Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KIKONG lahir 28 tahun silam di ”ujung kuku” Indonesia. Hutan lebat memisahkan kampungnya di Suruh Tembawang dengan Ibu Kota Kecamatan Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. Serawak di Malaysia justru lebih mudah dituju. ”Itu sebabnya ia sekolah di sana,” kata Imran, Kepala Desa Suruh Tembawang.
Lulus SMP, Kikong bekerja untuk seorang tauke. Berbekal ijazah sekolah di Malaysia, ia lalu mendaftarkan diri ke Askar Wataniah, komponen cadangan Angkatan Bersenjata Malaysia, lima tahun lalu. Meski masih memiliki kartu tanda penduduk Indonesia, ia kini bermukim di Bau, Serawak, sekitar tiga jam jalan kaki dari Suruh Tembawang.
Kikong hanya satu di antara banyak pemuda Dayak yang melintas batas, menetap di Malaysia, lalu bergabung dengan Askar Wataniah. Soal askar ini menjadi berita panas, awal bulan lalu, di Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada sebuah rapat kerja di Komisi Pertahanan DPR, Happy Bone Zulkarnaen mengacungkan sebundel dokumen tentang askar. Politisi Partai Golkar itu mengatakan, anggota Askar masih berstatus warga negara Indonesia. Ia mengaku menerima informasi itu sejak Oktober 2007 dari Mayor Jenderal G.R. Situmeang, Panglima Komando Daerah Militer IV/Tanjungpura, yang membawahkan wilayah Kalimantan.
Informasi itu muncul dalam dokumen laporan Situmeang saat Komisi Pertahanan berkunjung ke Kalimantan. Tiga halaman profil Askar Wataniah dan foto-foto mereka sedang berlatih termasuk dalam dokumen 50 halaman itu.
Usai rapat, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo berjanji akan menyelidiki informasi itu. Sehari setelah rapat, Mayor Jenderal Suhartono Suratman, pengganti Situmeang, membenarkan adanya sejumlah warga negara Indonesia yang menjadi anggota Askar Wataniah. Namun, kata dia, mereka telah tinggal di negara tetangga itu lebih dari lima tahun sehingga memiliki permanent resident.
Para petinggi negara ini justru ramai-ramai membantah. ”Informasi itu tidak akurat,” kata Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa. Pejabat Departemen Pertahanan, Departemen Luar Negeri, dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia seragam. ”Sejauh ini tidak ada bukti,” kata Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso.
Juru bicara Departemen Luar Negeri, Kristiarto Soeryo Legowo, menjelaskan, departemennya melakukan verifikasi informasi itu sampai ke Kuching dan Kinabalu, Malaysia. Seorang konsul jenderal Indonesia di Kinabalu, menurut dia, menemui langsung sejumlah komandan resimen Askar Wataniah. ”Tidak ada WNI yang menjadi anggota Askar,” katanya.
”PEREKRUTAN” warga Indonesia menjadi bala bantuan Malaysia sebenarnya sudah terjadi sejak kedua negara berseteru pada 1960-an. Sebagian menjadi tentara cadangan negeri itu untuk mencari nafkah. Sebagian lain sengaja disusupkan tentara Indonesia untuk menjadi mata-mata.
Menurut Dolla Sabari bin Wongsokaryo, tokoh masyarakat Jawa di Kampung Sri Arjuna, Batu Duabelas, Malaysia, banyak anak Jawa Serawak menjadi anggota Askar. ”Anak saya malah menjadi Tentara Diraja Malaysia,” ujarnya, ”tapi kami kini sudah menjadi warga Malaysia.”
Dolla menjadi anggota tentara cadangan Sarawak saat kedua negara berkonfrontasi atas masalah Kalimantan Utara. Ia sempat dicurigai menjadi ”mata-mata Soekarno” karena keturunan Jawa, tapi ia kemudian mampu meyakinkan komandannya. Seusai permusuhan, ia mengaku sempat dipanggil Menteri Luar Negeri Adam Malik. ”Beliau meminta saya ikut menjaga agar hubungan kedua negara berangsur membaik,” tuturnya.
Yakon Lomon, Temenggung Agung Dewan Adat Dayak wilayah perbatasan, mengatakan, Malaysia telah merekrut warga Indonesia menjadi laskar sejak 1962. Para pemuda Dayak berbondong-bondong menjadi anggota Tentara Nasional Kalimantan Utara. Mereka pun menjadi warga negara Malaysia. ”Karena buruknya administrasi saat itu, mereka tak juga melepas status kewarganegaraan Indonesia,” kata pria 72 tahun ini.
Kini, kata Yakon, masih banyak putra Dayak beralih kewarganegaraan. Awalnya, mereka bekerja untuk pengusaha-pengusaha Malaysia yang membuka hutan di perbatasan. Saat pekerjaan usai dan para pemuda itu menganggur, tawaran menjadi askar datang. ”Orang butuh kerja, siapa yang tidak mau?” ujarnya.
Yakon Lomon pernah meminta para kepala desa di wilayah perbatasan untuk mendata penduduknya yang menjadi anggota Askar Wataniah, tapi sebagian kepala desa justru memusuhinya. Rupanya, kata dia, sejumlah kepala desa mendapat bayaran dari pengusaha kayu Malaysia. Sebab, Askar acap kali dipakai para pengusaha untuk menjaga aset-aset mereka.
Selain Kikong, ada pula Asiok, 20 tahun, yang hingga kini masih menjadi anggota Askar. Ia anak perempuan Aheu, bekas Kepala Dusun Gun Jemak, Suruh Tembawang. Keluarga ini kini menetap di Gun Sapit, Pedanan, Sarawak, sejak 2005. Mereka warga Indonesia, tapi juga memiliki kartu identitas Malaysia. Bagi orang yang tinggal di perbatasan, ini sangat memungkinkan, sebab mereka pada dasarnya berasal dari suku yang sama, Dayak Bidayuh.
Asiok sehari-hari bekerja di ladang milik pengusaha di Sarawak. Ia mendaftarkan diri menjadi anggota Askar Wataniah untuk menambah penghasilan. ”Menurut dia, menjadi anggota Askar juga membuat terhormat di kampung halamannya,” kata Imran, sang kepala desa.
Seorang warga Bengkayang, Kalimantan Barat, juga pernah sembilan tahun masuk Askar dengan sistem kontrak. Ia bertugas menjaga keamanan wilayah Serawak dengan gaji Rp 2 juta per bulan. ”Untuk ukuran Serawak, jumlah itu kecil,” kata pria yang menolak disebutkan namanya itu. Karena itu, kini ia memilih berladang di kampung halamannya.
Sumber Tempo di Pontianak, hingga kini bahkan masih aktif menjadi pelatih fisik Askar. Sebagian anggota Askar yang ia latih, katanya, orang Indonesia yang berstatus permanent resident di Malaysia. ”Semua demi urusan perut,” ujarnya.
Ia menolak membuka identitas dan lokasi pelatihan. ”Kalau saya membuka diri, pasti semua akan dipecat. Ini soal hidup-mati kompor di dapur orang,” katanya.
ASKAR Wataniah adalah komponen cadangan tentara Malaysia. Pasukan ini dibentuk untuk menjalankan konsep ”pertahanan menyeluruh”, yang mengatur adanya Angkatan Tetap dan Angkatan Simpanan. Pasukan ini bertugas membantu tentara reguler di masa perang atau menangani bencana. Ada beberapa bagian pasukan ini, antara lain elemen tempur, elemen bantuan tempur, elemen ahli, dan pasukan kerahan.
Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dato’ Zainal Abidin Zain, tak bersedia menanggapi isu adanya warga Indonesia direkrut menjadi anggota Askar Wataniah. ”Saya tak mau berkomentar panjang soal kabar bohong itu,” katanya.
Kedutaan Besar Malaysia juga mengirim penjelasan tertulis soal pasukan cadangan ini. Menurut mereka, Askar Wataniah masuk dalam struktur Angkatan Tentera Malaysia. Menjadi warga negara Malaysia, menurut Kedutaan Malaysia di Jakarta, adalah syarat utama menjadi anggota pasukan ini. Proses seleksinya pun sangat ketat. ”Pendaftar harus menyertakan dokumen-dokumen yang menunjukkan dia warga negara Malaysia, lahir dan besar di Malaysia, serta memiliki surat tanda kelulusan,” demikian tertulis dalam penjelasan itu.
Menurut Kedutaan Malaysia, tidak salah jika ada beberapa anggota Askar Wataniah yang bertutur dalam dialek Jawa, Bugis, Banjar, atau Dayak. ”Mereka keturunan Indonesia yang telah bermigrasi dan memilih menjadi warga negara Malaysia,” kata dokumen itu.
Bagaimanapun, dalam sebuah rapat koordinasi Kodam dan Korem se-Indonesia di Markas Besar TNI, Cilangkap, November tahun lalu, soal Askar ini menjadi perbincangan ramai. ”Pasukan ini ancaman untuk Kalimantan Barat,” kata seorang peserta rapat yang dihadiri Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono itu.
Dalam presentasi kepada Komisi Pertahanan yang, antara lain, berisi Askar Wataniah, Kodam Tanjungpura meminta Dewan Perwakilan Rakyat segera membahas Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan. Tujuannya ”optimalisasi peran komando kewilayahan dalam melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan, khususnya di daerah perbatasan.” Sumber Tempo mengatakan, juga muncul usul penambahan brigade infanteri di Kalimantan untuk ”mengimbangi Malaysia”.
Permintaan itu tidak dibantah oleh juru bicara TNI, Marsekal Muda Sagom Tamboen. ”Tapi, itu tidak ada hubungannya dengan Askar Wataniah,” katanya. ”Setiap perubahan postur kekuatan TNI sudah terprogram sampai 2014.”
Happy Bone mengaku tak bermaksud memanaskan hubungan Jakarta-Kuala Lumpur. ”Ini masalah dalam negeri kita sendiri,” katanya. Ia lalu meminta pemerintah meningkatkan pembangunan di wilayah perbatasan untuk mengatasi banyaknya warga Indonesia yang berganti status kewarganegaraan.
Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika, Sunudyantoro (Kuching), Harry Daya (Entikong)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo