Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bermain Api di Takengon

Lima anggota Komite Peralihan Aceh wilayah Aceh Tengah tewas dibakar massa, satu lainnya dilempar ke sumur. Ada yang ingin merusak perdamaian.

10 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWALNYA adalah Bedul alias Abdul Razak. Pria 30 tahun itulah yang datang membawa proposal berujung sengit. Dia anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Linge, Aceh Tengah. Komite itu wadah bekas tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah perdamaian Aceh diteken tiga tahun silam.

Selepas perang, Bedul tak punya keterampilan. Dia dan kawan-kawan seperjuangan lantas melirik terminal bus di Takengon. Pikirnya, kalau ”dikelola” baik, tentu tempat itu bisa jadi kolam rezeki. Apalagi, setelah damai, mereka belum punya pekerjaan tetap. Lalu, Bedul pun menyusun struktur pengelolaan terminal itu. Tentu, sifatnya tak resmi.

Meski membangun organ informal, Bedul serius juga. Struktur baru itu dibagikan ke para sopir, bahwa ada ”bos” baru di terminal itu. Tembusannya pun dikirimkan ke Dinas Perhubungan setempat. Tak lupa selembar buat Bupati Aceh Tengah.

Rupanya, ulah Bedul itu membuat para ”penguasa” lama terminal panas hati. Mereka adalah Ikatan Pemuda Terminal alias IPT. Di tempat itu, Ikatan sudah bercokol sejak 1978. Belakangan, urusan rupanya tak semudah perkara terminal belaka.

Ketika Aceh dalam keadaan perang, IPT adalah organ yang mendukung misi Pembela Tanah Air (Peta) atau front aksi melawan separatisme. Front ini pula yang rajin memburu anggota GAM di kampung-kampung. Ada yang ditangkap, ada pula yang dibujuk agar menyerah. Tentu, TNI pada waktu itu mendukung mereka dengan sukacita karena sejalan dengan misi menghancurkan pemberontakan.

Soal hubungan IPT dengan Peta itu pun sangat kentara. Ketua IPT, Muhammad Sanen, misalnya. Lelaki itu adalah tokoh Peta Kecamatan Bebesen, Takengon. Di terminal itu, ada sebuah plang nama terbaca jelas: ”IPT/Peta”. Sanen rupanya merangkap juga Ketua Peta Bebesen. Tapi, ”Itu hanya kebetulan saja,” ujarnya berkilah.

Singkat kata, IPT pun menolak Bedul dan kawan-kawan terlibat dalam urusan terminal. ”Kalian kan sudah kaya,” kata Win Ariano Putra, Wakil Ketua IPT, saat dua kelompok itu berunding, Jumat pekan lalu. Bedul mengelak. Dia bilang tak semua bekas GAM itu kaya, tapi Ariano tetap menolak berkongsi. Alasannya, laba di terminal itu tak lagi besar. ”Cuma Rp 150 ribu. Sekarang ada 53 anggota IPT,” ujarnya.

Situasi pun tegang, kedua pihak ngotot sebagai yang paling berkuasa. Ditengahi Kepala Dinas Perhubungan Aceh Tengah Zulkifli Rahmat, keduanya mencoba berembuk, Jumat pagi pekan lalu. Empat tokoh IPT datang, sementara dari KPA Wilayah Linge, enam anggota hadir. Tapi, dialog belum lagi dimulai, kerusuhanlah yang meledak.

IPT menuding anggota KPA sengaja membawa senjata tajam. Menurut versi mereka, bekas pejuang GAM itulah yang petantang-petenteng. ”Mereka bilang, mau tembak siapa saja yang menantang,” ujar Ariano. Gara-gara itu, bentrok fisik pun terjadi. Buntutnya, tiga anggota KPA kabur, satu babak-belur.

Versi itu dibantah Ketua KPA Linge, Ramdana. Kata dia, hanya lima orang yang datang malam itu dan semuanya tidak bersenjata. Mereka juga tak mengancam siapa pun. Yang terjadi, kata Ramdana, justru sebaliknya. Saat berada di Dinas Perhubungan, ratusan personel IPT memenuhi gang-gang kantor itu. Sebetulnya, undangan itu datang dari Polres dan Polsek Kota, plus Dinas Perhubungan, tapi aparat polisi tak tampak.

Cekcok mulut pun memuncak. Baku pukul terjadi dan polisi menangkap Ariano dan Hasballah, keduanya dari IPT. Sementara itu, tiga utusan KPA dilarikan ke rumah sakit Datu Beru, Takengon. Kabar itu sampai ke telinga Bupati Aceh Tengah Nasaruddin. Pada 2003, perdamaian di Aceh hancur gara-gara kantor pemantau keamanan bersama atau Join Security Council (JSC) dibakar massa Peta di Takengon. Karena itu, dia memilih lembur, mengundang kedua kelompok itu ke kantornya.

Rapat damai itu dimulai setelah isya dan berlangsung sampai tengah malam. Yang hadir petinggi kedua organisasi, KPA diwakili Ikil Ilyas Leube, T. Muha Abubakar, Arjua Mansyur, Ilyas Kelowang, dan Abdul Razak. Sementara IPT dan Peta diwakili Muhammad Sanen, Abdullah Ali, Gurdy Damora, dan Misradi M.S. alias Adijan, yang terkenal sebagai ”bos” Peta Kabupaten Bener Meriah. Dari pemerintahan setempat, hadir Bupati Nasruddin dan perangkatnya. Sampai di sini aman: kedua pihak akhirnya sepakat berdamai. Tapi, begitu rapat kelar, tragedi yang mengancam perdamaian itu, justru terjadi di Meurah Mege, 30 kilometer dari Takengon.

Entah dari mana, dua truk penuh lelaki bertopeng membelah pegunungan Meurah Mege, Atu Lintang, Aceh Tengah, Jumat malam itu. Rata-rata menggenggam parang. Mereka lalu mendatangi rumah kepala desa dan meminta kaum lelaki di kampung itu ikut siskamling. Kampung sunyi yang dihuni 128 keluarga itu pun mendadak gaduh.

Saat malam tambah larut, dua truk itu bersama ratusan massa mengepung kantor KPA di sana. Kantor itu tak besar dan berdinding kayu. Pada malam nahas itu, tujuh anggota KPA setempat berada di dalamnya. Massa menggedor pintu dan meminta mereka keluar. Para bekas gerilyawan itu hanya diam. Lalu, entah ide siapa, kantor itu pun diguyur bensin. Begitu api menyala, mereka yang di dalam pun keluar lintang-pukang.

Di luar, mereka disambut kelewang dan parang. ”Ada yang setengah mati, lalu dilempar ke api,” ujar seorang ibu yang rumahnya berseberangan dengan lokasi. Dia tak berani ikut campur, hanya melihat saja.

Seorang korban yang lolos dari kepungan api disergap sekelompok lelaki. Dia bernama Selamat, 28 tahun, anggota KPA Meurah Mege. ”Saya orang sini,” ujarnya pasrah, seperti dituturkan keponakannya. Satu batu besar menghajar rahang sang paman. Selamat jatuh dan bungkam. Lalu perutnya dihujani tombak, tubuhnya disiram bensin, dan diseret ke api menyala. Dia tak lagi bergerak ketika api itu melalap tubuhnya. Keponakannya yang masih 12 tahun itu melihat semuanya.

Polisi yang tiba di lokasi kalah banyak dengan massa. ”Kami hanya sembilan orang,” kata Aiptu Irvan Lubis, Kapolsek setempat. Bantuan satu peleton polisi dari Takengon baru sampai esok harinya. Kepala Polres Aceh Tengah AKBP Kawedar menyatakan menerima laporan peristiwa itu dari pesan pendek di teleponnya sekitar pukul tiga dini hari. ”Tidak ada sinyal. Cuaca berkabut, jalanan rusak,” kata Kawedar soal pasukannya datang telat.

Empat jenazah ditemukan hangus. Mereka adalah Ramlan, 35 tahun, Sabri, 25 tahun, Selamat, 25 tahun, dan Gading. Di sumur sedalam 35 meter, Polisi menemukan satu mayat lain: Sejahtera Putra, 24 tahun. Kata seorang saksi, Sejahtera sempat masuk ke gorong-gorong untuk menyelamatkan diri. Namun, nahas, ia ketahuan lalu dilempar dalam sumur. Mayatnya baru bisa dievakuasi setelah tim Labfor dari Medan tiba di lokasi, Senin pekan lalu.

Yang lolos dari maut adalah Suhandar, 27 tahun. Punggungnya tergores parang dengan tiga luka tetak di kepala. Dia dilarikan ke rumah sakit dengan pengawalan 11 polisi bersenjata lengkap. Tidak satu pun boleh menjenguknya kecuali atas izin Kepala Polres. Saksi hidup lainnya adalah Tega Sendi, 27 tahun. Dia kini disembunyikan aparat keamanan guna penyelidikan.

Sampai Jumat pekan lalu, polisi sudah menahan 16 orang tersangka dan memeriksa 32 saksi. Sebelumnya, polisi menahan lima tersangka, yaitu M. Sarjono, 29 tahun, Ahmad Zainuddin, 32 tahun, Giman, 32 tahun, dan Sumardi, 70 tahun. ”Semuanya warga setempat,” kata Kawedar.

Lalu, adakah hubungan insiden itu dengan cekcok di Takengon? Kawedar tak begitu pasti. Tapi dia mengatakan, dalam pemeriksaan para tersangka mengaku tak bisa menerima kehadiran kantor KPA di wilayah mereka, karena anggotanya suka memalak warga. Dia juga tak menutup kemungkinan peristiwa itu terkait dengan ribut-ribut soal terminal itu. Saat peristiwa berlangsung, massa IPT memang sedang terkonsentrasi di kantor bupati di Takengon. ”Belum ada korelasi mendasar, tapi mereka ini saling kontaklah,” kata Kawedar.

Di Banda Aceh, juru bicara KPA Pusat, Ibrahim KBS, menyatakan berterima kasih kepada polisi yang berhasil menahan sejumlah tersangka. ”Kami yakin ada yang mau merusak perdamaian di Aceh,” ujarnya.

Nezar Patria, Maimun Saleh (Takengon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus