SARWONO Kusumaatmadja pernah berolok-olok bahwa kebulatan tekad itu sudah menjadi "kultur". Maksudnya? "Ya, kultur politik kebulatan tekad," katanya. Becanda atau tidak, pendapat Sarwono, yang kini Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara itu, ada benarnya. Apalagi menjelang pemilihan umum dan sidang umum MPR, itulah saatnya musim untuk membuat "pernyataan kebulatan tekad" telah tiba. Jadi, apa yang dilakukan oleh Ketua Partai Persatuan Pembangunan Ismail Hasan Metareum, yang mencalonkan lagi Pak Harto sebagai Presiden RI 1993-1998 mendatang -- sekalipun forum yang memutuskan itu ada di Sidang Umum MPR 1993 -- sebenarnya tak terlalu mengagetkan. Sebelumnya sudah tercatat ada hampir 1.000 kiai (di belakang mereka sekitar 100.000 santri) yang menandatangani pernyataan kebulatan tekad mendukung Pak Harto supaya dipilih lagi menjadi presiden 1993-1998. Pemrakarsanya adalah Kiai Badri Masduki dan Saleh Al Djufri, keduanya dari Jawa Timur. Belum lagi kebulatan tekad yang diikrarkan oleh Kelompok 21 (terdiri dari tokoh-tokoh muslim) yang diprakarsai oleh H. Alamsjah Ratu Perwiranegara. Atau wasiat mendiang Kiai As'ad Syamsul Arifin. Isinya, ya, apalagi kalau bukan mendukung Pak Harto sebagai kepala negara untuk periode mendatang. Hal seperti ini juga terjadi di masa lalu. Wakil Ketua MPR Soeprapto mungkin masih ingat bagaimana kesibukannya menjelang Sidang Umum MPR 1988 lalu. Beberapa bulan menjelang sidang, hampir setiap hari ia menerima pernyataan kebulatan tekad dari sejumlah organisasi massa. Gejala ini oleh bekas Gubernur DKI itu dilihatnya sebagai bentuk kebebasan berprakarsa yang bebas dan suka rela. "Hal itu muncul setelah menyaksikan keberhasilan pembangunan di bawah kepemimpinan Pak Harto. Juga merupakan keinginan mensyukuri, dan bukan merupakan gejala apa-apa," kata Soeprapto ketika itu. Pada masa lalu, Ali Moertopo disebut-sebut paling kreatif menendang "bola salju" kebulatan tekad bagi Pak Harto. Setahun sebelum Pemilu 1982, Ali Moertopo yang ketika itu menjadi Menteri Penerangan melontarkan gagasan memberikan gelar "Bapak Pembangunan" kepada Presiden Soeharto. Bola disambut dengan gegap-gempita. Menjelang Sidang Umum MPR 1983, ada ide kreatif yakni membuat lencana bergambar Pak Harto. Lencana bulat itu bertuliskan: Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia, untuk Presiden RI 1983-1988. Gagasan untuk membuat lencana ini juga datang dari Ali Moertopo. Ide ini lalu digarap Abdul Gafur (ketika itu Menteri Muda Urusan Pemuda dan Olahraga) dengan menggerakkan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Lencana yang dirancang di kantor KNPI itu dipesan dari Negeri Belanda. Ada sekitar 14.000 lencana yang kemudian dibagi-bagikan gratis, sekitar Oktober 1982. Bahkan Ali Moertopo mendapat kehormatan sebagai orang pertama yang disemati lencana itu oleh Ketua Umum DPP KNPI (ketika itu) Aulia Rachman. Rekayasa kebulatan tekad ini kemudian mencapai puncaknya pada SU-MPR 1983. F-PDI, kecuali menjagokan Pak Harto sebagai presiden, juga mengusulkan agar gelar "Bapak Pembangunan" dimasukkan dalam Ketetapan MPR tersendiri. Tapi empat fraksi lainnya, termasuk pemrakarsanya Ali Moertopo, menghendaki cukup dicantumkan dalam Ketetapan MPR tentang Pertanggungjawaban Mandataris. Target dicapai: Pak Harto terpilih lagi dan MPR memberinya gelar "Bapak Pembangunan". Menjelang Sidang Umum MPR 1978 dan 1973, tampaknya "musim" kebulatan tekad belum merebak ke permukaan. Keyakinan sangat kuat bahwa Pak Harto bakal terpilih lagi sebagai presiden. Apalagi Golkar punya mesin "Tri-Sukses" yang digerakkan Ali Moertopo yang mampu mengamankan semua itu. Bahkan, pada saat kampanye Pemilu 1977 dan 1971, Golkar sudah menampilkan Pak Harto sebagai calon presiden. Cara ini, kata Cosmas Batubara ketika itu, lebih fair karena pemilih dapat memilih calon mandataris sekaligus programnya. Tapi itu Golkar yang dulu. Golkar yang "tak malu-malu" menampilkan jagonya. Pekan ini, dalam rapat pimpinan menjelang Pemilu 1992, ia akan mennbicarakan calonnya. "Dielus-elus saja dulu. Tunggu waktu yang tepat (untuk diumumkan)," kata Ketua DPP Golkar M. Soegeng Widjaja. Riwayat Pak Harto bisa naik ke pentas paling tinggi di republik ini tampaknya memang tak lepas dari dukungan banyak orang. Dalam Sidang Umum V MPRS tahun 1968 ada mosi Achmad Sukarmawidjaja dkk. Salah satu isi klausul dari mosi itu ialah agar MPRS mengangkat Jenderal Soeharto -- waktu itu sebagai penjabat presiden -- menjadi presiden penuh. Pada 13 Februari 1968, mosi itu diterima dengan aklamasi. Namun, bagaimana sikap Pak Harto sendiri terhadap pernyataan-pernyataan kebulatan tekad yang kadang datangnya bertubi-tubi itu? Soal ini pernah diungkapkan Pak Harto pada perayaan HUT Golkar, Oktober 1986, di Balai Sidang Senayan, Jakarta. "Saudara-saudara pun harus mengetahui, setiap saya mendengar pernyataan-pernyataan itu, terus terang saja saya merasa miris (ngeri), berdiri bulu roma saya," katanya. "Miris karena mengetahui tugas yang berat yang ada di depan kita itu." Dengan atau tanpa pernyataan kebulatan tekad, nampaknya Pak Harto hampir pasti dipilih MPR untuk masa jabatan 1993-1998. Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU, melihat bahwa kebulatan tekad yang sekarang ini lebih dipengaruhi faktor persaingan intern tiap-tiap kelompok. "Menampilkan yang lebih pro-Soeharto dari yang lain," katanya. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini