Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hijrah Koordinator Pendanaan ISIS Indonesia

Hendro awalnya jadi koordinator persenjataan dan pendanaan ISIS di Indonesia. Mantan teroris ini tersadar kisah Raja Najasyi.

8 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERUSUHAN di rumah tahanan khusus narapidana kasus terorisme di Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, pada 8 Mei 2018 masih membekas di benak Hendro Fernando, 40 tahun. Kerusuhan itu membuat Hendro ikut dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan Serang, Banten, ke Lapas Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hendro merupakan eks narapidana kasus terorisme. Ia ditangkap satu hari setelah teror bom di sekitar Plaza Sarinah, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat—disebut juga bom Thamrin—pada 15 Januari 2016. Hendro divonis 6 tahun 2 bulan penjara karena dinyatakan terbukti terlibat pendanaan kelompok teror Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia. Ia juga terbukti terlibat pengiriman senjata dan amunisi ke jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah; serta Filipina.

Koordinator persenjataan dan pendanaan ISIS di Indonesia itu sesungguhnya tidak terlibat dalam insiden berdarah di Markas Komando Brimob, yang menewaskan lima polisi dan satu narapidana kasus terorisme. Namun langkah pemindahan tahanan terorisme di Mako Brimob itu juga berdampak pada Hendro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah kerusuhan di penjara narapidana terorisme tersebut, semua terpidana kasus terorisme yang berstatus merah—masih menganut ideologi radikal dan berhubungan dengan jaringan teroris—dipindahkan ke Lapas Nusakambangan. Tercatat ada 156 napi teroris, termasuk Hendro, yang dinyatakan berstatus merah. Sebagian besar dari mereka merupakan penghuni rumah tahanan Markas Komando Brimob.

Polisi Brigade Mobil (Brimob) bersenjata lengkap berjaga saat kerusuhan di Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, 10 Mei 2018. TEMPO/Amston Probel

Di Nusakambangan, Hendro perlahan-lahan berubah pandangan mengenai terorisme dan ISIS. Di sana, Hendro menemukan jawaban atas kegelisahannya terhadap lingkup internal ISIS. Di antaranya, konflik internal anggota ISIS, yang membuat mereka saling serang dan mengafirkan antar-kelompok jaringan teroris. 

“Mereka bahkan saling membunuh,” kata Hendro, Kamis, 4 April lalu.

Jawaban atas kegelisahan itu makin ia dapati setelah berbagai diskusi yang dilakukan Hendro dengan sejumlah napi kasus terorisme di Nusakambangan. Mereka, antara lain, mendiskusikan ideologi ISIS yang mengafirkan dan menghalalkan darah orang yang berseberangan dengan ideologinya. 

Pada suatu kesempatan, kata Hendro, seorang ustad yang juga terpidana kasus terorisme menceritakan kisah raja di Negeri Habasyah—saat ini Ethiopia di Afrika—yaitu Najasyi atau Ashamah bin Abjar. Najasyi menjadi raja pada masa para sahabat Nabi Muhammad SAW di Kota Mekkah mulai berhijrah akibat dikejar-kejar kaum Quraisy.

Habasyah merupakan tempat tujuan hijrah pertama kaum muslimin pada zaman Nabi Muhammad. Dalam buku Hijrah Rasulullah ke Habasyah karya Muhammad Ridha disebutkan bahwa Nabi Muhammad meminta kaum muslimin hijrah ke Habasyah akibat derita dan siksa yang dialami para sahabatnya di Mekkah.

Dalam kisahnya, Najasyi bukan pengikut Nabi. Tapi ia raja yang memimpin negerinya dengan bijaksana sehingga Nabi  meminta sahabat-sahabatnya berlindung ke Negeri Habasyah ketika kaum Quraisy mengejar-ngejarnya.

Belakangan, Najasyi masuk Islam tanpa diketahui rakyatnya. Meski begitu, ia tetap memerintah Negeri Habasyah menggunakan hukum Nasrani. Najasyi wafat pada 9 Hijriah. Rasulullah lantas memerintahkan sahabatnya melakukan salat gaib buat Najasyi.

Kisah Najasyi itu mengetuk hati Hendro. Ia tersadar bahwa Islam sesungguhnya agama yang sangat toleran terhadap semua umat. “Saya membandingkan dengan Indonesia yang jelas dipimpin oleh seorang muslim dan tidak melarang ada simbol keislaman dan kegiatan keagamaan. Mengapa saya mesti membenci dengan pemahaman yang berbeda sehingga saya memutuskan meninggalkan pemahaman radikal saya?” ujar Hendro.

Awal Terpapar Radikalisme

Hendro mulai terpapar pemahaman radikalisme pada 2011. Saat itu, ia rutin mengikuti pengajian anggota Jamaah Ansharud Tauhid (JAT)—kelompok teror—di sebuah masjid di Bekasi, Jawa Barat. Di masjid tersebut, beragam kelompok, seperti Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Front Pembela Islam, rutin menggelar pengajian. 

Setelah terpapar radikalisme, Hendro mulai berkeinginan melakukan amaliah alias teror. Tapi pimpinan JAT melarangnya melakukan teror di Indonesia. Larangan itu tak sejalan dengan keinginan Hendro yang ingin melakukan amaliah di Indonesia. 

“Saya menganggap JAT sudah tidak sejalan dengan ideologi yang saya percaya saat itu,” katanya.

Pada 2014, Hendro bertemu dengan beberapa anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD), kelompok teroris yang terafiliasi dengan ISIS. Sejak saat itu Hendro rutin mengaji dengan anggota JAD. Ia juga terlibat langsung berbagai kegiatan teror kelompok JAD. 

Hendro mendapat arahan langsung dari pentolan ISIS di Suriah asal Indonesia, Bahrumsyah, yang tewas di Suriah pada Maret 2017. Hendro ditugasi mengelola keuangan yang dikirim dari Suriah. Dana itu akan digunakan untuk gerakan terorisme di Indonesia, di antaranya Mujahidin Indonesia Timur di Poso. Hendro juga bertugasi membantu mengirim orang Indonesia ke Suriah. 

“Pendanaan terakhir sebelum saya tertangkap (yaitu) mendapat kiriman Rp 1,3 miliar dari Turki untuk aksi teror di Indonesia,” ujar Hendro. “Saya menyesal sudah melakukan itu semua karena mengorbankan orang yang tidak bersalah.”

Sekretaris Jenderal Yayasan Dekat Bintang dan Langit (DeBintal) Hendro Fernando (tengah) menjadi narasumber dalam kegiatan ngaji kebangsaan. Istimewa

Ikut Program Deradikalisasi

Setelah menjalani hukuman selama 6 tahun 2 bulan penjara, Hendro bebas dari penjara pada Oktober 2020. Awalnya Hendro bimbang untuk terjun ke masyarakat karena mantan teroris. 

Cap teroris itu membuatnya kesulitan langsung berbaur di masyarakat. Tantangan lain, kata Hendro, biasanya napi kasus teroris yang baru bebas dari penjara tidak mempunyai penghasilan. Jadi, mereka rentan terpengaruh bujuk rayu kelompok teror untuk kembali bergabung.

“Sebab, saat berada di jaringan, mereka mendapat bantuan dana. Bantuan itu yang biasanya ditawarkan lagi agar mereka kembali ke kelompoknya,” katanya.

Karena itu, kata Hendro, mantan narapidana kasus terorisme perlu wadah agar mereka tidak terbujuk lagi bergabung ke kelompok teror. Hendro bersama Gamal Abdillah, eks narapidana kasus terorisme, menginisiasi pembentukan Yayasan Dekat Bintang dan Langit (DeBintal) pada Februari 2021. DeBintal merupakan lembaga binaan Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia.

Yayasan ini didirikan untuk membantu bekas narapidana terorisme dalam proses reintegrasi dan membangun kemandirian. Yayasan ini juga ikut membantu proses deradikalisasi yang dilakukan Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Mereka juga ikut mengawasi pelaku tindak pidana terorisme dan bekas napi kasus terorisme.

Hendro menyebutkan empat program utama DeBintal, yaitu pembinaan dalam lembaga pemasyarakan narapidana terorisme, bimbingan mental, literasi, dan ekonomi. Dalam program pembinaan ekonomi, DeBintal mengembangkan ternak burung puyuh di Bekasi. 

“Penguatan ekonomi ini penting karena, ketika bebas dari penjara, mayoritas mantan narapidana terorisme harus memulai hidup dari nol lagi karena tidak punya penghasilan,” ujarnya.

Menurut dia, bantuan penguatan perekonomian tersebut dapat mencegah eks napi kasus terorisme kembali ke kelompok teror. Bantuan penguatan ekonomi itu disertai berbagai kegiatan deradikalisasi agar mereka berubah dari radikal menjadi moderat dan toleran. 

Ia mengatakan peran utama keluarga dan lingkungan sangat menentukan proses deradikalisi. Sebab, mantan teroris akan berpeluang kembali ke kelompok teror jika mereka merasa diasingkan dari lingkungan masyarakat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus