Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Renungan menjelang periode keenam

Ppp mencalonkan pak harto sebagai presiden periode 1993-1998. sebelumnya kebulatan tekad datang dari sejumlah ormas dan ulama. istilah tsb dipopulerkan alm.ali moertopo.golkar dan pdi belum mencalonkan.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pak Harto mendapat dukungan kuat untuk menjadi presiden 1993-1998. Ia mengaku sudah tua. Demi kehendak rakyat, ia siap melaksanakannya. Memang tak ada calon lain yang berani tampil. ENTAH bagaimana perasaan Pak Harto sekarang ini. Setelah 25 tahun menjadi kepala negara, nampaknya tugas beliau belum lagi akan usai. Barangkali, masa istirahat menikmati hari tua dan bercanda dengan cucu-cucunya belum lagi akan datang. Semakin dekat saat-saat akhir masa jabatan kelima ini, makin kencang pula suara-suara masyarakat yang meminta Pak Harto bersedia dicalonkan lagi menjadi presiden periode 1993-1998. Adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pagi-pagi sudah tegas menyatakan akan mencalonkan lagi Pak Harto melalui fraksinya di MPR nanti. Senin pekan ini, Ketua DPP PPP Ismail Hasan Metareum mengadakan jumpa pers untuk menjelaskan soal usulan PPP itu. Sebelumnya, pekan lalu, bagai tak sabar menunggu gerak partainya, Sekjen DPP PPP Matori Abdul Djalil sudah menyiarkan lewat pers soal pencalonan Pak Harto. Barangkali perasaan Pak Harto galau mendengar pencalonan ini. Usianya kini sudah melewati 70 tahun. Kalau nanti masa jabatannya berakhir di tahun 1993, usia Kepala Negara yang dilahirkan di Kemusuk, Argomulyo, Godean, sebelah barat Kota Yogya, hampir 72 tahun. Lima tahun lalu, ketika dicalonkan kembali untuk masa jabatan kelima oleh Golkar dalam Rapim Golkar di Balai Sidang Senayan, Jakarta, Pak Harto sempat mengucapkan kata miris untuk menggambarkan isi hatinya. "Saudara-saudara pun harus mengetahui, setiap saya mendengar pernyataan-pernyataan (pencalonan -- - Red.), terus terang saja saya merasa miris (ngeri), berdiri bulu roma saya," kata Pak Harto yang ketika itu berusia 65 tahun. Bahkan, dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Pak Harto seakan mengisyaratkan periode ini adalah yang terakhir untuknya. "Jadi, rasanya tak berlebihan kalau dikatakan pelantikan pada tanggal 11 Maret 1988 itu merupakan pelantikan sebagai Presiden/Mandataris MPR yang terakhir buat saya," kata Pak Harto dalam bukunya. Pelantikan itu dihadiri putra-putri Pak Harto, yang untuk pertama kalinya melihat pelantikan ayahandanya dari dekat. " Bahwasanya di antara anak-anak saya ada yang menyatakan pelantikan kali ini (1988) merupakan pelantikan terakhir sebagai presiden buat saya, itu bisa dimaklumi. Dilihat dari segi rasio manusia, memang pada usia saya yang akan mencapai 67 tahun ini pantas saja pelantikan ini yang terakhir buat saya," tulis Pak Harto dalam otobiografi terbitan tahun 1988 tadi. Toh dukungan terus mengalir. Seolah segala bentuk isyarat yang dilempar Pak Harto tentang keterbatasannya tak digubris. Yang perlu dicatat, PPP adalah orsospol peserta pemilu pertama yang mencalonkan Pak Harto. Jumlah ormas yang senada dengan PPP sudah banyak. Awal Oktober lalu, Syarikat Islam Sumatera Utara menyatakan kebulatan tekad mendukung Pak Harto. Nahdlatul Ulama (NU), seperti diungkapkan Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar H.A. Chalid Mawardi, juga menyatakan menyokong penuh. Kendati ini baru pernyataan pribadi Chalid, boleh dibilang pada umumnya itulah suara para kiai di NU. Dalam Konperensi Besar dan Munas Alim Ulama di Lampung -- rencananya akan berlangsung pada Januari 1992 -- NU sebagai organisasi sosial keagamaan akan memproses usulan pencalonan Pak Harto itu kepada fraksi-fraksi di MPR nanti. Jauh hari sebelumnya, pada September 1989, 21 ulama mengeluarkan "Sikap Bersama Umat Islam Indonesia". Isinya menginginkan Pak Harto menjabat satu masa jabatan lagi. Ulama yang bergabung di sini tak tanggung-tanggung, mulai dari bekas Menko Kesra Alamsjah Ratu Perwiranegara, bekas Wakil Ketua PP Muhammadiyah Lukman Harun dan Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri, dan tokoh NU seperti Kiai Haji Ali Yafie. Sikap ini didukung pula oleh K.H. Misbach, Ketua MUI Jawa Timur. Bahkan, Kiai Misbach bersama imam masjid agung Ampel Surabaya merestui upaya dr. Haji Saleh Al Djufri dari Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam Sunan Ampel Surabaya, yang mengumpulkan tanda tangan kiai untuk mendukung Pak Harto. Sampai pekan lalu, Saleh Al Djufri sudah berhasil mengumpulkan sekitar 700 tanda tangan. Jumlah ini memang belum beranjak jauh dari awal Juli tahun lalu, ketika "proyek tanda tangan kiai" itu dimulai. K.H. Badri Masduki, 51 tahun, pimpinan Pondok Pesantren Badrijjuda di Kraksaan, Probolinggo, sudah berhasil mengumpulkan sekitar 1.000 tanda tangan para kiai di Jawa Timur. Maksudnya sama saja: mendukung kembali Pak Harto untuk jabatan presiden mendatang. Jumlah yang dikumpulkan keponakan ulama besar almarhum K.H. As'ad Syamsul Arifin ini akan terus bertambah. Kabarnya, banyak kiai yang mendatanginya di Kraksaan dan ikut tanda tangan. Jelas, pamor Kiai As'ad, ulama yang sebelum wafatnya sempat menitip wasiat agar Pak Harto dipilih lagi, ikut berperan. Apakah para kiai itu direkayasa untuk bergerak mencalonkan Pak Harto? Ketua PPP Ismail Hasan Metareum tak setuju dengan istilah rekayasa itu. "Ini namanya usul dan boleh dilakukan kapan saja," ujar Buya Ismail. Agaknya, memang sulit membendung arus dari bawah yang sudah telanjur gandrung pada Pak Harto. Desakan kuat para kiai itulah yang antara lain memaksa PPP jauh-jauh hari harus mengumumkan nama calon presiden. "Agar para kiai dan pendukung PPP merasa aman dengan pencalonan Pak Harto ini," ujar Buya Ismail lagi. Model pencalonan pagi-pagi begini memang bukan hal terlarang. Rekayasa dan kebulatan tekad pun sebenarnya bukan barang baru dalam sejarah politik di sini. Bisa disebut, hampir tiap pemilu selalu saja ada rekayasa dan kebulatan tekad mendukung calon presiden. Istilah kebulatan tekad yang dipopulerkan mendiang Ali Moertopo pada tahun 1970-an sudah telanjur berkonotasi sebagai upaya merekayasa pendapat massa melalui pernyataan dukungan berbagai kelompok, yang biasanya dilakukan ramai-ramai dan gegap-gempita. Misalnya, upaya Ali Moertopo menjadikan Presiden Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan". Upaya semacam itu mungkin merupakan ciri tersendiri budaya politik di Indonesia. Itu sah-sah saja. Hanya, oleh sebagian pihak dianggap "bukan zamannya lagi". Organisasi Islam seperti Persatuan Islam (Persis), contohnya, tak ingin ikut dalam arus kebulatan tekad. "Cukup diserahkan pada wakil-wakil rakyat di MPR yang akan datang untuk memilih presiden," kata K.H. Latief Muchtar, Ketua Umum PP Persis. Lagi pula, Kiai Latief melihat, Pak Harto dalam usia 72 tahun nanti, meski sehat, "sudah ada keterbatasan". Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU, punya sikap yang berbeda dengan Chalid Mawardi. Pimpinan Forum Demokrasi ini menegaskan, secara organisatoris NU tak ikut-ikutan mencalonkan presiden. "Wong, kami bukan organisasi politik. Sikap NU faktual saja. Seandainya ada calon lain itu urusan MPR. Lha, kalau tak ada calon lain, kalau begitu yang jadi, ya, Pak Harto lagi. Pokoknya, NU itu nggak main dukung-dukungan," kata Gus Dur. Diakuinya. sampai sekarang belum ada calon lain yang menandingi Pak Harto. "Ibarat pertandingan tinju. Di ring cuma ada Pak Harto, sudah pakai sarung tinju dan pemanasan dan tak ada lawannya. Bukan berarti tak ada petinju lain, tapi semuanya tak berani naik ring. Sikap Gus Dur ini memang agak lain dari para kiai yang sudah mengumpulkan tanda tangan. Bahwa Pak Harto seolah tak punya tandingan, itu wajar. Keberhasilan pembangunan menempatkan Pak Harto pada posisi yang sulit ditandingi. Berbagai penghargaan dunia luar merupakan bukti kongkret keberhasilan itu. FAO, tahun 1986, memberikan penghargaan ata swasembada pangan, kemudian juga PBB (1989) atas suksesnya program kependudukan. Di dalam negeri, inisiatif Pak Harto mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (1982), yang sudah membangun lebih dari 400 masjid, sungguh langka simpatik di mata umat Islam. Puncak dari semua ini adalah perjalanan Pak Harto menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, Juni lalu. "Kepergian Pak Harto menunaikan haji merupakan siraman sejuk untuk ukhuwah Islamiyah," ujar dr. Saleh Al Djufri. Yang mengagumkan, pulang dari Tanah Suci, Pak Harto melakukan perjalanan ke Jerman. "Saya yakin, beliau punya fisik dan mental yang kuat," kata Al Djufri lagi. Ibaratnya, kata dokter yang mengetuai proyek rehabilitasi Masjid Ampel Surabaya ini, "Pak Harto sebagai manusia yang memiliki aji welut putih (aji belut putih -- Red.), apapun akan diselesaikannya dengan baik. Karena ia kuat, demit ora ndulit, setan ora doyan (dedemit tak berani menyentuh, setan tak mempan -- Red.)." Tampaknya, dukungan seperti yang dilakukan Al Djufri akan makin gencar. Maklumlah, barangkali amat disadari bahwa periode lima tahun mendatang sangat vital dan rawan. Kecuali menghadapi pembangunan jangka panjang kedua, calon yang mampu lainnya belum berani menunjukkan kebolehannya. Dan tokoh dengan pengalaman begitu luas seperti Pak Harto nampaknya masih dinilai mampu memimpin bangsa memasuki tahap sulit tadi. Yang juga akan semakin strategis adalah tugas wakil presiden. Presiden dan wakilnya yang terpilih nanti akan bahu-membahu menghadapi masa depan yang akan dicatat dalam sejarah. Nampaknya, duet pimpinan negara periode 1993-1998 itu harus punya berbagai kiat untuk meredam guncangan bila terjadi sesuatu. Masalahnya, wapres bukan sekadar menggantikan presiden bila mandataris berhalangan seperti diamanatkan UUD 45 (lihat Ban Serap yang Strategis). Yang lebih penting terutama mengamankan langkah-langkah yang telah ditempuh Pak Harto dalam memimpin pembangunan nasional selama ini. Sesungguhnya, soal suksesi ini sudah berulang kali dibicarakan Pak Harto. Ada saluran tersendiri yang harus dipatuhi. Kepala Negara, misalnya, dalam perjalanan pulang ke Tanah Air setelah menerima penghargaan PBB untuk kependudukan, Juni 1989, sempat menyinggung masalah ini. Tugas memilih presiden dan wapres mendatang adalah wewenang kelima fraksi MPR hasil pemilu nanti. Tiap fraksi bisa mengajukan nama-nama calon. Calon-calon ini akan dimusyawarahkan sehingga akan tinggal seorang calon. "Calon itulah yang akan dipilih sebagai presiden," ujar Soeharto. Jadi, menurut Pak Harto, orsospol boleh saja jauh-jauh hari mengelus-elus jagonya. Namun, pengajuan harus dilakukan pada fraksi MPR hasil pemilu yang akan datang. Sampai sekarang, baru PPP yang secara terang-terangan mencalonkan Pak Harto. Golkar sejak dulu mengaku sudah punya "jago". Kapan dikeluarkan? "Itu urusan nanti. Aturan mainnya ada. Yang jelas, calonnya sudah ada," ujar Ketua DPP Golkar M. Soegeng Widjaja pada TEMPO, Jumat pekan lalu. Golkar tak main dulu-duluan, meski orang lain mendahului. "Kami punya program, kok. Masa, latah-latahan," tambahnya. PDI bahkan belum punya nama untuk calon presiden. "Kita belum membicarakan hal itu. PDI merasa belum waktunya. Kan masih ada satu setengah tahun lagi," kata Ketua PDI Soerjadi pada TEMPO. Soerjadi juga melihat move PPP bukan satu-satunya cara menarik massa. "Apa benar isu itu menguntungkan. Saya kok masih ragu, karena asumsi dan realita bisa berbeda," katanya. Nama yang ada di kantung parpol dan Golkar nampaknya tak beda banyak. Jago yang dielus-elus tentunya harus mampu menjaga kelangsungan kepemimpinan nasional, melanjutkan pembangunan, dan menciptakan suasana demokrasi yang semakin dituntut di masa-masa mendatang. Dan Pak Harto, sampai saat ini, agaknya masih menjadi satu-satunya nama yang pasti ada di setiap kantung orsospol. Belum kelihatan ada calon lain. Soalnya tinggal, adakah beliau bersedia memikul beban tanggung jawab yang makin berat untuk periode nanti. Inilah sebuah renungan menjelang masa jabatan yang keenam nanti. Toriq Hadad, Bambang Sudjatmoko, Wahyu Muryadi (Jakarta), dan Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus