Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sembarang Tangkap Gerilyawan Peurelak

Para tahanan GAM cuma warga kampung biasa. Perlindungan keamanan dari ICRC dan PMI jadi "tiket" hidup mereka.

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIR mata Aisyah, 30 tahun, mengucur tak terbendung. Ibu lima anak itu cuma bisa menatap sayu Syahbali, yang tergolek ringkih di Rumah Sakit Cut Meutia, Kota Langsa, Aceh Timur, Selasa lalu. Seolah tak percaya belahan jiwanya pulang selamat, tak bosan ia membelai tubuh suaminya itu. Sepuluh purnama sudah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merenggut kebahagiaan mereka.

Kenangan wanita hitam manis pengidap epilepsi itu pun menerawang ke bulan-bulan awal setelah Syahbali "raib". Pencarian ke sana-kemari tak membuahkan hasil. Tangis sedih handai-taulan siang dan malam tak mampu mengembalikan suami tercinta. Cuma doa dan harapan jadi tempat bergantung. Kenduri buat orang mati pun nyaris disiapkan. "Tapi para tetangga melarang," kata Aisyah kepada TEMPO.

Syahbali, 40 tahun, ditangkap GAM wilayah Peurelak, Aceh Timur, pada 20 Juli tahun lalu di perbatasan Desa Matang Seuleumak dan Pulo U. Ketika itu ia dalam perjalanan menuju rumah warga buat menebang pohon. Ia tak punya pekerjaan tetap, kadang menebang pohon, kadang diupah memetik kelapa. Warga Matang Seuleumak, Kecamatan Nurussalam, Aceh Timur, itu tak pernah memilih majikan: order bekerja di kantor Komando Rayon Militer (Koramil) ataupun di kebun kelapa sawit milik anggota TNI pun disabet.

Tiba-tiba langkahnya dihentikan dua orang tak dikenal. "Mereka menyuruh saya naik sepeda motor," ujar Syahbali. Setelah menutup matanya dengan sehelai kain, mereka tancap gas ke daerah pegunungan, belasan kilometer dari desanya. Sampai di "markas" GAM, ia diberondong pertanyaan soal kedekatannya dengan TNI. Rupanya, Syahbali dituduh sebagai informan tentara yang memata-matai GAM.

Tuduhan mereka tak terbukti. Tapi Syahbali tetap ditawan. Puluhan kali ia diajak berpindah tempat tanpa tahu letaknya secara pasti. Hanya hutan dan pohon-pohon raksasa yang tertangkap mata. Hari demi hari terlewati bersama dua sampai tiga tentara GAM yang menjaganya. Tidur beralas plastik atau di ayunan yang tertambat di dua batang pohon. Obat nyamuk bakar tak lupa disulut. "Tak ada penyiksaan. Apa yang mereka makan, itu juga yang saya makan," tuturnya.

Selama ditawan, belum pernah ia bertemu Panglima GAM wilayah Peurelak, Teungku Ishak Daud, ataupun tahanan lain. Meski bergaul berbulan-bulan dengan gerilyawan GAM, belum pernah Syahbali mendengar daerah asal ataupun keluarga mereka. Sampai pada 15 Mei silam, Syahbali diajak "pengawal"-nya hengkang dari lokasi karena ada kabar TNI bakal menyerang. Ia kembali melakoni perjalanan dari bukit ke bukit.

Esok harinya, mereka berhenti di Desa Lhok Jok, Kecamatan Peudawa Rayeuk, Aceh Timur. Di tempat itulah "kisah petualangan"-nya bersama GAM berakhir. Kelompok penuntut kemerdekaan Aceh itu menyerahkannya kepada negosiator dari Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan Palang Merah Indonesia (PMI). Sehari sebelumnya, ICRC dan PMI menerima 22 warga yang semula meminta perlindungan ke GAM.

Di situ Syahbali baru bertemu dua tahanan lainnya: kamerawan RCTI Ferry Santoro dan Mustafa, 30 tahun, warga Desa Tempok Dalam, Kecamatan Nurussalam. Mustafa dicokok GAM sehari sebelum Syahbali, di Desa Bantayan. Tukang ojek itu tak tahu pasti kenapa GAM menahannya. "Mungkin karena saya sering mangkal di kantor Koramil Bagok, Kuta Binje," ujarnya.

Suami Sawiyah, 24 tahun, itu merasa "nyaman" selama jadi tahanan. GAM tak pernah memukul, paling-paling sering berpindah tempat lantaran menghindari serangan TNI. "Kan enak di sini, bisa gemuk," kata Mustafa menirukan penuturan seorang gerilyawan GAM. Rabu lalu ia pulang ke kampungnya, diantar sejumlah tetangganya dan petugas PMI. Sudah tak kerasan ia di tempat penampungan sementara, ingin segera bertemu anaknya yang baru berumur setahun ketika ditinggalkan.

Ada ratusan orang di penampungan sementara di Gedung Pramuka, belakang kantor Koramil Kota Langsa. Cuma beberapa yang bisa disebut tahanan GAM. Sisanya: pencari suaka, keluarga tahanan yang mau menjemput, dan warga yang tertipu oleh isu pengobatan gratis. Jumlah mereka terus menyusut karena secara bergelombang dipulangkan ke desa masing-masing.

Selasa lalu, PMI memulangkan 14 orang ke Kecamatan Peurelak. Esok sorenya 10 orang lagi diantar ke desa-desa di Kecamatan Nurussalam, Idi Cut, dan Idi Rayeuk. Lalu, Kamis sekitar pukul 16.00, 139 orang dikumpulkan di kantor Kecamatan Peudawa. Sebanyak 103 orang disuruh pulang sendiri ke desa masing-masing, sisanya diperiksa di Markas Polres Aceh Timur karena dituduh terlibat gerakan separatisme.

Namun, 103 orang itu malah menolak pulang sambil menangis menggerung-gerung. Mereka memilih dianggap terlibat GAM dan diadili ketimbang dibiarkan sendirian pulang kampung. Mereka mau pulang kalau diantar ICRC dan PMI, sebagai pihak yang dipercaya GAM menerima mereka. "Mereka takut pulang," kata Kepala Polres Aceh Timur, AKBP Ilrsanuddin. Ketakutan mereka memang beralasan.

GAM mau melepaskan para tahanan dan pencari suaka karena ada jaminan perlindungan dari ICRC dan PMI. GAM sendiri, sebetulnya, merasa kerepotan jika mesti bergerilya bersama warga sipil. Pernah pada awal darurat militer, GAM membebaskan Jamaluddin, 27 tahun, warga Simpang Ulim, Kecamatan Pante Bidadari, Aceh Timur. "Sampai di desanya, Jamal dijadikan informan TNI, lalu hilang," ujar Teuku Cut Kafrawi, juru bicara Ishak Daud.

Posisi mereka memang serba salah. Dulu, mereka terpaksa minta perlindungan kepada GAM karena takut dikejar TNI yang menuduh mereka antek GAM. Kini, setelah lepas dari perlindungan GAM, lebih mudah lagi bagi aparat memberi mereka stempel "pro-GAM". Contohnya Hamid?bukan nama sebenarnya?yang berlindung ke GAM sejak enam bulan silam.

Warga Kecamatan Peurelak Barat berusia 54 tahun itu dituduh menyembunyikan anggota GAM. Ia mengaku sedang tak di rumah ketika anggota GAM yang akan menyerahkan diri itu datang. Tapi tentara di pos marinir di desanya tak percaya, dan tetap menggebukinya. Masalah rupanya belum tuntas, karena tentara terus mencari dia. Merasa tak aman, ia pun "lari".

Begitu pula Arief?juga nama samaran. Ayah dua anak itu dituduh membantu GAM sejak darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam. Bahkan namanya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) di pos militer kawasan Desa Paya Gajah, Peurelak. Hampir tiap malam tentara menyambangi rumahnya buat menginterogasi. Merasa terancam, ia meninggalkan kegiatan bertani tambak, lalu minta pengayoman ke GAM. "Saya sampai menangis ketika seorang panglima GAM menolak melindungi," ujar pria 35 tahun itu, Rabu lalu.

Akhirnya, GAM menerima Arief. Tapi, pada 8 Mei silam, GAM memintanya "turun" karena ICRC bakal menjemput sekaligus melindungi keselamatannya. Ia langsung setuju, apalagi mendengar kabar istrinya mendapat perlakuan kasar dari aparat. "Tapi saya tak mau pulang kalau tiada jaminan keamanan dari ICRC," tuturnya.

Lepas dari GAM bukan berarti masalah jadi beres. Selain soal keamanan, kesulitan ekonomi dan sosial sudah menunggu. Pun Syahbali cuma tercenung menatap hari depan lantaran tak ada yang bisa dikerjakan selepas dari tawanan GAM. "Istri saya bilang, beras pun tak ada di rumah," ujarnya dengan wajah kusut.

Jobpie Sugiharto dan Imran M.A. (Langsa)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus