Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kunjungan kritik dari sahabat

Kunjungan 10 anggota parlemen belanda ke penjara ditolak. mereka bertujuan meninjau jalannya pemba- ngunan di indonesia. mereka juga berencana bertemu dengan kelompok petisi 50 & ketua forum demokrasi.

31 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepuluh orang anggota parlemen Belanda berkunjung kemari. Mereka ditolak besuk ke penjara. Mencampuri urusan dalam negeri Indonesia? TUJUH orang itu berkulit putih, rambutnya pirang. Jelas, mereka orang asing. Dan tiba-tiba saja mereka bertandang ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Minggu siang pekan lalu. Mereka lantas menanyakan seorang narapidana bernama Viktor, yang terlibat demonstrasi memprotes kenaikan tarif listrik. Tapi, begitulah, karena tak mengantungi izin dari Menteri Kehakiman, mereka tak bisa masuk. "Kalau ada izin, silakan saja," demikian Kepala LP Cipinang, Nurdin Nursin, menolak dengan halus para tamu itu. Tamu-tamu itu sebenarnya bukan cuma turis. Mereka adalah anggota parlemen dari Kerajaan Belanda. Namun, apa boleh buat, izin tetap diperlukan, biarpun mereka termasuk orang penting. "Kunjungan itu memang tak direncanakan. Kami hanya ingin mengunjungi teman saja, pribadi," demikian penjelasan Josephine Verspaget, kepala rombongan yang seluruhnya terdiri dari sepuluh orang ini. Kedatangan sepuluh orang anggota parlemen Belanda itu tentu saja bukan sekadar untuk besuk ke penjara. Ada tujuan lain yang lebih penting, meninjau bagaimana jalannya pembangunan di negeri ini. "Normal saja. Tiap tahun kami megunjungi negara yang punya hubungan kerja sama pembangunan yang intensif dengan Belanda," tutur Verspaget. Kesepuluh anggota ini memang berasal dari Komisi Kerja Sama Pembangunan, mitra kementerian yang dipimpin oleh Jan Pronk. Pronk sendiri baru bulan lalu melanglang kemari, bahkan masuk ke pedalaman Maluku segala. Mestinya, tahun ini rombongan parlemen itu merencanakan kunjungan ke Etiopia. Namun, krisis Teluk yang panas membuat pemerintah di sana tak berani menjamin keamanan para peninjau ini. Sedangkan Indonesia, menurut Verspaget, sudah sepuluh tahun terakhir ini tak mendapat giliran. Itu sebabnya, tujuan dialihkan ke sini. Indonesia memang sangat intensif berhubungan dengan Belanda dalam soal bantuan pembangunan. Belanda adalah ketua IGGI, kelompok 14 negara maju yang setiap tahun memberi pinjaman bersyarat lunak kepada Indonesia. Tiap tahun mereka bersidang di Den Haag, Negeri Belanda, untuk menentukan besarnya utang yang bakal diberikan. Tahun ini, diputuskan Indonesia akan menerima 4,75 milyar dolar. Inilah yang oleh para anggota parlemen Belanda dianggap sebagai soal penting. Verspaget menyebut, sebagai pihak yang selalu mengkritik pemerintah Belanda, anggota parlemen itu memerlukan informasi langsung dari tangan pertama. Bagaimana pembangunan di Indonesia berjalan dengan dana-dana bantuan itu. "Itu sebabnya kami sekarang berada di sini," katanya. Namun, jika melihat jadwal acara mereka, nampaknya delegasi parlemen Belanda ini tak cuma menaruh perhatian pada soal proyek bantuan. Tengok saja, mereka berencana bertemu dengan kelompok Petisi 50 dan Ketua Forum Demokrasi Abdurrahman Wahid. Belum lagi acara-acara khusus dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, yang selalu punya pendekatan sendiri pada masalah- masalah pembangunan. Dan ternyata Verspaget tak membantah. Menurut dia, ada kecenderungan yang makin kuat di kalangan negara-negara donor untuk menghubungkan bantuan pembangunan ekonomi dengan perkembangan demokrasi dan hak-hak asasi manusia di negara penerima. Ia merujuk hasil penelitian di berbagai badan internasional. "Yang penting dari pembangunan bukan cuma pertumbuhan ekonomi, tetapi kita harus menaruh perhatian besar pembangunan demokrasi dan hak asasi manusia," kata Verspaget. Ketika diwawancarai TEMPO dua pekan lalu, Pronk memang sudah mengingatkan. Di masa-masa mendatang Indonesia bakal menghadapi banyak pertanyaan tentang hak asasi ini dari negara donor. Rupanya, Verspaget, yang satu partai dengan Pronk, juga berpendapat sama. "Negara Eropa sekarang makin kuat menghubung-hubungkan soal bantuan dengan hak asasi," katanya. Itu sebabnya Verspaget sudah bertekad akan membawa isu ini dalam sidang-sidangnya dengan Pronk tentang bantuan buat Indonesia. Ia lantas menyebut dua soal yang akan diajukannya pada Jan Pronk agar dibicarakan lebih intensif dengan pemerintah Indonesia. Soal pertama adalah kepastian hukum di Indonesia. "Saya mengerti Indonesia itu sangat luas, dan soal ini pasti rumit. Tapi pemerintah Indonesia tentu bisa menaruh perhatian lebih besar tentang hal ini," kata Verspaget. Soal kedua adalah kebebasan pers. "Pers bebas itu bagian dari masyarakat modern. Indonesia saya rasa sudah modern. Jadi, tak ada salahnya membiarkan pers di sini lebih bebas." Gaya blak-blakan seperti ini tentu saja tak mengenakkan. Sopan santun diplomatik biasanya juga membatasi sebuah negeri untuk langsung meributkan urusan dapur negeri lain. Itu sebabnya Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, B.S. Mulyana, mengaku agak kaget melihat sikap parlemen itu. "Itu sudah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia," katanya. Sebagai pihak yang mengurusi pengajuan bantuan kepada negeri lain, Bappenas selalu tegas, Indonesia hanya akan menerima bantuan yang tak bersyarat apa-apa. Sementara itu, Kapuspen ABRI Brigadir Jenderal Nurhadi Purwosaputro mengatakan, seharusnya mereka itu menghargai peraturan yang berlaku di sini jika mau mengunjungi tempat-tempat khusus seperti penjara. Di samping itu, pekan lalu mereka telah mengunjungi sejumlah tempat di Jakarta dan Jawa Barat. Pekan ini berada di Irian Jaya dan melihat kehidupan penduduk Lembah Baliem. Selanjutnya mereka akan terbang ke Sumatera Utara dan Aceh. Namun, Verspaget menampik tuduhan bahwa rombongannya mencoba mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Ia mengibaratkan kedatangannya itu sebagai seorang sahabat yang punya niat baik. "Ini kritik dari seorang teman. Bukan soal siapa di atas atau siapa di bawah," katanya. Terlepas dari soal mencampuri urusan dalam negeri atau tidak, urusan hak asasi manusia memang dianggap semakin penting oleh negara-negara donor. Dan itu bukan gertak sambal. Salah satu contoh yang dikemukakan Verspaget adalah Bangladesh. "Kami begitu terkejut melihat korupsi di sana." Maka, bantuan lalu disunat, dan lebih banyak disalurkan ke lembaga swadaya masyarakat. Yopie Hidayat dan Iwan Q. Himawan (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus