasus dengan 3 di antaranya meninggal.
"Di 2023 baru ada kematian. Satu dinyatakan suspect karena sudah ada hasil lab-nya dan dua belum sempat karena keburu meninggal. Tapi dari hasil investigasi, gejala ada, punya riwayat kontak dengan sapi yang mati karena antraks," kata Imran.
Tiga warga yang tewas itu berada di Gunungkidul, Yogyakarta. Mereka meninggal akibat terpapar bakteri antraks setelah mengonsumsi 3 daging sapi dan kambing yang mati mendadak. Mereka menggali kembali kuburan sapi yang mati tersebut dan mengonsumsinya secara beramai-ramai.
Lebih lanjut, Imran menyebut pada kasus sebelumnya masyarakat yang terinfeksi hanya menunjukkan gejala gatal-gatal karena bakteri hanya mengenai kulit. Namun untuk saat ini, bakteri diduga sudah masuk ke bagian pernapasan dan menginfeksi otak.
Kini, Kemenkes gencar mengimbau masyarakat untuk berhati-hati serta menyiagakan semua fasilitas kesehatan di Yogyakarta untuk pengobatan antrax. Menurut dia, spora antrax bisa terbang ke daerah lain. Apa lagi Yogyakarta baru mengalami gempa bumi pada pekan lalu dan risiko perpindahan masyarakat cukup banyak.
Saat ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melakukan pemantauan pada sedikitnya 23 warga yang diketahui bergejala akibat positif antraks. Dari temuan Dinas Kabupaten Gunungkidul, sedikitnya terdapat 85 warga yang positif, bukan 87 seperti yang dilaporkan, dan mayoritas tidak bergejala.
Adapun 125 warga yang ikut menyembelih dan mengonsumsi daging sapi yang positif antraks itu telah diambil sampel darahnya untuk diperiksa lebih lanjut di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Yogyakarta. Dari hasil pemeriksaan, diketahui 85 warga positif antraks, dan yang bergejala ada 18 orang.
Warga yang diambil sampel darahnya mengalami gejala luka-luka khas antraks. Ada juga yang mengalami diare, mual, pusing, dan sebagainya. Untuk mereka yang bergejala maupun tidak, tetap mendapatkan antibiotik sebagai penanganan. "Namun demikian, tidak ada warga yang harus dirawat di RS karena bergejala," kata Kepala Dinkes Gunungkidul Dewi Irawaty.
Pilihan Editor: Kementrian Pertanian Sebut Bakteri Antraks di Gunung Kidul Sulit Dihilangkan, Ini Penyebabnya