TEROR kembali mengguncang Jakarta. Tiga peristiwa meletus di tiga lokasi, dan dalam jarak waktu yang hampir beruntun. Dan, sasaran peledakan pada Rabu siang pekan lalu itu juga agak lain dibandingkan peledakan yang pernah terjadi sebelumnya. Kali ini, yang jadi sasaran adalah gedung Kedutaan Besar Amerika Serikat, yang terletak di Jalan Merdeka Selatan Kedubes Jepang, di Jalan Thamrin dan Wisma Metropolitan I, di Jalan Sudirman. Bangunan yang disebut terakhir ini adalah pusat perkantoran yang dimiliki secara patungan oleh tujuh perusahaan - dua perusahaan dari Hong Kong, dua dari Singapura, dan tiga perusahaan dari Jakarta, yang di antaranya, Bogasari Mill milik Liem Sioe Liong. Di Wisma Metropolitan I juga berkantor Kedubes Kanada. Mengapa yang jadi sasaran gedung perwakilan asing? Pertanda terorisme internasional mau mencoba menyentuh Indonesia? Sulit dijawab. Tetapi sembilan jam setelah roket yang dialamatkan ke Kedubes Jepang di Jakarta meledak, Kantor Berita Kyodo menerima telepon internasional. Lima menit kemudian, panggilan telepon serupa diterima pula oleh harian terkemuka Yomiuri. Penelepon gelap itu menyebut dirinya anggota Brigade Anti-Imperialis. Dalam bahasa Inggris yang lancar, seperti dilaporkan wartawan TEMPO di Tokyo Seiichi Okawa, Brigade ini mengaku sebagai pihak yang bertanggung jawab atas teror di Jakarta. "Kamilah yang menyerang Kedutaan Besar Kanada, Kedubes AS, Kedubes Jepang, serta perusahaan multinasional dengan bom dan roket," kata penelepon itu. "Serangan-serangan ini merupakan jawaban terhadap KTT Tokyo yang diselenggarakan minggu lalu." Seperti diketahui, KTT tujuh negara industri terkemuka, yang berlangsung 4-6 Mei, dengan tegas mengecam terorisme internasional. Bahkan, masalah ini merupakan keputusan pertama Deklarasi Tokyo itu. Berbeda dengan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan tahun-tahun silam, inilah deklarasi yang tergolong sangat kongkret. Deklarasi Tokyo, misalnya, tegas-tegas menyebut Libya sebagai satu-satunya negara sebagai teror. Selain itu, secara rinci, ketujuh negara bersepakat pula memojokkan Libya. Caranya, antara lain, menghentikan penjualan senjata kepada Libya, menciutkan ruang gerak diplomatnya, kalau perlu menutup perwakilannya. Juga mempermudah ekstradisi, serta kemungkinan mengadili teroris yang tertangkap. Mengapa ketujuh negara industri itu sepakat mengutuk teror? Soalnya, KTT itu sendiri dibuka dengan ancaman teror. Lima buah roket terbang melintasi atap Istana Akasaka, tempat tamu negara menginap, ketika upacara penyambutan Presiden Prancis Francois Mitterrand hampir berakhir. Untung, tak ada korban. Benarkah ada hubungan aksi pada KTT Tokyo dengan teror di tiga gedung kedutaan negara industri itu di Jakarta? Pangab Jenderal Benny Moerdani tak menutup kemungkinan itu. Seusai melapor pada Presiden Soeharto, sehari setelah peledakan, Benny berbicara tentang adanya pihak tertentu yang tak ingin Indonesia aman dan stabil. Kecuali itu, peristiwa peledakan tersebut, katanya, "Merupakan peringatan kepada mereka-mereka yang menandatangani Deklarasi Antiterorisme pada akhir KTT Tokyo awal bulan ini." Siapakah pelaku peledakan-peledakan itu? Berbagai upaya pelacakan telah dilakukan. Antara lain, mengorek informasi dari seorang gelandangan. Rabu 14 Mei pagi, adalah Dudung, seorang pemungut kardus, yang biasa beroperasi di kawasan Pekan Raya Jakarta, melihat dua lelaki sibuk dengan sebuah peti. Ini terjadi di taman pemisah jalan di depan pintu masuk PRJ sebelah timur - yang berjarak sekitar 400 meter dari Kedubes AS. Dari peti berukuran 1 X 1 meter itu, kedua lelaki tersebut mengeluarkan dua buah tabung. Menggunakan peti sebagai sandaran, kedua tabung itu lalu ditegakkan dengan kemiringan 45 derajat ke arah Kedubes AS. Tak lama kemudian datanglah seorang warga asing, yang mengenakan pakaian serba biru itu, bergabung dengan dua lelaki tadi. Ketiganya bekerja sama mengotak-atik sesuatu di dalam peti itu. Setelah itu, ketiganya bergegas pergi. Beberapa menit kemudian terdengar suara letupan. Dudung melihat dua tabung - yang ternyata roket - meluncur di udara. Kemudian diketahui, sebuah roket itu jatuh di halaman depan Kedubes AS, dan pecah dua. Sedangkan yang sebuah lagi mendarat utuh di taman bagian belakang. Menurut berbagai saksi mata di kedutaan itu, kedua roket itu mendarat tanpa meledak. Ini terjadi pada pukul 11.15. Lima belas menit kemudian, sebuah dentuman mengagetkan Takaichi Yoneda. Saat itu, Konselor Kedutaan Jepan ini tengah rnenerima seorang tamu di kantornya di Jalan Thamrin. "Seperti suara petasan," katanya. Ia sempat mengumpat, "Kurang ajar, main petasan kok di dekat kantor kedutaan." Tapi toh dengan penasaran ia pergi juga ke tempat jatuhnya "petasan" itu. Ternyata, sebuah roket telah menimpuk bagian luar dinding gedung kedutaan itu. Roket itu mula-mula mengenai tirai besi penahan matahari di sisi luar dinding lantai 4, lantas jatuh mengenai tirai besi yang serupa di dinding lantai 3. Para pekerja Seksi Ekonomi Kedubes Jepang, yang menempati kedua lantai itu, hanya terkejut sejenak. Soalnya, roket itu - sama seperti yang terjadi di Kedubes AS - tidak meletus. Hanya kepulan asap yang tampak samar-samar keluar dari roket itu. Lantas, orang-orang di Kedubes Jepang kembali bekerja seperti semula. "Kejadian seperti ini biasa terjadi di Jepang," kata Yoneda. Tapi, Uehara, Sekretaris I Urusan Politik Kedutaan Jepang, tetap melaporkan peristiwa itu pada polisi. Pasukan Penjinak Bom Polda Metro Jaya segera dikirim. Tapi mereka terpaksa dipecah dua, karena seperempat jam sebelumnya telepon dengan laporan serupa juga datang dari Kedubes AS. Pukul 12.00, pasukan penjinak bom itu tiba di Kedubes Jepang. Setelah diselidiki, diketahuilah bahwa roket itu berasal dari President Hotel - yang berada sekitar 60 meter di seberang gedung kedutaan. Adalah seorang perwira yang melihat asap di suatu lantai di hotel itu. Ternyata, asap itu berasal dari kamar 827 di lantai 8. Setelah kamar itu diperiksa, ditemukan beberapa petunjuk. Dua tempat tidur di situ memang tampak rapi. Tetapi di antara toilet dan tempat tidur, ditemukan sepotong besi panjang 70 cm dan berdiameter sekitar 7 cm. Besi yang sama juga ditemukan di tempat tidur yang lain. Kedua besi itu ditemukan berkabel, yang dihubungkan dengan sebuah setop kontak listrik di bawah jendela. Sebuah trafo berwarna hijau juga dipasang di setop kontak itu. Dan, terdapat pula sebuah timer merk Lorus Quartz. Polisi segera menyimpulkan, roket yang menghantam Kedubes Jepang itu ditembakkan dari kamar 827 President Hotel. Roket itu terbang melewati jendela yang memang menghadap ke arah gedung kedutaan. Tapi, baru 35 menit petugas memeriksa di President Hotel, sebuah ledakan keras terdengar di pelataran parkir gedung perkantoran Wisma Metropolitan I di Jalan Sudirman. "Suaranya menggelegar seperti petir, sampai ruangan ini bergetar," kata seorang pegawai di kantor IBM yang menempati lantai 16 gedung itu. Berbeda dengan teror yang terjadi di Kedubes Jepang dan Kedubes AS yang menggunakan roket, ledakan yang terakhir ini menggunakan bom waktu. Bom itu diletakkan di bagasi mobil sedan Mitsubishi Lancer warna cokelat dengan nomor polisi B 1897 XG. Ledakan yang menimbulkan kebakaran itu memakan korban lima buah mobil, serta beberapa orang mengalami luka bakar. Di antara korban manusia tercatat Eddy Kosasih. Ayah tiga anak ini adalah sopir pribadi Nyonya Elizabeth M.C. Alister, pegawai Konsulat Kedubes Kanada yang berkantor di Wisma Metropolitan I itu. Pada siang yang nahas itu, Eddy, 34, baru saja memarkir mobil Corona XL milik Kedubes Kanada dengan nomor CD 35-17. Sambil bersandar di kursi pengemudi, ia membaca Pos Kota. Belum 20 menit, tiba-tiba terdengar suara berdentam. "Setelah itu saya tak ingat apa-apa lagi karena pingsan," katanya pada Agus Basri dari TEMPO. Tangan kanannya bengkak dan memar, akibat ledakan yang berasal dari mobil Lancer itu. Eddy biasanya memarkir mobil majikannya di tempat parkir khusus bagi para diplomat Kanada. Tapi, saat itu, tempatnya dipakai orang lain, entah siapa. Maka, Eddy lantas memarkir mobilnya di pelataran parkir umum, hanya selang sebuah mobil dari Lancer cokelat tersebut. Korban lain adalah Hendra Gunawan. Mahasiswa Jurusan Bisnis Administrasi di Universitas McGill, Montreal, Kanada, ini sedang pulang liburan. Hari itu, ia mengantar seorang adiknya mengurus visa, karena juga ingin melanjutkan sekolah di Kanada. Datang mengendarai sedan Civic Wonder B 1238 ZM, ia berniat memarkir mobilnya tepat di belakang sedan Lancer itu. Ternyata, tempat itu terlalu sempit. Karena itu, ia segera memasang persneling mundur. Tapi, belum lagi mobilnya bergerak, tiba-tiba terdengar ledakan menggelegar. Dan api menyambar masuk ke mobil Hendra. "Saya segera mematikan mesin, dan menunduk menghindar api," katanya pada Erlina Soekarno dari TEMPO. Tapi api telah menyambar persneling mobilnya, sehingga ia dan adiknya harus segera meninggalkan mobil. Barulah ia tahu, sedan Lancer itu telah terbakar hebat. Tiga mobil lagi juga mulai dimakan api. Dan ia sendiri kemudian mulai merasakan nyeri di punggung, kulit muka, tangan kanan, bahkan sebagian rambutnya terbakar. Adapun adiknya, tangan serta rambutnya pun sedikit terbakar. Yang parah adalah mobilnya: kaca depan hancur berantakan, pintu sebelah kanan penyok dan tak berfungsi, serta langit-langit meleleh. Adakah roket yang ditembakkan ke Kedubes AS dan Jepang berkaitan dengan peledakan di Wisma Metropolitan I - tempat berkantor Kedubes Kanada? Polisi belum menemukan jawabannya. Esoknya, Kamis pukul 8 pagi, polisi kembali menemukan sebuah roket di halaman Kedubes Uni Soviet. Inilah roket paling utuh yang ditemukan sebagai barang bukti. Tabung roket ini terbuat dari sambungan beberapa kaleng bekas cokelat, merk Ritz, yang dibungkus kertas putih. Pengganjal proyektil dan pelontar roket ini adalah kain flanel warna oranye. Dari berbagai barang bukti yang diteliti, disimpulkan bahwa keempat roket itu digerakkan dengan menggunakan bahan peledak TNT berwarna kuning, yang konon tergolong sulit diperoleh di dalam negeri. Tiap-tiap tabung roket diduga berisi sekitar 500 gram TNT. Roket-roket yang dirakit dari berbagai kaleng minuman bekas itu, mesiunya diisi pada bagian bawah selongsong pada pipa ledeng yang panjangnya 70 cm dengan diameter 7 cm. Inilah besi yang juga diperoleh di kamar 827 President Hotel. Semuanya menggunakan timer yang sama. Tak jelas detonatornya buatan mana. Yang pasti ialah, roket yang ditujukan ke Kedubes AS menggunakan sumber tenaga batere, sedangkan yang diluncurkan dari President Hotel memakai sumber tenaga listrik. "Pembuat roket itu menguasai prinsip-prinsip dasar pembuatan roket," ujar seorang Perwira Polisi Unit Bakar dan Ledak. Tetapi teknik elektronya masih tergolong ceroboh. Sumbu yang menghubungkan mesiu dengan detonator yang akan meledakkan TNT dijepit terlalu rapat. "Karena terlalu rapat, tak cukup udara bagi suatu pembakaran yang maksimal," kata sumber itu pula. Akibatnya, keempat roket itu tak ada yang meledak di tempat tujuan. Kecuali itu, badan roket pun digarap dengan sembrono. Sambungan antara kaleng yang satu dan yang lain tak dilas dengan baik. Akibatnya, badan roket bisa rontok di tengah jalan. Tetapi perhitungan mekanikanya tergolong baik. "Roket itu sampai ke tempat yang dituju, meski tidak meledak," ujar sumber itu. Artinya, jarak sasaran, sudut elevasi roket, serta kecepatan roket itu dihitung dengan cukup akurat. Peledakan yang terjadi di pelataran parkir Wisma Metropolitan juga menggunakan TNT. Menilik ledakan yang ditimbulkan, TNT yang dipakai lebih banyak. Diperkirakan mencapai 800 gram. Tidak jelas menapa di Wisma Metropolitan dipergunakan bom waktu, dan bukan roket. Siapa pelaku berbagai teror itu? Aparat keamanan memang telah mendengar sebanyak mungkin saksi, dan mengejar berbagai petunjuk. "Tapi petunjuk yang diperoleh selalu berubah-ubah," kata sumber TEMPO. Karena itu, pelacakan akhirnya difokuskan pada dua hal: siapa tamu yang menginap di kamar 827 President Hotel, dan siapa pula pemakai sedan Lancer B 1897 XG itu? Jumat, 16 Mei, sekitar pukul 11 pagi, seorang bernama Endy Sabaruddin menelepon Polda Metro Jaya. Lelaki ini adalah Direktur Utama Nasional Car Rental (NCR), perusahaan yang juga melayani kedatangan Presiden Reagan dan rombongannya di Denpasar, dari 6 April sampai 6 Mei lalu, dengan semua kendaraan yang dimilikinya - sedan dan minibus sebanyak 30 buah. Akibat pengerahan armada itu, kata Endy, NCR lantas menyewa mobil dari seorang bernama Panarto untuk mengisi kekosongan di Jakarta. Itulah Lancer B 1897 XG. "Ia memang supplier kami," kata Endy. Rupanya, Panarto ini yang membeli Lancer itu (sebelumnya milik Zaenal Tamsil, manajer Barclay's Bank) dari Cahaya Motor. Cahaya Motor membelinya dari Herry Gunawan. Yang jelas, dari NCR inilah kemudian diperoleh titik terang. Mobil itu ternyata disewa sejak 7 Mei oleh seorang lelaki yang mengaku bernama Shunsuke Kikuchi. Orang ini pada 6 Mei, lewat telepon, mengatakan hendak menyewa mobil dari 7 sampai 10 Mei. Esoknya, Kikuchi memang datang. "Waktu itu, yang ada hanya mobil Lancer itu," ujar Endy. Endy sendirilah yang langsung meladeni penyewa ini. "Ia tampak seperti turis Jepang biasa," kata Endy. "Ia berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Jepang yang medok." Lelaki Jepang bertubuh tinggi itu, sekitar 170 cm, menurut Endy, datang dengan mengenakan kemeja lengan pendek dengan dasar putih dan bermotif kotak-kotak besar dengan garis hitam. Ia mengenakan celana warna gelap dan sepatu kulit biasa. "Ia tampak periang," tambah Endy. Setelah paspor difotokopi oleh NCR, Kikuchi lantas melunasi seluruh uang sewa mobil selama empat hari - Rp 202.800. Pada 10 Mei, Kikuchi kembali lagi ke NCR, yang berkantor di Kartika Plaza guna memperpanjang masa sewa mobil hingga 14 Mei. Kedatangan yang kedua kali ini pun tak mencurigakan. "Biasa-biasa saja, meski kali ini ia datang dengan memakai sandal jepit," ujar seorang pegawai NCR. Padahal, itulah hari berbagai teror terjadi. Kikuchi dalam perjanjian sewa-menyewa mobil dengan NCR menyebut jelas tempat tinggalnya, di President Hotel, kamar 827. Maka, pihak keamanan berani menarik kesimpulan bahwa Kikuchi adalah pelaku yang meluncurkan roket serta meledakkan Lancer di pelataran parkir Wisma Metropolitan I. Kecuali itu, diperoleh pula keterangan, mobil Lancer itu telah tiga hari diparkit di hotel itu. Siapakah Kikuchi sebenarnya? (lihat Perjalanan Gelap Paspor Calon Guru). Betulkah ia seorang Jepang, ataukah seorang pribumi? Menurut sumber TEMPO, yang jelas lelaki itu tak bekerja sendirian. Katanya, dari hasil penyidikan di berbagai tempat kejadian, "Petugas berhasil mendapat 14 sidik jari, juga rambut kepala dan kelamin." Semua ini telah pula dikirimkan ke Jepang, untuk dicocokkan dengan catatan yang dimiliki polisi sana. Tapi satu hal, pihak keamanan yakin bahwa lelaki itu telah lama tinggal di Jakarta. Buktinya: ia, misalnya, datang sendiri ke perusahaan penyewaan mobil NCR. Ketika ditawari sopir, ia mengatakan akan menyetir sendiri, dan juga menolak disodori sebuah peta Jakarta. Maka, Kikuchi diperkirakan telah tinggal 3-4 bulan di Jakarta, dengan berpindah-pindah tempat menginap. "Agaknya, baru menjelang hari-hari peledakan saja, ia tinggal di President Hotel," kata sumber lain pada A. Luqman dari TEMPO . Setelah dicek di sana-sini, disimpulkan pula bahwa buron ini adalah seorang Jepang asli. Tulisan tangannya pada formulir perjanjian sewa dengan NCR, setelah diperiksa di laboratorium, memperlihatkan ia seorang yang terbiasa menulis kanji. Berbagai saksi yang pernah berhubungan dengannya seperti Hanafi (room boy), Chandra (bell boy), serta Valentia Agustadi (resepsionis) di President Hotel - juga membenarkan hal ini. "Ia tulen orang Jepang, dengan rahang seperti orang Batak," kata Endy Sabaruddin yakin. Dari hasil pemeriksaan pipa yang dipakai untuk meluncurkan roket-roket, disimpulkan bahwa benda tersebut ternyata tidak diproduksi di Indonesia. Empat potongan pipa itu, jika disambung, panjangnya mencapai tiga meter. "Itu artinya sama dengan panjang sebilah pipa," kata sebuah sumber TEMPO. Potongan pipa ini bisa lolos di pe!abuhan, karena mungkin dianggap sebagai contoh barang dagangan si Jepang. Siapa lelaki itu? Belum jelas benar. Tetapi, menilik raut wajahnya, agaknya ia telah berusia menjelang 30 tahun - setidaknya tampak jauh lebih tua ketimbang umur 23, seperti tercantum di paspor yang dipakainya atas nama Shunsuke Kikuchi. Diduga buron ini sedikitnya menggunakan tiga buah paspor. Sebuah khusus untuk masuk lewat Bandara Soekarno-Hatta. Sebuah lagi dengan nama Kikuchi itu. Dan sebuah lagi pula khusus dipergunakan untuk meninggalkan Indonesia. Adalah Jenderal Benny Moerdani sendiri yang mengatakan kemungkinan orang itu telah pergi meninggalkan Indonesia. Tapi belum jelas benar kapan, serta keluar melalui mana. Mengingat baiknya kontak pihak keamanan Indonesia dengan Jepang, menurut sebuah sumber, kecil kemungkinan lelaki buron itu kembali ke Jepang. Yang terang, hingga kini tak seorang pun orang Indonesia yang ditahan. Sementara itu, kehidupan perkantoran di Metropolitan I telah pulih kembali. Para tamu dari Jepang terus mengalir ke President Hotel. Inilah hotel yang, antara lain, sahamnya dimiliki Japan Air Lines (JAL), dan sekitar 80% tamu hotel ini memang orang Jepang. Kantor-kantor kedutaan hanya sejenak terganggu. Kini mereka telah kembali bekerja seperti lazimnya, sekalipun berbagai kompleks diawasi lebih ketat. Di Medan, misalnya, gedung-gedung konsulat, terutama AS, Inggris, dan Jepang, diamankan ekstraketat. Di berbagai bandar udara, para petugas imigrasi juga menjadi lebih teliti. Di Wisma Metropolitan sendiri, setelah insiden di pelataran parkir itu, kini pemeriksaan mobil-mobil yang keluar-masuk dan parkir di situ dilakukan secara teliti. "Setiap sepuluh mobil yang masuk, kami periksa dengan detektor," ujar Sigit, asisten manajer pengamanan gedung itu. Betulkah pelaku peledakan itu berasal dari Brigade Internasional Anti Imperialis? Jenderal Benny Moerdani mengatakan belum pernah mendengar organisasi itu. Yang terang, Pangab membantah bahwa kejadian di Jakarta merupakan pertanda bahwa terorisme internasional telah menyusup ke Indonesia. Saur Hutabarat Laporan Bunga S. & Ahmed Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini