Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAKING seringnya mendengar Gunung Anak Krakatau menggelegar, Anton Sudrajat tak panik manakala gunung yang terletak 50 kilometer dari tempatnya bekerja itu meletus. Maka, ketika erupsi Anak Krakatau terjadi berkali-kali pada Sabtu siang dua pekan lalu, pegawai Tanjung Lesung Beach Club itu berkelakar kepada temannya. “Anak Krakatau sedang batuk,” kata Anton, menceritakan lagi peristiwa itu, Senin pekan lalu.
Menjelang petang, dentuman gunung setinggi 338 meter itu tak lagi sesering pada siang hari. Dari hotel yang terletak di pesisir Pandeglang, Banten, tersebut, orang-orang melihat asap membubung dari kepundan gunung. “Seperti wedhus gembel,” ujar Ahmad Suprapto, teknisi hotel itu. Asap terus berpilin ke udara. Dari jauh, bentuknya menyerupai bulu domba yang lebat.
Ini juga yang dilihat Hendi Irawan dari Pantai Palem di Anyer, Serang, yang berjarak sekitar 60 kilometer ke arah utara dari Tanjung Lesung. Bersama beberapa rekannya, pesepeda asal Depok, Jawa Barat, ini mendirikan tenda di pantai. Dari tempatnya berkemah, setelah hari gelap, Hendi bahkan melihat Anak Krakatau memijarkan lava setelah berdentum. “Suaranya keras seperti geledek,” katanya.
Menurut Hendi, tinggi gelombang masih normal sampai bakda magrib. Sekitar pukul setengah sepuluh malam, ombak yang membentur pantai kian besar. Hendi awalnya mengira air pasang belaka, hingga ia menyadari ombak menerjang area kemahnya. Diliputi kepanikan, ia dan kawan-kawannya berlari sekencang-kencangnya ke arah jalan raya, yang tak jauh dari pantai. Di sana, mereka berbaur dengan orang-orang yang tunggang-langgang menyelamatkan diri dari tsunami.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan tinggi tsunami Selat Sunda mencapai 2-5 meter dengan empasan paling kuat ke arah selatan-barat daya. Tapi di arah itu tak ada daratan dengan bangunan dan jumlah penduduk yang padat. Ke arah tenggara, gelombang yang masih kuat menyapu wilayah Tanjung Lesung hingga Sumur, juga di Pandeglang.
Kondisi Gunung Anak Krakatau yang terus mengalami erupsi pada Ahad, 23 Desember 2018. TEMPO/Syafiul Hadi
Ini yang menyebabkan Sumur paling luluh-lantak. Kecamatan di selatan Tanjung Lesung ini sempat terisolasi. Hingga Rabu pekan lalu, BNPB mencatat bencana di Banten dan Lampung menyebabkan 430 orang tewas dan sedikitnya 1.400 orang terluka. Bencana itu juga mengakibatkan lebih dari 20 ribu jiwa mengungsi.
Berstatus “waspada” sejak Juni lalu, Anak Krakatau tak henti-henti memuntahkan lava dan abu. Pada Kamis pekan lalu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, atau disingkat Badan Geologi, menaikkan statusnya menjadi “siaga”.
Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomopurbo mengatakan tsunami Selat Sunda dipicu longsoran kepundan Gunung Anak Krakatau di sisi barat daya seluas 64 hektare—setara dengan dua pertiga luas Lapangan Monas. Bagian itu, menurut Antonius, rapuh karena hanya tersusun dari batuan yang bertumpuk. Tremor vulkanis dan curah hujan yang tinggi membuat tumpukan batu itu longsor dan jatuh ke laut. Inilah yang membuat Selat Sunda beriak pada Sabtu malam itu.
Lindu dan guguran material Anak Krakatau itu bukannya tak tercatat di seismograf Badan Geologi. Antonius menjelaskan, lembaganya memasang empat alat pengukur getaran. Tiga unit tertanam di perut gunung, sementara sisanya di Pulau Sertung.
Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Badan Geologi, Kristianto, menerangkan, dua seismograf di perut Anak Krakatau diduga mati ketika gunung ini meletus pada Februari 2017. Satu unit yang tersisa rusak dihantam guguran lava pada erupsi pukul 20.56, Sabtu dua pekan lalu. Tujuh menit setelah erupsi ini, longsor seluas 64 hektare terjadi di sisi barat daya gunung.
Badan Geologi akhirnya mengandalkan seismograf terakhir di Pulau Sertung. “Sistem seismograf gunung api memang diatur akan mati ketika gunung meletus, kemudian seismograf lain yang dipasang berjauhan otomatis mengambil alih,” kata Kristianto.
Ketika kerja seismograf Badan Geologi dioper dari Anak Krakatau ke Pulau Sertung, alat pengukur gempa milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di pos pantau Cigeulis, Pandeglang, menangkap lindu berkekuatan 3,4 magnitudo dengan episentrum di Anak Krakatau. Bersamaan dengan getaran itu, gelombang tsunami menjalar dengan kecepatan 600-800 kilometer per jam ke daratan Banten dan Lampung.
Pada pukul 21.27, kurang dari setengah jam setelah kepundan Anak Krakatau longsor, Badan Informasi Geospasial yang mengoperasikan tide gauge, alat pengukur ketinggian air laut, menerima sinyal air laut naik setinggi lebih dari dua meter di Stasiun Marina Jambu, Banten. Berturut-turut sinyal yang sama diterima tide gauge di Stasiun Banten serta Stasiun Panjang dan Kota Agung di Lampung.
Namun tide gauge tak bisa dijadikan sistem peringatan dini karena alat itu terpasang di bibir pantai. “Sinyal baru dapat dibaca sementara tsunami sudah menghantam,” ujar Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar, Mohamad Arief Syafi’i.
Kepala Bidang Mitigasi BMKG Tiar Prasetya mengatakan, meski BMKG mendeteksi gempa 3,4 magnitudo, lembaganya tak mengeluarkan peringatan dini tsunami. Berdasarkan catatan BMKG, tak pernah ada tsunami di Indonesia yang dipicu lindu di bawah 7 magnitudo. “Tsunami itu dipicu aktivitas vulkanis yang bukan ranah pengamatan BMKG,” kata Tiar. “Kami berfokus meneliti gempa dan tsunami karena aktivitas tektonis.”
BMKG bahkan sempat mengumumkan bahwa gelombang tinggi yang menyapu Banten dan Lampung sekitar pukul setengah sepuluh malam Sabtu dua pekan lalu itu bukan tsunami. Belakangan, BMKG meralat pernyataannya setelah berkomunikasi dengan Badan Geologi.
Masalahnya, pengelola hotel di sepanjang pantai barat Banten hanya mengandalkan peringatan dini BMKG. Tanjung Lesung Resort, misalnya, akan memperingatkan tamu agar menjauh dari pantai melalui pengeras suara bila BMKG melaporkan cuaca memburuk atau gelombang makin tinggi. “Setiap hari kami pantau melalui aplikasi BMKG. Kami juga mendapatkan SMS mengenai kondisi cuaca dan Anak Krakatau dari BMKG,” ujar Rully Lasahido, Direktur PT Banten West Java Tourism Development Corporation, yang mengelola Tanjung Lesung Resort.
Di Tanjung Lesung Resort pada Sabtu malam dua pekan lalu, band pop Seventeen manggung dalam acara yang diselenggarakan PT PLN. Panggung mereka hanya berjarak tiga meter dari pantai. Selain ditonton pegawai PLN dan keluarganya, acara itu dijubeli warga sekitar. Ketika tsunami datang tanpa peringatan, sebagian dari mereka tersapu. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah Pandeglang, korban tewas tsunami Selat Sunda terbanyak adalah penonton Seventeen.
Menurut Tiar Prasetya, sebenarnya alat paling ampuh untuk mendeteksi tsunami, baik karena pergeseran sesar bumi maupun akibat letusan gunung api, adalah buoy—pelampung canggih yang menangkap tinggi gelombang. Sejak tsunami Aceh, pemerintah lewat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengelola 22 buoy, yang sebagian merupakan hibah dari Amerika Serikat, Jerman, dan Malaysia.
Puing-puing bangunan rumah warga pascatsunami di kawasan Sumur, Pandeglang, Banten, 26 Desember 2018. TEMPO/M Taufan Rengganis
Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Hammam Riza mengatakan, sejak 2012, tak ada satu pun buoy yang dipasang di sekitar Gunung Anak Krakatau. “Kebanyakan buoy diletakkan di Samudera Hindia berjajar di selatan Pulau Jawa,” ujar Hammam.
Minimnya alat pendeteksi gelombang laut di Selat Sunda diperparah dengan hilangnya alat pengukur gelombang dan arus yang dipasang dua kilometer di lepas pantai yang berhadapan dengan Marbella Hotel, Anyer, pada 24 Agustus 2018. Jarak pantai itu ke Anak Krakatau sekitar 50 kilometer. “Alat itu berfungsi mengukur arus laut,” kata Kepala Subbidang Analisis dan Prediksi Meteorologi Maritim BMKG Zairo Hendrawan.
Badan Geologi menolak disalahkan karena tak memberikan notifikasi kepada BMKG perihal perubahan kondisi Gunung Anak Krakatau setelah meletus, termasuk adanya longsoran yang jatuh ke laut dan berpotensi menimbulkan tsunami. Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomopurbo menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, satu-satunya lembaga yang berhak merilis peringatan dini tsunami adalah BMKG. “Tugas kami mengamati aktivitas gunung berapi dan merilis perubahan statusnya,” -ujarnya.
Menyadari ada bolong dalam sistem peringatan dini tsunami, badan-badan pemerintah yang berurusan dengan hal tersebut menggelar rapat sehari setelah bencana Selat Sunda. Ada Badan Geologi dan BMKG. Juga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Informasi Geospasial, dan BPPT. Salah satu keputusannya, BMKG bisa mengakses data gempa vulkanis dalam sistem peringatan dini Badan Geologi, yang selama ini di luar jangkauannya.
Raymundus Rikang, M. Rosseno Aji (Jakarta), Devy Ernis (Banten)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo