Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Surat wasiat sdsb

I nyoman budi arta, sub-agen penjual SDSB di kuta, denpasar, bersama pacarnya: made megawati, bunuh diri. karena tak bisa membayar kupon SDSB pembeli yang tembus. sistem penjualan sub-agen SDSB dikecam.

8 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT itu ditaruh di bawah botol, di atas meja. "Saya berdua terpaksa mengambil jalan pintas, karena saya merasa sudah tidak mampu untuk menanggung semua beban yang menimpa diri saya. Saya harap semua keluarga menerima kenyataan ini, tapi jangan susah, saya berdua punya simpanan sedikit emas di almari, itu dipakai biaya untuk saya berdua." Itu memang surat wasiat. Penulisnya I Nyoman Budi Arta dan Made Megawati. Tatkala surat itu terbaca, Senin pekan lalu, mereka berdua telah kaku karena sudah meninggal dua hari sebelumnya. Beban yang dimaksud Budi dan Mega -- begitu keduanya sering dipanggil -- ternyata ada hubungannya dengan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah atau SDSB. Keduanya meninggal, Sabtu dua pekan lalu, diduga lantaran putus harapan. Alkisah, I Nyoman Budi Arta alias Hok Siang, 21 tahun, yang sehari-hari mencari nafkah sebagai sub-agen SDSB di Kuta, Denpasar, dirundung sial. Pada penarikan periode ke-12, 22 Maret lalu, tercatat ada lima kupon seharga Rp 1.000 dengan nomor 5212 yang tembus. Satu diantaranya milik Budi sendiri. Seharusnya Budi gembira karena tebakannya mengena. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Empat kupon lain ternyata tidak terdaftar pada rekapitulasi yang dikirim ke agen. "Jadi, kami cuma membayar yang sebesar Rp 2,5 juta. Lainnya bukan tanggung jawab kami," kata sebuah sumber di keagenan di Kuta. Dengan kata lain, tanggung jawab kini jatuh di pundak Budi. Dihitung-hitung Budi masih harus nombok Rp 7,5 juta lagi. Karuan saja, jebolan STM Singaraja itu panik. Menyediakan uang sebanyak itu dalam tempo singkat, jelas, tak mudah. Segala jalan sudah dicoba, namun tak berhasil. Jalan keluar sebenarnya ada. Nyoman Arnaya, ayah Made Megawati, pacarnya, menawarkan bantuan. Ia bersedia menjual salah satu truk miliknya. "Hasilnya bisa dibagi kepada para pemenang," kata Arnaya. Tapi, jasa baik calon mertuanya ditolak. Rupanya Budi punya cara tersendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Mula-mula Mega, yang aslinya bernama Lie Sien Mee, 21 tahun, menghilang dari rumahnya di Jalan Sahadewa, Denpasar. Pada saat yang sama, Budi juga tak kelihatan batang hidungnya. Arnaya tak khawatir. Biasanya Budi dan Mega yang sudah merencanakan untuk menikah -- berduaan di sebuah rumah kontrakan di Jalan Nusa Indah. Begitu pula ketika di hari Senin itu dikabari ada keributan di rumah yang ditinggali Budi dan Megawati, Arnaya tetap tenang. Belakangan, setelah diberi tahu kalau sudah dua hari Budi dan Mega tak meninggalkan kamar, ia mulai cemas. Dengan bantuan polisi, kamar berukuran 3 x 3 meter persegi itu didobrak. Ternyata tubuh keduanya sudah kaku. Di atas meja tergeletak segelas kopi dan sebotol Sprite yang isinya tinggal setengah. Bau khas racun potas menebar di ruangan itu. Dalam tempo singkat, kisah tragis itu menyebar. Tak kurang Wakil Ketua DPRD Bali, I Ketut Subandi mengecam sistem penjualan sub-agen seperti yang dilakukan oleh I Nyoman Budi Arta. "Tak ada istilah sub-agen dalam peraturan yang ditetapkan Gubernur," katanya dengan nada keras. Menurut Subandi, sistem sub-agen jelas melanggar SK Gubernur No. 59 Tahun 1989. "Tapi, lihatlah. Di Kabupaten Badung -- yang menurut peraturan hanya boleh 10 agen -- kini bertebaran 200-an kios. Dan lagi pula mereka menjual kupon seharga Rp 1.000. Ini tidak sesuai dengan paraturan," ucap Wakil Ketua DPRD Bali itu. Seharusnya yang boleh menjual kupon seri B itu hanya agen-agen resmi. Adanya sub-agen itu juga menggusarkan Tim Monitoring dan Evaluasi SDSB dari Kanwil Depsos. "Saya juga heran, distributornya begitu nekat. Padahal Januari lalu sudah kami tegur." kata Drs. Soewignyo, ketua tim. Lalu di mana letak bolongnya. "Semua perizinan harus melalui Pemda," tambahnya. Pihak pemda yang dituding tak mau disalahkan. "Berdasarkan SK Gukernur, lokasi loket penjualan tidak boleh berubah. Kabupaten Badung, misanya. hanya 10 loket, tidak boleh lebih," kata Ida Bagus Pangjaya, Kahumas Pemda Bali. Berdasarkan catatan yang ada, memang Budi tidak terdaftar sebagai penjual kupon SDSB. Ternyata Budi dan Mega tak bisa dikuburkan satu liang, sesuai dengan permintaan mereka. Dua liang lahat mereka berjarak 10 sentimeter. Tragisnya, hingga kedua sejoli itu meninggal, belum satu pun pemenang mengklaim hadiahnya pada Budi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus