PELUIT tanda siaga telah ditiup oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh, pekan lalu. Operasi perburuan kini disiapkan. Yang jadi sasaran: WNA Cina eks PP-10 yang masih enggan melengkapi dokumen keimigrasiannya. Terhadap para pelanggar hukum itu Menteri Kchakiman berniat mengambil tindakan keras. "Tidak ada maaf. Aparat imigrasi akan disebar untuk melakukan operasi penangkapan," ujar Ismail Saleh, di hadapan anggota Komisi III DPR, Rabu pekan lalu. Ismail Saleh memang punya alasan untuk berang. Setahun lalu, dia melemparkan tawaran simpatik: para WNA Cina eks PP-10 diberi kesempatan menjalani pemutihan atas status kewarganegaraan mereka yang tidak jelas sejak hampir 30 tahun lalu. Pemutihan itu berakhir 15 September lalu. Namun, tawaran menarik itu tampaknya dianggap sepi. Jumlah hoakiau, Cina perantauan, eks PP-10 diperkirakan masih tersisa sekitar 5.000 orang. Hingga awal September ini, menurut catatan Direktorat Jenderal Imigrasi, hanya 1.972 orang yang memanfaatkan kesempatan pemutihan itu. Selebihnya raib tak ketahuan rimbanya. Perkara kerancuan status para hoakiau itu muncul sebagai buntut keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10, 1959. Peraturan itu, antara laln, berisi klausul yang mengharuskan para Cina perantau menjatuhkan pilihan: menjadi WNI atau WN Cina. Kemungkinan berkewarganegaraan ganda ditutup rapat-rapat. Klausul lain berisi ketentuan bahwa para WNA tidak diizinkan menyelenggarakan usaha perdagangan dl luar kota kabupaten. Buntutnya, banyak di antara mereka yang memutuskan pulang ke negeri leluhur. Rupanya, jumlah mereka yang berniat hwee kuo, alias pulang kampung, tidak sedikit. Pada 1960-62, tercatat lebih dari 140.000 hoakiau mendaftarkan diri ikut mudik. Kepada mereka, Jawatan Imigrasi memberikan bekal secarik surat yang disebut EPO (Exit Permit Only). Gelombang pulang kampung pun terjadi. Beberapa kapal RRC sempat beberapa kali datang menjemput, dan membawa pulang sekitar 40 ribu orang. Namun, tak jelas apa yang jadi penyebabnya, tiba-tiba kapal jemputan itu menghentikan trayeknya. Tentu saja, para pemegang EPO yang masih berada di Indonesia jadi tak keruan juntrungan kewarganegaraannya. WNI tidak, WN Cina pun bukan. Padahal, mereka sudah tak lagi memegang secarik pun dokumen imigrasi. Di pihak lain, Jawatan Imigrasi bersikap keras. Jangankan yang memegang EPO, para pemohonnya pun telah dihanguskan dokumen keimigrasiannya. Pemerintah pun sempat bingung. Mendeportasikan mereka? Tak mungkin, karena mereka tak berpaspor. Keadaan kian sulit ketika hubungan diplomatik RI-RRC putus, 1967. Maka, jalan tengah yang diambil pemerintah ialah membiarkan para hoakiau itu tetap tinggal di Indonesia, dengan membekali mereka SBPK (Surat Bukti Pelaporan Kembali). Belasan tahun, mereka tinggal dalam ketidakpastian hukum. Ketentuan baru soal diri mereka baru muncul tahun 1980 lewat Instruksi Presiden No. 2, yang memberi kesempatan mereka untuk memperoleh kewarganegaraan RI melalui proses naturalisasi. Berikutnya, pada tahun itu pula, keluar Keppres No. 13, yang mengatur kemudahan tata cara pemberian naturalisasi. Lewat kedua peraturan itu, banyak pemegang EPO yang dikonversikan jadi WNI. Jumlah hoakiau yang telantar itu pun kian menyusut. Setelah soal kematian segala diperhitungkan, pada 1986, menurut catatan Ditjen Imigrasi, tersisa 5.100 orang yang belum mengurus status keimigrasiannya. Dengan menjalani pemutihan mereka bisa mendapatkan SBPK, berikutnya SKK (Surat Keterangan Kependudukan). Berbekal SKK itu mereka berhak mendapatkan KTP asing, dan boleh mengajukan permohonan warga negara. Perlu diketahui, hanya mereka yang telah lebih dari 15 tahun tinggal di Indonesia yang berhak atas SKK. Lantas, 15 September tahun silam, Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengeluarkan maklumat, agar mereka yang belum mengurus status warga negaranya itu datang ke kantor-kantor imigrasi. Menteri juga memberikan janji: "dosa" mereka yang bertahun nebeng tanpa dokumen resmi itu akan dimaafkan, diputihkan. Dan mereka akan dibantu untuk mendapatkan status WNI. Kesempatan pemutihan itu berlaku selama setahun. Menteri Ismail Saleh tampak begitu kesal, ketika tahu bahwa kurang dari separuh eks PP-10 yang mendaftar kembali. Maka, gertaknya pun menghambur. "Jika sampai batas waktu, masih ada WN Cina eks PP-10 yang belum memanfaatkan pemutihan, mereka akan ditangkap dan ditempatkan pada karantina imigrasi," ujarnya. Gertakan Ismail Saleh boleh jadi bukan main-main. Departemen Kehakiman kini sedang bersiap membangun sebuah karantina yang akan digunakan untuk "menyimpan" para pelanggar tata tertib keimigrasian di Katik Tana, Kabupaten Sumba Barat, NTT. "Sekarang baru sampai tahap pembebasan tanah," ujar Dirjen Imigrasi Roni Sikan Sinuraya. Tapi sungguh tak gampang mencari para hoakiau eks PP-10 itu. Di Pontianak, Kalimantan Barat, misalnya, yang dulu terdapat ratusan Cina eks PP-10, tak ada seorang pun yang memanfaatkan masa pemutihan itu. Menurut Kakanwil Kehakiman Kal-Bar Soerahardjo, memang sulit melacak jejak para Cina eks PP-10 itu. Bisa jadi mereka telah meninggal, pindah tempat, memperoleh status WNI lewat perkawinan atau naturalisasi di tempat lain. "Saya kira mereka telah terserap habis menjadi WNI," ujarnya. Kantor Imigrasi Kelas I Surabaya, di Waru, sampai akhir pekan lalu, telah melayani pemutihan 220 orang hoakiau eks PP-10. Bila ditanyakan pada mereka mengapa baru belakangan mendaftarkan diri, "Mereka bilang kurang tahu bahwa ada peraturan seperti itu," tutur Isa Mangkuningrat, kepala kantor itu. Yang sempat diperhatikan oleh Isa, dari 220 yang menjalani pemutihan itu, sebagian besar masuk kelompok ekonomi lemah. "Cina yang kaya justru sudah WNI," kata Isa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini