Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAIMIN Soleh sedang mengawasi anak buahnya merebus ikan teri di depan rumahnya di Desa Sumber Jaya, Pandeglang, Banten, pada Sabtu malam dua pekan lalu, ketika dia mendengar gemuruh dari arah laut. Pengusaha teri itu seketika mengalihkan pandangan ke sumber suara.
Malam itu, bulan yang masih purnama tak tersaput awan. Dari rumahnya yang berjarak sekitar 70 meter dari bibir pantai itu, ia melihat ombak—yang menurut perkiraannya—setinggi pohon kelapa mendekati pesisir. Sempat tercekam, pria 60 tahun itu berseru-seru begitu kesadarannya pulih: “Tsunami! Tsunami!”
Pikiran Daimin bercabang: masuk ke rumah untuk mengungsikan keluarga atau langsung menyelamatkan diri menuju tempat yang tinggi. Ia akhirnya memutuskan masuk ke rumah. Diterangi lampu telepon selulernya, Daimin berlari ke ruang tengah untuk membangunkan istrinya, Kastinah, yang berbaring di sana. Lima menit sebelum Daimin melihat gelombang besar, listrik padam. “Mah, bangun! Ada air!” Daimin berteriak.
Sesungguhnya Kastinah telah terjaga dari tidurnya yang baru satu jam. Begitu Daimin memekikkan “tsunami” berulang-ulang dari depan rumah sekitar pukul setengah sepuluh, perempuan 55 tahun itu terperanjat karena kaget. Tapi dia tak percaya tsunami datang.
Kastinah. Tempo/Devy Ernis
Tinggal di daerah pesisir, Kastinah sudah kenyang dengan informasi gelombang meninggi. Menenangkan Daimin, Kastinah mengatakan yang dilihat suaminya barangkali gelombang pasang. Bila itu tsunami, mesti ada gempa yang mendahuluinya sebagaimana yang dia ketahui. “Saya bilang itu mungkin air pasang karena biasanya begitu,” ujar Kastinah, menceritakan lagi kejadian tersebut, pada Rabu pekan lalu.
Mendengar ucapan Kastinah, perasaan Daimin makin kacau: antara takut gelombang segera tiba dan jengkel karena istrinya tak mempercayainya. Malas berdebat, Daimin merogoh sosi dari sakunya dan memberikannya kepada Kastinah. Anak kunci itu untuk membuka kotak berisi duit simpanan dari hasil usahanya. “Ini kuncinya kalau mau ambil uang,” kata Kastinah menirukan ucapan suaminya.
Setelah kunci berada di tangan Kastinah, Daimin ngibrit sekuat tenaga meninggalkan keluarganya. Di rumah itu, tinggal istrinya; Meryana, anak bungsunya yang berumur 18 tahun; dan cucunya, Kania Putri, 2 tahun 9 bulan. Meryana adalah ibu Kania. “Saya sebetulnya ingat terus sama Kania. Kan, dia masih kecil. Kalau istri, kan, sudah tua,” ujar Daimin.
Melihat suaminya menghambur duluan, Kastinah bingung sekaligus dongkol. “Lagi gelap malah ngasih kunci. Boro-boro nyari uang, mau lari juga susah,” katanya.
Walau begitu, ia memutuskan menyelamatkan diri juga. Ia berlari ke kamar Meryana dan membangunkannya. Meryana langsung terjaga dan meraih Kania. Sambil mendekap Kania, Meryana lari sekencang-kencangnya. Kastinah beberapa langkah di belakang.
Baru sekitar 20 langkah mereka berlari, ombak setinggi sekitar lima meter menghembalang. Kastinah terpisah dari anak dan cucunya. Dia terseret sejauh 100 meter dari rumahnya. Tiga kali badannya dihantam ombak. Gelombang pertama menyungkurkannya hingga bibir atasnya robek terantuk bebatuan. Kastinah meronta agar bisa mengapung di air.
Menyapukan pandangan, Kastinah melihat sebuah kapal cepat hanyut di antara puing-puing. “Saya pikir saya terseret ke laut. Ternyata masih di darat. Saya lihat atap rumah tetangga,” ujarnya. Ia kemudian meraih sebatang bambu yang mengempar di dekatnya.
Baru saja dia memeluk bambu, badannya kembali dihajar ombak. Kali ini betis kanannya terkoyak benda tajam. Kastinah mengaduh, tapi tak melepaskan bambu pegangannya. Badannya terombang-ambing. Kepalanya sempat kelelep, tapi ia berhasil muncul lagi di permukaan untuk mengambil napas.
Dalam kondisi badannya yang sudah lemas, ombak menghantam untuk ketiga kalinya. Kastinah pasrah. “Ya, Allah, saya pikir pasti mati,” katanya. Tapi air perlahan surut.
Dengan badan bertungkus lumpur dan kaki berlumur darah, Kastinah tergopoh-gopoh mencari anak dan cucunya. Berkali-kali dia berteriak memanggil nama mereka. Setelah Kastinah berjalan beberapa langkah, dari arah belakang seseorang memanggilnya: “Mah! Mah!”
Itu suara Daimin. “Saya kira suami saya enggak terkena tsunami. Ternyata ikut tergulung,” ujar Kastinah. Mereka berpelukan, lalu saling menanyakan kabar Meryana dan Kania Putri.
Daimin dan Kastinah kemudian menyusuri kampung yang sudah luluh-lantak. Badan Penanggulangan Bencana Nasional menyebutkan Kecamatan Sumur yang menaungi Desa Sumber Jaya adalah wilayah paling parah disapu tsunami Selat Sunda. Penyebabnya, selain Sumur masuk daerah empasan kuat tsunami, warganya banyak mendirikan bangunan di pesisir.
Tsunami yang mengempas daratan Banten dan Lampung ini menyebabkan lebih dari 400 jiwa tewas, ribuan terluka, dan lebih dari 20 ribu jiwa mengungsi. Pemerintah Pandeglang menyebutkan seperempat dari korban tewas adalah warga Sumur, kecamatan tempat tinggal Daimin dan Kastinah. Terletak sekitar 60 kilometer ke arah selatan dari Pantai Tanjung Lesung, kecamatan ini baru terjangkau bantuan pada hari kedua setelah bencana.
Suami-istri itu memutuskan kembali ke rumah. Samar-samar mereka melihat Meryana memangku Kania berdiri di depan pagar rumah abangnya, Rosidi, 36 tahun. Kediaman anak pertama Daimin dan Kastinah itu berjarak tiga rumah dari tempat tinggal mereka. Kastinah menangis melihat keduanya masih hidup. “Gusti Allah masih kasih hidup anak-cucu saya,” ujarnya.
Namun Meryana tak baik-baik saja. Kaki kiri dan kanannya belepotan darah. Lengannya penuh bilur. Kania, sang cucu, juga baret-baret. Kepalanya bahkan harus mengalami delapan jahitan karena robek terbeset puing.
Meryana. Tempo/Devy Ernis
Setelah agak tenang, Meryana bercerita. Saat tsunami menerjang, ia terpental. Setelah digulung ombak, ia berpegangan pada pagar rumah kakaknya sembari mendekap erat Kania. Ombak berusaha menyeret Meryana dan anaknya. Telepon seluler di genggamannya dia buang supaya jemarinya bisa mencengkeram Kania. “Waktu lari ke luar rumah, saya sempat bawa HP,” kata Meryana.
Ketika gelombang kedua datang, Kania nyaris terlepas dari pelukan Meryana. Untungnya, Meryana sempat meraih tangan sang anak. Didekapnya kembali Kania. Namun sebelah tangan Meryana tak lagi berpegangan pada pagar. Ibu dan anak itu pun terseret ke arah laut.
Setelah lebih dari sepuluh menit mereka terombang-ambing, air mulai surut. Kaki Meryana kembali menjejak tanah. Ia berteriak minta tolong. Kania tak bersuara. Anak itu bahkan tak menangis. Ia hanya batuk-batuk.
Jemi, tetangganya yang sedang menyisir pantai, menemukan mereka. Pemuda 25 tahun itu melepas bajunya yang masih kering untuk dipakai Meryana. “Saat itu Meryana dan anaknya menggigil,” ujar Jemi.
Nasib Meryana beruntung dibanding Dasep, warga Sumur lainnya. Tsunami menewaskan dua anaknya yang berumur satu bulan dan empat tahun. Kakak Dasep, Siti Romlah, berpasrah diri ditinggal pergi keponakannya. “Tapi adik saya trauma,” katanya. “Dia sampai tidak mau lagi melihat laut.”
Devy Ernis (Banten)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo