Ada usul agar masa jabatan presiden, setelah Pak Harto, dibatasi dua kali saja, seperti gubernur. Bung Karno dan Pak Harto dianggap orang "luar biasa". DI mata Prof. Sri Soemantri Martosoewignyo, ada sejumlah persamaan antara Presiden RI pertama dan kedua, Bung Karno dan Pak Harto. Kedua pemimpin itu dikenal dekat dengan rakyat, sama-sama menjabat presiden lebih dari 20 tahun, dan sama-sama "luar biasa". "Beliau berdua merupakan tokoh sejarah," kata guru besar ilmu hukum di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu. Bung Karno adalah pengibar proklamasi kemerdekaan RI, sedangkan Pak Harto penyelamat republik ini dari cengkeraman komunis dan pemimpin pembangunan. Maka, Prof. Soemantri tak heran kedua pemimpin itu mendapat mandat untuk kurun yang panjang. "Kalau presidennya orang biasa, dalam arti tak punya klasifikasi seperti Bung Karno dan Pak Harto, pembatasan masa jabatan itu saya kira perlu dipikirkan," ujar Soemantri. Ide pembatasan periode jabatan presiden sebetulnya bukan hal yang baru. Prof. Ismail Suny, ahli hukum tata negara UI, mengklaim telah melontarkan gagasan itu di tengah Sidang MPRS 1968, pada awal Orde Baru. Ketika itu, Suny mengusulkan agar masa jabatan presiden paling banyak dua kali. "Tapi ide saya tak mendapat sambutan," kata bekas anggota MPRS itu kepada Andy Reza Rohadian dari TEMPO. Gagasan ini cukup lama tenggelam dan baru muncul kembali pada 1977, dalam sebuah seminar yang diadakan UI. Hasilnya: usul masa jabatan presiden dibatasi dua kali. Rumusan itu sempat dikirim kepada Ketua MPR, sebelum kembali tenggelam. Gagasan semacam itu bangkit kembali pada akhir tahun 1980-an, sejalan dengan bertiupnya isu keterbukaan. Namun, usul-usul itu baru dikemukakan sebagai ide-ide perseorangan. Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada) boleh disebut sebagai lembaga yang memelopori promosi ide itu. Ketika dimintai pendapatnya oleh pimpinan MPR, Kagama bersuara lantang: "masa jabatan presiden semestinya dibatasi dua periode." Suara UGM ini dirumuskan oleh satu tim yang disebut "Walisongo" dan mulai terdengar awal tahun lalu. Dalam membahas soal "peka" itu, Tim Walisongo itu mengacu ke sumber hukum yang paling pokok, UUD '45. Dalam pasal 7 UUD '45 disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya bisa dipilih kembali. Artinya, masa jabatan presiden tak ada batasnya. Namun, menurut Herqutanto Sosronegoro, anggota Tim Walisongo, pasal ini bisa mendatangkan ekses, tak ada jaminan pergantian pemimpin secara teratur. Prof. Soemantri mendukung usul dari koleganya di UGM. Dia menganggap bahwa batas jabatan maksimum 2 x 5 tahun paling pas. Kalau hanya lima tahun, menurut Soemantri, seorang presiden yang berprestasi tak punya waktu lagi melanjutkan program-programnya yang telah diamanatkan GBHN. Kalau tiga kali, ada anggapan itu terlalu panjang. "Bisa menumbuhkan gejala kultus individu," kata Dr. Loekman Soetrisno dari UGM Yogya. Problem masa jabatan presiden itu, kata Soemantri, pernah dihadapi oleh negeri kampiun demokrasi Amerika Serikat. Alhasil, Franklin Delano Roosevelt berhasil memenangkan pemilihan presiden empat kali. Dengan kampanyenya memerangi resesi, Roosevelt terpilih sebagai presiden ke-32 AS. Pada periode jabatan pertama, jago Partai Demokrat itu dinilai berhasil. Resesi berangsur reda. Nama Roosevelt berkibar. Sarjana hukum lulusan Universitas Colombia itu terpilih untuk kedua kalinya pada 1937. Pada pemilihan 1941, dia menang lagi. Namanya makin menjulang karena Roosevelt dianggap berhasil membawa Amerika menuju tangga kemenangan di Perang Dunia II. Maka, dia terpilih untuk keempat kalinya awal 1945, ketika kondisi kesehatannya telah menurun. Namun, masa jabatan keempat itu tak lama dijalaninya. Ia meninggal April 1945, pada usia 63 tahun. Sepeninggal Roosevelt, timbul perdebatan ramai tentang pembatasan masa jabatan. Ada pro dan kontra. Namun, konstitusi Amerika tak tegas melarang presiden menjabat empat atau lima kali. Akhirnya dilakukan amendemen. Hasilnya, "Masa jabatan dibatasi hanya dua kali," kata Soemantri. Negeri tetangga Filipina bertahun-tahun mengalami hal yang sama. Tak ada pembatasan tentang masa jabatan presiden, sampai akhirnya revolusi People Power, di bawah pimpinan Ny. Cory Aquino mengubah tatanan lama. Konstitusi baru Filipina, yang dibuat 1986, membatasi masa bakti presiden hanya sekali, selama enam tahun. Di Indonesia, pembatasan masa jabatan hanya tampak jelas di jajaran kepala daerah. Herqutanto, yang baru pensiun sebagai dosen di Fisipol UGM itu, menunjuk UU No. 5/1974, tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Pasal 7 UU itu menyebutkan bahwa kepala daerah diangkat untuk masa jabatan lima tahun, dan dapat diangkat lagi, hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Betapapun aturan "main" maksimum dua kali masa jabatan itu lazim berlaku di kalangan kepala daerah, ada yang beranggapan bahwa itu berbahaya jika diterapkan di tingkat pimpinan nasional. Alasannya sering terdengar: demi kesinambungan pembangunan. Herqutanto tidak menyangkal soal ini. Namun, kesinambungan pembangunan dan pembatasan masa jabatan presiden, katanya, tak perlu dipertentangkan. Anggota Tim Walisongo itu melihat bahwa pembangunan jangka panjang tahap pertama sudah menunjukkan hasilnya. Tatanan kehidupan politik terlihat mulai mapan. Perencanaan pembangunan tersusun rapi. Maka, untuk tahap berikutnya, pergantian pimpinan nasional tak akan menimbulkan gejolak, dan tak perlu mengganggu kesinambungan pembangunan. "Saat lepas landas nanti, sudah saatnya demokrasi diwujudkan secara nyata," katanya. Kendati masa jabatan presiden tak diatur secara jelas, Herqutanto, juga Ismail Sun dan Sri Soemantri, tak melihatnya sebagai cacat pada UUD '45. "Undang-undang dasar memang lazimnya mengatur hal yang pokok-pokok saja," kata Herqutanto. Untuk mendapatkan landasan hukum bagi pembatasan masa jabatan itu, pasal-pasal UUD '45 tak perlu diubah. "Cukup dengar ketetapan MPR," tambahnya. Wakil Ketua DPR/MPR, Saiful Sulun, memandang upaya pembatasan masa jabatan presiden itu tak perlu dilakukan. Dia menganggap aturan main dalam UUD '45 sudah cukup jelas dan memberikan jaminan demokrasi. "Presiden mau dipilih dua kali, tiga kali, empat kali, atau berkali-kali, kalau itu memang kehendak rakyat, ya harus diikuti," ujarnya kepada Sri Indrayati dari TEMPO. Bekas Panglima Kodam Brawijaya itu makin tak akur jika di balik usul pembatasan masa jabatan itu tersembunyi maksud memagari kesempatan Pak Harto melanjutkan tugas sebagai mandataris MPR karena anggapan bahwa usianya terlalu lanjut. Saiful Sulun berpendapat bahwa Pak Harto masih cukup sehat untuk dipilih kembali dalam sidang Umum MPR 1993. Bahkan, untuk memangku tugas mandataris di tahun 1998 pun, menurut Saiful, Pak Harto, yang lahir tahun 1921, masih sanggup. "Di usia 77 tahun nanti, Pak Harto akan lebih bijaksana, dan masih steady," katanya. Terhadap usul Kagama itu, Saiful enggan berkomentar banyak. "Kagama itu hanya sebagian kecil dari rakyat. Pokoknya, serahkan saja hal ini kepada MPR," ujarnya. Herqutanto menolak jika usul Kagama itu dicurigai sebagai ikhtiar membatasi kesempatan Pak Harto. "Kami tak punya rasa dengki, benci, atau iri kepada Presiden," ujarnya. Kagama, kata Herqutanto, melansir usul itu (tentang masa jabatan presiden yang dibatasi dua periode) karena menganggap Pak Harto bisa membantu merealisasikannya. "Kami ingin melihat keberhasilan beliau lengkap," tambahnya. Maksudnya, para wakil rakyat di MPR harus sepakat dulu untuk menetapkan pembatasan berapa kali seseorang bisa dipilih lagi sebagai mandataris MPR setelah periode Pak Harto. Putut Trihusodo (Jakarta), Riza Sofyat (Bandung), dan R. Fadjri (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini