Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Perempuan menyatakan pandangan masyarakat menjadi salah satu penyebab mandeknya penuntasan kasus perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998. Sikap masyarakat itu tercermin dari liputan-liputan media massa mengenai kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani menuturkan masih menemukan pernyataan dalam media yang mengingkari bahwa peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa itu benar-benar terjadi. “Sampai tahun 2020, masih ada pernyataan yang mengingkari dan menyangkal bahwa peristiwa itu ada,” kata Andy dalam diskusi daring bertema bertema Perkosaan Massal Mei ’98: Kapan Ada Pengadilan?, pada Sabtu, 16 Mei 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andy mengatakan juga masih menemukan pertanyaan-pertanyaan mengenai bukti peristiwa itu dan desakan untuk menunjukan korban perkosaan. “Terus ditanyakan mana buktinya? Kalau memang ada, harusnya korbanya ada.”
Tim Relawan untuk Kemanusiaan Mei 98, Ita F. Nadia mengatakan desakan untuk menunjukan korban sudah terjadi sejak awal. Saat masih menjadi anggota Tim Gabungan Pencari Fakta kasus ini, desakan itu datang dari koleganya sesama anggota tim. Ita menolak, lalu undur diri dari dari TGPF. Menunjukan korban, kata dia, memiliki banyak hambatan. “Saksi korban ini sudah mengalami berlapis-lapis penderitaan,” kata dia.
Menampilkan korban, kata dia, juga akan memunculkan potensi intimidasi dan pembungkaman. Dia menontohkan kisah tragis yang dialami salah satu korban pemerkosaan dalam persitiwa Mei 1998, Ita Martadinata Haroyono. Ita Martadinata tewas dibunuh sehari sebelum bicara di Sidang PBB tentang kasusnya.