Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuhnya kekar dan tatapan matanya tajam. Menenteng senapan AK-47, otot-otot tangannya seperti hendak membuncah ke luar. Ishak Daud, 44 tahun, adalah tokoh sentral di balik drama pembebasan juru kamera RCTI Ferry Santoro, Minggu dua pekan lalu. Ishak, yang selama hampir setahun membiarkan Ferry terlunta-lunta berpindah dari satu hutan ke hutan yang lain di pedalaman Aceh?setelah melalui negosiasi yang alot?akhirnya mau membebaskan Fery. Tak ada letupan senapan, apalagi darah yang muncrat.
Ishak Daud adalah Panglima GAM wilayah Peurelak. Di era Soeharto dulu, ia adalah tahanan politik GAM. Ketika Habibie berkuasa, Ishak bersama beberapa tahanan GAM lainnya dibebaskan. Ia sempat ke Jakarta dan berkeliling ke beberapa daerah. Ketika Aceh bergolak lagi, Ishak kembali ke Aceh dan menjadi panglima wilayah.
Dikenal mudah dihubungi wartawan melalui telepon satelitnya, Kamis lalu Ishak Daud berbicara terbuka kepada wartawan TEMPO Edy Budiyarso. Petikannya.
Mengapa GAM akhirnya membebaskan para sandera?
Almarhum Ersa Siregar dengan Ferry Santoro tidak bersalah. Sudah lama kami ingin membebaskan mereka tetapi mereka menolak jika kedua istri tentara yang ikut mobil mereka tidak juga dibebaskan.
Jadi, wartawan bukan target penyanderaan GAM?
Kami tidak ada masalah dengan media massa. Kedua istri tentara itu datang dari Jakarta dan masuk ke tempat pengungsi. Setelah itu banyak keluarga kami yang diciduk dari kamp pengungsi. Laporan intelijen kami menyebutkan ada dua perempuan yang ikut mobil RCTI. Karena itu kami menangkap dan memeriksa mereka. Ternyata mereka betul-betul istri tentara.
Mengapa tidak dari dulu GAM membebaskan dua sandera itu?
Kepada almarhum Ersa saya sudah mengatakan bahwa kami akan membebaskan mereka berdua. Tapi kami mendapat ancaman dari Panglima Komando Operasi Brigadir Jenderal Bambang Darmono, karena kami dianggap mempermalukan TNI (akibat penculikan itu). Akhirnya, kami sampaikan kepada RCTI agar mereka mengundang Palang Merah Internasional (ICRC) untuk membawa Ersa dan Ferry keluar dari hutan. Dari situ tarik-menarik terjadi sampai hampir setahun.
Mengapa Anda mengajak ICRC?
Saya ingin ada penengah yang netral. Di mata kami PMI sudah tidak netral: mereka hanya tukang angkut mayat dan pemasok plastik jenazah. Dari pengacara kami, saya mendapat laporan tentang kesediaan ICRC mengambil Ferry Santoro pada 8 Mei 2004, bertepatan dengan Hari Palang Merah Internasional.
Apa syarat yang Anda ajukan untuk pembebasan itu?
Saya tanyakan apa jaminan pembebasan Ferry. Kata mereka akan ada gencatan senjata. Lewat ICRC, diberitahukan bahwa TNI memberikan peluang seluas-luasnya untuk pembebasan tahanan. TNI juga memberikan jaminan keselamatan bagi tahanan, proses penjemputan, juga tim yang menyerahkan. Saya katakan bahwa Ferry tidak mungkin dibebaskan pada 8 Mei, dan saya memberikan waktu pada 13 Mei 2004.
Mengapa sempat terjadi situasi yang tidak menentu sebelum hari pembebasan?
Pada 12-13 Mei TNI membatalkan secara sepihak kesepakatan mereka dengan ICRC. TNI tidak mengizinkan tamu-tamu kami datang sehari lebih awal. Kami kewalahan jika tidak diberi waktu sehari karena tempat serah-terima tahanan belum bisa ditentukan. Akhirnya ICRC tak berani masuk.
Lalu mengapa Anda harus "membarter" Ferry Santoro dengan enam wartawan yang terlibat dalam proses pembebasan?
Ini bukan barter. Mereka tamu kami. ICRC menyatakan tak bisa menginap di sana tetapi ada enam wartawan sebagai jaminan. Hari pertama kami bebaskan 23 tahanan, yakni masyarakat sipil yang kami beri perlindungan.
Anda menganggap orang-orang sipil yang Anda bebaskan bukan sandera?
Mereka memang masyarakat biasa yang datang meminta perlindungan kepada GAM karena kekejaman TNI.
Bagaimana ceritanya Anda akhirnya membebaskan enam wartawan itu?
Sesuai dengan janji saya, pada 16 Mei Ferry Santoro turun. Tapi kami minta Ferry jangan dibawa dulu sebelum semua tahanan dibebaskan. ICRC memberikan dua opsi: Imam Wahyudi (wakil RCTI dalam negosiasi itu) dan kawan-kawan yang turun, atau Ferry Santoro yang akan pulang ke Langsa. Saya kemudian berembuk dengan pengacara. Keputusannya, silakan Ferry Santoro dibawa asal besok dikembalikan.
Di mana letak miskomunikasi GAM dengan ICRC saat pembebasan Ferry?
Pada tengah malam saya dibangunkan dan diberi kabar bahwa pembicaraan antara GAM dan ICRC buntu. Pukul tiga pagi ICRC menghubungi kami dan meminta kami kembali ke gunung. Ini berkaitan dengan jaminan gencatan senjata yang sebelumnya disepakati sampai pukul 24.00 WIB tanggal 17 Mei, tapi ternyata hanya diberlakukan sampai pukul enam pagi. Akhirnya saya putuskan, kami meninggalkan sekitar 100 tahanan sipil dengan wartawan perempuan, sedangkan enam wartawan laki-laki ikut kami. Mereka kan tak sekadar wartawan tetapi juga tim negosiator. Saya putuskan Imam Wahyudi bersama kelompok saya, sementara yang lain berpencar-pencar.
Perintah Anda untuk mengikutsertakan enam wartawan naik gunung membuat mereka panik?
Kami membawa mereka tetapi tidak untuk dibunuh. Ini demi keselamatan dan janji yang telah mereka buat sendiri. Mereka mengatakan pasrah. Mereka tidak marah kepada kami tetapi kepada ICRC dan TNI, yang telah ingkar janji. Bahkan Imam Wahyudi sampai sujud di tanah dan mengumpat bedebah. Akhirnya kami naik ke atas gunung dengan catatan jika ada keputusan kami segera turun. Saya katakan insya Allah pada pukul 16.00 akan ada keputusan dan kami akan kembali. Jadi, sekali lagi kami tegaskan, ini bukan barter.
Apakah masih ada sandera yang berada di dalam tahanan GAM?
Sandera tidak ada. Yang ada adalah ribuan orang yang meminta perlindungan kepada kami. Mereka orang sipil, keluarga, anak, dan orang tua prajurit GAM. Mereka lari ke gunung karena TNI menangkapi dan membakar rumah mereka.
Kabarnya, GAM membebaskan "sandera" karena mereka membebani logistik GAM?
Kami memang kewalahan. Jika terjadi pertempuran, kami harus menyelamatkan mereka lebih dahulu. Jika kami tidak selamat, orang-orang ini sudah tidak ada. Tidak ada orang-orang yang membantu GAM. Mereka yang ikut dibebaskan di antaranya dua anak dan seorang istri saya.
Bagaimana cara GAM bisa "melindungi" warga sipil tadi?
Perempuan, anak-anak, dan orang tua kami titipkan di desa-desa. Jika desa tersebut hendak didatangi TNI, kami memindahkan mereka ke desa lain. Jika ada orang tua yang tak berani tinggal di kampung mereka, terpaksa kami bawa ke hutan.
Sebenarnya apa kriteria GAM untuk menahan dan menangkap seseorang?
Kami punya hak (untuk menangkap) karena ini gerakan kemerdekaan. Jika tidak ada perubahan kebijakan untuk Aceh, kemungkinan pertumpahan darah lebih besar akan terjadi.
Setelah semua ini, apakah GAM akan tetap menyandera warga sipil yang dicurigai antek TNI?
Kami tidak akan menyandera lagi, tapi kami akan langsung membunuh. Tiap-tiap wilayah sudah tidak tahan lagi dengan cara-cara TNI melakukan operasi di Aceh. Mereka menangkap dan menembak anak-anak prajurit GAM. Karena itu kami meminta kepada Panglima Tertinggi Hasan Tiro untuk memberikan keputusan untuk menyelamatkan kami semua.
Langkah itu tidak membuat citra GAM semakin buruk?
TNI sudah membasmi GAM sampai ke akar-akarnya: keluarga GAM dan anak-anak kami. Kami tiada pilihan.
Anda mengkonsultasikan pembebasan Ferry ini kepada GAM Swedia?
Mereka mengurus masalah politik dan kami mengurus militer. Pembebasan Ferry Santoro selalu kami konsultasikan kepada mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo