Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Lebaran Yang Ramai, Lebaran Yang Jauh,..

Perayaan dan suasana lebaran di Washington, London, Tokyo dan pulau buru. Washington dan London memiliki masjid megah. Di Inherab pulau buru diadakan berbagai kegiatan yang bernafas keagamaan. (ag)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMI rangkumkan berikut ini gambaran perayaan lebaran di beberapa tempat yang barangkali belum pernah anda saksikan, setidak-tidaknya anda resapkan suasananya di Hari Idulfitri. Dari AS pembantu kita Abdul Nur Adnan menceritakan suasana ibadah segala bangsa di Washington, dengan beberapa sisipan oleh Syu'bah Asa, sementara pembantu dari London menuturkan kesan-kesannya yang sangat priba,li. Haji D. Lukman Wiraatmadja, Atase Perhubungan pada KBRI di Tokyo, berbaik hati menyumbang menuturkan kesibukan keluarga Indonesia di hari bahagia itu --dengan tambahan di bagian akhir dari Chairil SD dari Antara --sementara kami beruntung pula mendapat tulisan seorang bekas tahanan politik yang penting di Pulau Buru, S.l. Poeradisastra. DI WASHINGTON: Sembahyang Di Tengah Penonton Lebaran di Amerika? Tidak beda dengan hari biasa. Tidak ada hari libur, tidak ada THR. Yang ingin ke mesjid tidak ada ampun: harus ambil cuti. Tentu saja yang Islam tidak sayang untuk itu. Tidak semua kota beruntung punya mesjid. Hanya kota-kota besar seperti Washington, New York, Chicago dan berbagai kota lainnya akhir-akhir ini. Tetapi mengapa musti mesjid Di aula universitas, di ruang perpustakaan kota, di rumah pribadi, semuanya bisa. Bahkan ada juga yang mengambil tempat di balai pertemuan gereja! Bagaimana dengan lapangan terbuka? Wah, lihat dulu cuacanya. Kalau salju turun, atau lebaran jatuh di musim gugur atau musim dingin, angan main-main. Kan Tuhan berfirman: "langan campakkan dirimu ke dalam kebinasaan." Pada musim dingin, ayat itu bisa berarti: "Jangan sembahyang di tengah lapangan . . . Di Mesjid Washington, yang sudah terasa terlalu kecil itu, takbiran mulai mengumandang pukul 8.00 pagi -- hingga saat sembahyang pukul 10.00. Polisi lalulintas setempat ikut mengatur mobil-mobil yang menyumpal Jalan Raya Massachussets yang elite. Tidak seperti di Indonesia, di mana takbiran dipimpin imam dan diikuti jemaah, muslimin Washington agaknya ingin menyuarakan takbir sebanyak-banyaknya: mereka berdengung bersama-sama terus-menerus tanpa disela-selai suara imam. Mencerminkan wilayah para penganut Islam di dunia, bendera negara-negara Islam pun dikibarkan di depan mesjid. Ditambah tenda-tenda yang dibangun di halaman mesjid, yang tertutup rapat -- untuk menolak dingin dari luar -- dan jemaah dengan berbagai pakaian nasional warna-warni, peristiwa itu memang selalu menarik perhatian orang yang lewat di jalan kelas satu itu. Orang pada berhenti, nonton. Mereka mengelilingi halaman, berdiri diam-diam satu dua lapis. Bahkan ada juga penonton wanita, yang setelah ibadah selesai menghadiahi "sun" kepada kenalannya (misalnya seorang mahasiswa asing) yang mungkin tadinya diantarnya ke mesjid -- mengira bahwa ucapan selamat model itu juga berlaku di kalangan muslimin. Hal itu takkan dilakukan oleh orang Islam Amerika sendiri. Memang lebaran di Washington bisa menjadi obyek turisme atau sarana da'wah, tergantung cara anda melihat. Sebab di antara mereka yang baru masuk Islam, sebagian juga berasal dari "penonton" itu. Mereka umumnya cukup terkesan pada kenyataan bahwa orangoran dari berbagai bangsa denan berbagai pakaian dan tentu juga adat-istiadat, dan berbagai bahasa, bisa bersama-sama sembahyang di satu "gereja". Selain itu sembahyang Id di ibukota Amerika bisa juga menimbulkan masalah fiqh. Begini: mesjid itu dibangun agaknya dengan perhitungan, bahwa dalam waktu cukup lama muslimin di sini tidak akan melebihi 1.000 orang. Karena itu bagian dalam masjid yang tertutup, yang dilengkapi sistim pemanas dan pendingin, hanya dapat menampung jemaah sebanyak itu. Tahunya, dalam tempo 20 tahun jemaat mesjid tersebut sudah berkembang biak sampai 20.000-an orang. Akibatnya pada peristiwa besar seperti lebaran, pengunjung luber ke luar sampai harus didirikan tenda-tenda. Pintu bagian dalam tidak mungkin dibuka (agar udara dingin tidak masuk) sehingga antara jemaah di mesjid dan jamaah dalam tenda tidak terjalin kesinambungan -- yang menurut sementara orang merupakan satu syarat sembahyang berjamaah'. Yang ada hanyalah hubungan melalui pengeras suara dan dosed circuit TV. Nah, bolehkah kita makmum lewat radio dan TV? Soal lain lagi: mereka yang bersitegang dengan sembahyang Id dilapangan, harap memikirkan juga bagaimana "nasib" mereka yang hidup di negeri dingin seperti Amerika. Memang Nabi sendiri dahulu sembahyang di mesjid kalau hari hujan. Mengingat kepenuhan jamaah Id di mesjid itulah, Kedutaan Besar RI yang terletak hanya beberapa ratus meter dari mesjid menyelenggarakan juga sembahyang Id. Ini merupakan salah satu prestasi Dubes Syarif Thayeb beberapa tahun lalu yang sampai sekarang masih diteruskan. Dengan fasilitas ini banyak diplomat muslim dan masyarakat Indonesia lainnya yang semula "tidak sempat ke mesjid" -- meskipun setahun sekali-dengan alasan tidak tahan dingin, sekarang boleh gembira. Jamaah di KBRI itupun lumayan. Dengan mengikuti sembahyang di tempat ini, sekaligus mereka dapat bermaaf-maafan dengan Bapak Duta dan yang lain-lain. Sehabis sembahyang di rumah Dubes biasanya terbuka dan malamnya masyarakat kita mengadakan halal bihalal. Di Mesjid Washington, selesai khotbah, orang pun mulai berdiri berpeluk-pelukan sambil saling mengucap "Id mubarak". Tak pernah terdengar ucapan "minal aidin walfaizin, maaf lahirbatin" -- kecuali dari orang Indonesia yang kebetulan berpapasan dengan saudaranya setanah air. Kebiasaan itu memang khas Indonesia rupanya seperti juga istilah 'halal bihalal' -- dicari di seluruh dunia Islam lainnya tak bakal ketemu. Di halaman mesjid, minuman dan makanan dari segala bangsa melimpah. Malam sebelumnya di kantor mesjid, gadis-gadis Amerika dengan rok dan kerudung mengatur makanan itu bersama panitia yang menerima setoran zakat. Mereka bercanda sedikit-sedikit, dan suasananya mengingatkan pada gadis-gadis fatayat atau muslimat di kampung-kampung kita. Makanan itu dibagikan di hari Id itu, sebagai tanda bahwa masa puasa sudah selesai. Gadis-gadis Palestina yang cantik-cantik pun mengedarkan kotak-kotak: dana pembebasan Palestina. Mahasiswa-mahasiswa Iran sibuk mengumpulkan simpatisan untuk demonstrasi ke kedutaannya, yang letaknya tidak jauh dari mesjid, untuk mengganyang Syah. Saudara-saudara muslim hitam, menyebar majalah-majalah bernapas agama yang mereka terbitkan. Adapun yang Indonesia umumnya lebih suka bergegas pulang untuk menghajar kupat-lontong, sambal goreng ati dan sate ayam yang semuanya mudah mereka siapkan, meski tanpa daun kelapa muda atau daun pisang. Mereka terpaksa memakai cara baru: kertas aluminium dan bahan pewarna untuk mengganti sarana-sarana alam tadi. Anak-anak pun menerima kado untuk memancing keriangan mereka -- sebagai ganti kado yang diterima kawan-kawan mereka yang Amerika di hari Natal. Dan di luar itu, Amerika tetap berjalan seperti biasa. DI LONDON: Berpeluk dengan Sepi Sembahyang Id di London? Sudah tentu. Di London terdapat kira-kira setengab juta umat muslimin, sementara di seluruh Inggeris Raya tercatat sekitar 1 juta orang. Para pemukim Islam pertama di negeri ini adalah para pelaut India dan Pakistan -- yang mulai menetap kurang lebih seratus tahun yang lalu. Jumlah itu meningkat cepat sekali sejak 1967, ketika orang-orang India dan Pakistan mengalir dalam gelombang-gelombang besar dari Afrika -- menyusul program Afrikanisasi. Dan meskipun hubungan Inggeris dengan dunia Islam sudah ada sejak zaman perang salib, baru sekarang inilah London menjadi pusat kebudayaan Islam untuk seluruh Eropa -- seperti halnya Washington atau New York untuk seluruh benua Amerika. Di tengah kota ini pulalah tegak Mesjid Raya London yang megah, yang baru tahun lalu selesai dibangun dengan biaya empat juu pound sterling (sekitar tiga milyar rupiah). Ruang utamanya-yang terletak di bawah kubah -- bisa menampung 1500 orang, tapi dengan digunakannya ruang bawah tanah dan seluruh pelataran di depannya, mesjid ini dapat memuat kira-kira 10.000 ummat. Tapi, ternyata, masih jua belum cukup. Karena itu sekalipun di London ada sedikit-dikitnya tiga buah mesjid, Mesjid Raya London masih juga harus melakukan tiga kali upacara sembahyang Id sehari itu -- untuk menampung mereka yang terlambat, yang rumahnya jauh dan yang tidak kebagian tempat. Bagi masyarakat Indonesia, yang jumlahnya hampir tiga ribu orang di seluruh Inggeris, kantor Kedutaan Besar menjadi tempat berkumpul, baik untuk solat Id maupun untuk bersilaturahmi. Setidak-tidaknya untuk mencari "suasana Indonesia". Dalam saat-saat begini kerinduan pada kampung halaman sangat mencekam hati. rerasa adanya sesuatu yang hilang, yang biasanya ada di sekitar kami dan sekarang ini dibutuhkan sekali tapi tak muncul keluarga, sahabat, tetangga, dan kebiasaan ziarah-menziarahi. Kami berjabat tangan dan ber-minalaidin dengan rekan-rekan, dengan para pejabat, tapi mana ayah, ibu, mana mertua dan adik-adik? Mana tetangga yang tersenyum lebar mengulurkan tangannya? Dan ke mana anak-anak kampung yang biasanya beramai-ramai datang ke rumah dengan baju baru mereka, dan mengucapkan "lamlekum Oom, lamlekum Tante, bagi sedekah dong?" Setiap orang di kedutaan bertukar senyum dan berjabat tangan. Lalu antre makanan di lorong sempit, seperti pada acara-acara lain yang diadakan di kedutaan. Meja penuh dengan makanan -- tapi tak ada ketupat. Di rumah, anak-beranak kami berpelukan dan terhenyak diam di kursi besar. Isteri saya menangis, tapi mata saya pun panas menahan genangan kesedihan karena hilangnya kebiasaan dan keluarga. Bulan Ramadhan di Inggeris ini hanya mengizinkan kami berbuka pada sekitar jam 8.30 malam -- sejak imsak jam tiga subuh. Selamat Hari Raya Idul Fitri di tanah air. DI TOKYO: Ramadhan Tanpa Klimaks Selama ditempatkan di Tokyo, kami telah mengalami berpuasa dalam beberapa musim -- karena memang tiap tahunnya selalu maju 2 minggu dibanding tahun Masehi. Kini jatuh pada musim panas yang sangat terik. Waktu Imsak jam 02.50 dinihari, waktu berbuka jam 06.42 sore. Sungguh agak berat rasanya bagi kami. Bagi ibu-ibu barangkali biasa saja, karena mereka dapat pergi ber-window shopping ke dept. stores sesudah menyelesaikan tugas di rumah. Yang terasa hampa ialah tidak adanya bedug yang berbunyi membangunkan kami untuk makan sahur dan berbuka. Keluarga Masyarakat Islam Indonesia (KMII) di Tokyo, mengadakan malam tarawih di Balai Indonesia, dan setiap malamnya mendapat jemaah cukup banyak -- 80 orang lebih. Yang menjadi imam dan yang ceramah bergiliran, sehingga suasana akrab sekali. Selesai sembahyang kami mengadakan tadarus dan disusul dengan acara santai, yang juga seperti di Indonesia dinikmati dengan bersantap makanan kecil yang dibawakan oleh ibu-ibu yang menyumbang bergantian. Suasana malam-malam tarawih seperti di Tanah Air saja rasanya. Malam Nuzul'ul Qur'an diperingati dengan sederhana dan gotong-royong. Bila malam takbiran datang, kami mengadakan buka puasa bersama. Tiap keluarga menyumbang makanan yang telah ditentukan. Tapi penyelenggaraan lebaran sangat meriah. Undangan tidak terbatas banyaknya, untuk siapa pun boleh, dan perayaan diadakan di Wisma Iegara. Hidangan juga diusahakan agar sama benar dengan hidangan khas Indonesia untuk lebaran, walaupun kami harus berusaha mendatangkan dari Tanah Air. Pembayaran akat pun dilaksanakan dengan baik, lalu dikirimkan ke Indonesia. Kesimpulan Adanya empat musim menyebabkan perbedaan waktu puasa yang agak menyolok. Ramadan di musim panas bisa 15 sampai 16 jam, sedang di musim dingin cuma 10 sampai 11 jam. Jadwal puasa didapat dari Islamic Center setempat berdasarkan data Tokyo Tenmondai (observatorium) di Mitaka. Berpuasa di tengah masyarakat non-Islam seperti di Jepang, godaan dan percobaannya lebih besar. Tapi kebalikannya berarti memperkuat iman. Selain tidak terdengarnya bunyi bedug, suatu hal yang sangat dirasakan hilang bagi masyarakat Islam di rantau ialah tidak adanya "klimaks". Klimaks itu ialah malam takbir seperti di tanah air. DI PULAU BURU: Takbir Di Balik Terali Tetapi di Pulau Buru, malam takbir dihidupkan dengan cukup meriah. Di Inrehab (Instalasi Rehabilitasi) di sini pernah bermukim kira-kira 12.000 tahanan politik G-30-S/PKI golongan B. dengan dibebaskannya 1.501 orang tanggal 20 Desember 1977, sekarang masih berdiam sekitar 10.500 orang, tersebar di 21 unit dan sebuah pedesaan baru, Savanajaya. Di tempat terahhir ini berdiam mereka yang keluaranya menyusul. Bagi para tahanan ini, khususnya yang di unit-unit, sudah tentu suka-duka berlebaran berbeda dengan di luar. Kecuali di Desa Savanajaya, perekonomian di daerah Inrehab Pulau Buru diatur oleh unit dan barak masing-masing. Hasil panen padi menjadi milik unit, hasil panen palawija menjadi milik barak. Karena itu barak-baraklah yang musti mengadakan persediaan lebaran. Biasanya jauh-jauh hari mereka telah menyiapkan kacang kedelai untuk dibuat tempe. Kalau satu barak tak punya kedelai, dicari pinjaman dari barak lain -- atau kalau ada iin dari komandan unit dipinjam dari unit lain. Karena di Pulau Buru tak ada batu besar untuk dijadikan gilingan tahu juga tak ada bungkil kacang tanah untuk membuat oncom, maka tempe merupakan hidangan yang paling istimewa. Dari jauh hari barak-barak juga telah mengadakan 'inventarisasi' jumlah itik, mentog (bebek Manila) dan ayam jago yang akan disembelih Kambing tak ada. Sedang kerbau dan sapi merupakan 'kawan sekerja' yang setia, sehingga tak boleh dipotong. Di sebagian unit, di mana diizinkan beternak secara perseorangan, kepada para warga barak diminta sumbangan sukarela ternak sembelihan untuk hari besar ini. Sengaja dipilih yang Jantan, karena menyembelih ternak betina, menurut kaidah yang berlaku di Buru, merupakan suatu "dosa". Dari ternak dan telurlah barak-barak mendapat uang atau 'cheque' untuk membeli garam, minyak tanah, dan obat-obatan. Keistimewaan lebaran di Buru adalah tak peduli apa agama seseorang, ia akan sama menikmati hidangan yang disediakan. (Pada tahun baru 1 Januari kaum muslimin pun menikmati hidangan). Dalam rangka perayaan lebaran diadakan pertunjukan drama dan paduan suara, yang diikuti pula oleh teman-teman beragama lain. Pernah dipentaskan drama Bilal ibn Rabah dan Yaum al Qiyamah dengan pemainnya kebetulan sebagian besar bukan-muslim. Tak mengapa. Pada gilirannya saudara-saudara Protestan dan Katolik meminjam tenaga dramawan muslimin untuk cerita Natal! Saya sendiri pernah di "bon" untuk mengarang drama Natal pada Desember 1974. Keistimewaannya lagi: semua tokoh wanita diperankan pria (sebab tak ada wanita, 'kan?). Ma'af saja, kalau pada puncak adegan cinta yang mesra, suara kecil sang "wanita" mendadak-sontak menggeram seperti suara banci Jalan Thamrin di Jakarta. Inilah toleransi agama versi Buru. Khusus bagi ummat Islam, setahun dua kali diadakan musabaqah tilawatil Qur'an, biasanya pada bulan Rabiu'l awal (Maulud) dan pada bulan Ramadhan. Peserta dan juri semuanya tapol. Mula-mula pada tingkat sektor (di Inrehab Buru ada 3 sektor). Kemudian se-lnrehab. Juara pertama biasanya ganti-berganti dari Banten dan DKI Jaya -- gudang qari-qari Inrehab Buru. Ketika saya ditugaskan komandan unit untuk menjadi anggota juri MTQ saya menjadi kelabakan. Hanya tahu segenggam kecil Bahasa 'Arab, pernah belajar sedikit makhraj dan tajwid, bagaimana dapat menjadi juri kalau tak tahu aliran-aliran seni baca (qira'at)? Tapi apa boleh buat, tugas musti dijalankan. Dan alhamdulillah tak terjadi sesuatu malapetaka. Yang paling menyenangkan bagi tapol adalah, kalau diizinkan berlebaran ke unit-unit lain. Namanya beranjang seno (dari bahasa Sunda nganjang = bertamu, sono = rindu). Gembira bukan main: 60 kilometer pergi dan pulang ditempuh jalan kaki. Tak perlu biaya, karena di mana-mana dijamu makan dan minum. Setiap unit yang dilalui, mengajak singgah. Kalau kaki lecet, sepatu atau sendal dijinjing. Kalau kemalaman minta minyak tanah di barak yang disinggahi, membuat obor. Pokoknya bisa kembali ke unit sebelum apel keesokan harinya. Adapun bagi anak muda, idaman yang dirindukan pada setiap lebaran tak lain mendapat izin ke Desa Savanajaya. Dapat menikmati hidangan kue dan makanan -- yang dimasak oleh tangan-tangan halus para ibu dan anak-anak dara. Dapat melihat wajah-wajah yang tak kumal: wanita asli! Kalau Inrehab mengeluarkan izin, gembiranya bagai orang bebas mendapat hadiah Undian Harapan. Mungkin melebihi. Yah, walaupun di Savanajaya tak boleh menginap. Biasanya menginap di Unit XIV/Bantalareja, 1 kilometer dari Savanajaya. Lagi pula izin ke Savanajaya tidak mudah diperoleh: lebih sukar daripada lulusan SMA pelosok diterima di FKUI Salemba. Kira-kira 40-50% kaum muslimin di Buru berpuasa Ramadhan. Yaitu yang kuat saja, karena tidak setiap orang mampu berpuasa sambil mencangkul atau menggergaji pohon meranti. Bagi yang tak ada halangan puasa, betul-betul lebaran membawa kegembiraan luar biasa -- karena lulus dari menahan haus dan lapar di udara yang panasnya lebih dari di Jawa. Saya sendiri, yang di luar 2-3 hari batal puasa setiap Ramadhan, selama di Buru -- alhamdulillah! --selalu lulus ujian: tak pernah batal, walau hanya berbuka dengan singkong rebus, karena lepas tarawih pada umumnya orang baru makan. Pulang takbiran, menjelang lebaran besok, melayanglah pikiran kepada anak dan isteri. Kalau airmata menitik ke pipi, itu lumrah, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus