Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan permintaan maaf Presiden Joko Widodo atau Jokowi kepada pimpinan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), karena tak bisa menghadiri acara peringatan hari HAM sedunia. "Sekali lagi Presiden minta maaf karena kesibukan tertentu sehingga tidak bisa menghadiri," kata JK di kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa, 11 Desember 2018.
Baca: JK Gantikan Jokowi Hadiri Peringatan Hari HAM di Komnas HAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JK mengatakan, semestinya ia menghadiri agenda peringatan HAM sedunia di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, kata JK, ia diminta Jokowi untuk memprioritaskan agenda di Komnas HAM. "Presiden minta lebih baik Komnas HAM dibanding saya ke ini (Kementerian Hukum dan HAM), bagaimana penghormatan kita terhadap Komnas sehingga yang mengisi di Kementerian Hukum dan HAM hanya menterinya," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi semula diagendakan hadir pada pukul 13.30 WIB. Sedangkan JK dijadwalkan menghadiri peringatan HAM di Kementerian Hukum dan HAM di Jalan H. R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Namun, tepat pukul 13.30 WIB, JK yang terlihat datang ke Komnas HAM didampingi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi.
Dalam acara itu, JK menerima sejumlah poin rekomendasi yang diberikan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Poin-poin rekomendasi itu terkait dengan empat topik yang menjadi fokus Komnas HAM saat ini. JK pun memastikan rekomendasi itu akan ia sampaikan kepada Jokowi.
Baca: Hari HAM Sedunia, Agus Widjojo: Indonesia Belum Siap Rekonsiliasi
Menurut Ahmad Taufan Damanik, empat topik yang menjadi fokus Komnas HAM saat ini ialah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, intoleransi dan kebebasan beragama, konflik agraria, dan penguatan kelembagaan.
Ihwal penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, Taufan meminta Jokowi memerintahkan Jaksa Agung agar memulai proses penyidikan terhadap sepuluh berkas yang telah diserahkan Komnas. Kedua, Taufan mendorong dibukanya mekanisme di luar pengadilan.
"Memang dimungkinkan suatu mekanisme nonyudisial dan itu tergantung pada suatu putusan politik dari Bapak Jokowi, tetapi kami berikan catatan agar itu tetap dilakukan pada suatu dasar hukum," kata Taufan di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 10 Desember 2018.
Taufan menuturkan, Jokowi dapat memprakarsai terbentuknya Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) atau aturan lainnya untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Asalkan, kata Taufan, aturan tersebut jelas dan akuntabel.
Baca: ILR Sebut Perlindungan HAM Era SBY Lebih Baik dari Era Jokowi
Berikutnya menyangkut isu konflik agraria. Taufan mengusulkan adanya penguatan mekanisme penyelesaian konflik agraria dalam mengatasi persoalan-persoalan yang ada. Komnas HAM menilai selama ini pemerintah masih cenderung sporadis dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terkait dengan konflik agraria.
Ihwal intoleransi dan kebebasan beragama, Komnas akan meminta pemerintah mengevaluasi peraturan di daerah yang diskriminatif dan mendorong sikap intoleransi dari kelompok tertentu. Taufan mencontohkan peraturan pendirian rumah ibadah. Menurut dia, aturan menyangkut ini perlu dikaji dan didiskusikan ulang.
"Sehingga masyarakat merasa ada keadilan dan kenyamanan mereka menjalankan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia untuk beribadah," kata dia.
Rekomendasi yang terakhir menyangkut penguatan kelembagaan Komnas HAM. Taufan mengungkapkan, Komnas HAM berencana mendorong revisi Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Penguatan kelembagaan yang diusulkan menyangkut sarana prasarana dan sumber daya manusia Komnas HAM, serta penguatan wewenang lembaga ini. Taufan mencontohkan, Komnas HAM selama ini banyak mengeluarkan rekomendasi untuk kementerian, lembaga, pemerintah daerah, termasuk korporasi.
Namun tingkat kepatuhan terhadap rekomendasi itu rendah lantaran Komnas tak memiliki instrumen untuk menuntut kepatuhan atau menjatuhkan sanksi. "Kami meminta Bapak Presiden agar membuat kebijakan supaya kementerian, lembaga, pemda, dan korporasi ini memiliki kepatuhan terhadap rekomendasi yang dikeluarkan Komnas."